Ceknricek.com -- Jakarta sudah berubah lebih ramah kepada seniman. Begitu kesan yang muncul belakangan ini. Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, menginginkan Taman Ismail Marzuki sebagai pusat kebudayaan dunia.
Upaya tersebut dimulai dengan merevitalisasi Kawasan Cikini. Daerah tersebut dibikin mirip saat zaman kolonial Belanda dulu. Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menyiapkan anggaran Rp1,8 triliun untuk kepentingan itu. Pemprov telah menunjuk PT Jakarta Propertindo (Jakpro) untuk mengerjakan proyek.
Revitalisasi itu akan menggunakan penyertaan modal daerah (PMD) Jakpro yang telah masuk dalam APBD DKI Jakarta. Dalam revitalisasi TIM, Anies mengaku akan menutup salah satu bioskop jaringan XXI di kawasan itu. Gedung bioskop tersebut akan diratakan untuk selanjutnya dibangun Gedung Teater Graha Bhakti Budaya.
Sumber: Merdeka
“Gedung kantor Pos Cikini yang sudah berdiri sejak zaman Belanda kini bisa kita kagumi kembali tanpa terhalang kabel. Pembersihan kabel udara ini adalah bagian dari upaya menghormati kembali ruas Cikini Raya sebagai koridor bersejarah,” kata Anies, seperti dilansir dari laman Instagram @aniesbaswedan, Kamis, 22 Agustus lalu.
Menurut Anies, revitalisasi tidak hanya dilakukan di kawasan TIM, tetapi juga kawasan Cikini. Lalu, apa saja yang akan direvitalisasi di TIM? Dirut PT Jakpro Dwi Wahyu Daryoto menjelaskan revitalisasi akan dilakukan dalam dua tahap. Pada tahap pertama, Jakpro akan merevitalisasi bagian depan hingga tengah.
Sumber: IDNtimews
Baca Juga: Revitalisasi TIM Terlambat 4 Bulan, Pemprov DKI Rugi Rp21,6 Miliar
Sejumlah fasilitas baru mereka bangun, seperti Plaza Graha Bhakti Budaya, Masjid Amir Hamzah, hotel, pusat kuliner, galeri seni, gedung perpustakaan, dan pos pemadam kebakaran. Pihaknya juga akan membangun lahan terbuka tempat masyarakat berkumpul di bagian depan TIM. “Plus, ground base-nya untuk parkir, tetapi untuk jumlah mobil yang terbatas. Sebab, kami tidak mau menyediakan banyak ruang parkir di TIM,” kata Dwi.
Pada rencana pembangunan tahap dua, mereka akan membangun asrama seni budaya, arena teater, serta sejumlah renovasi pada gedung planetarium dan Graha Bhakti budaya. “Alhamdulillah, masih sesuai jadwal. Target selesai akhir tahun ini. Jadi, yang kita revitalisasi bukan saja TIM, tetapi seluruh koridor ini, dari Tugu Tani hingga Megaria. Jadi, nantinya kawasan ini menjadi salah satu koridor untuk kegiatan seni budaya di Jakarta,” terangnya.
Untuk tahap selanjutnya, Anies mengungkapkan revitalisasi juga akan dilakukan sepanjang Jalan Raden Saleh menuju Kwitang dan Pasar Senen. “Kita revitalisasi juga, tetap dengan prioritas memuliakan pejalan kaki dan untuk kegiatan seni budaya,” paparnya.
Polemik Hotel
Para seniman senang hati dengan revitalisasi ini. Mereka sadar TIM juga harus berubah wajah agar menyesuaikan dengan wajah Jakarta yang kian molek. Hanya saja, sebagian di antara mereka protes setelah Jakpro mengumumkan akan menggunakan sebagian bangunan hasil revitalisasi ini untuk membangun hotel bintang lima.
Sejumlah seniman ini mempertanyakan urgensi pembangunan hotel di kawasan TIM. Terlebih lagi, rencana tersebut tidak dibicarakan sebelumnya kepada para seniman. Suara penolakan mulai mencuat pada 24 November lalu dalam diskusi bertajuk “PKJ-TIM Mau Dibawa ke Mana?” yang diadakan di Pusat Dokumentasi HB Jassin, TIM. Sejumlah budayawan, seperti Radhar Panca Dahana, seniman Imam Ma’ruf, sastrawan Taufik Ismail, dan Abdul Hadi WM menyatakan keberatannya.
Sumber: Tempo
Polemik pun semakin memuncak hingga membuat Jakpro angkat bicara. Sekretaris Perusahaan Jakpro Hani Sumarmo menyatakan bahwa Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dan Jakpro telah berdiskusi dengan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) terkait revitalisasi ini. Dia juga menegaskan pembangunan hotel nyata-nyata untuk kebaikan mengingat nantinya TIM akan menjadi sentra kegiatan kesenian dan kebudayaan bertaraf internasional.
Gubernur DKI Anies Baswedan juga menyatakan hal senada. Namun, dia menolak jika dikatakan bahwa bangunan itu berfungsi sebagai hotel. Anies memilih menggunakan istilah wisma. Dia juga menjamin pembangunan wisma ini tak akan mengganggu kegiatan berkesenian di areal TIM.
Sumber: Kompas
Kehadiran wisma itu justru akan membuat aktivitas kesenian dan kebudayaan makin lancar karena ada fasilitas penunjang. “Jadi, kalau ada kontingen kebudayaan atau kesenian dari luar daerah atau luar negeri yang datang, mereka bisa menginap di wisma ini,” ujarnya.
Baca Juga: Tanggapan Anies Soal Penolakan Seniman Terhadap Pembangunan Hotel di TIM
Penolakan itu sejatinya bukan merupakan suara tunggal. Banyak seniman yang menerima baik rencana ini. Jose Rizal Manua, seniman yang nyambi berdagang buku bekas di pojok bawah Graha Bhakti Budaya, mendukung rencana ini. “Rencana ini sudah lama. Bahkan, desainnya pun sudah dilombakan dan disetujui oleh berbagai pihak,” ujarnya sembari bertutur bahwa revitalisasi TIM sudah sangat lama direncanakan.
Rencana revitalisasi sudah muncul ke permukaan sejak zaman Gubernur Sutiyoso, Gubernur Fauzi Bowo, hingga zaman Gubernur Jokowi. “Nah, rencana itu baru bisa dilaksanakan sekarang,” tandasnya.
Dia juga tak menampik kehadiran hotel di dalam area TIM. Di seluruh dunia, ujarnya, pusat-pusat kesenian juga ditopang dengan hotel sebagai fasilitas penunjang. “Dari dulu, di TIM juga ada wisma yang murah. Wisma itu yang akan digantikan fungsinya dengan hotel ini,” tandasnya. Jose juga yakin bahwa kehadiran hotel tak akan menggusur aktivitas kesenian di areal TIM.
Sumber: Karyasastra
Memang. Jika dilihat desain yang ada, tak ada fungsi yang hilang. Perpustakaan HB Jassin, misalnya, akan ditempatkan di bangunan yang menyatu dengan “hotel” itu. Gedung itu juga akan memiliki perpustakaan, galeri terbuka, ritel, serta perkantoran.
Jose justru yakin bahwa pembangunan fasilitas baru ini akan menaikkan muruah TIM sebagai pusat kesenian. Saat ini, ujar dia, aktivitas TIM sudah teramat padat dan tak lagi mampu ditampung dengan fasilitas yang tersedia. Dia mengaku kerap gagal membuat pagelaran gara-gara tak dapat memperoleh tempat di dalam TIM.
Hampir semua venue yang ada sudah dipesan oleh penyelenggara acara. “Saya yang ingin membuat pagelaran di Teater Kecil untuk Juli 2020 saja sudah tak kebagian jadwal,” ujar Jose. Seniman Putu Wijaya bahkan sudah booking tempat untuk pagelaran yang akan dilaksanakan pada September 2020.
Warisan Ali Sadikin
Semenjak dibangun pada era Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, 1968, TIM baru beberapa kali direnovasi. Di antaranya pada 2017 lalu saat era Gubernur DKI Djarot Saiful Hidayat. Saat itu, Djarot fokus merevitalisasi gedung Teater Graha Bhakti Budaya yang sering bocor dengan memperbaiki plafon dan kamar kecilnya. Ada juga pembuatan laman web TIM yang lebih interaktif, revitalisasi kios kuliner di TIM, serta penyusunan buku standar operasional pemeliharaan dan perawatan gedung teater.
Sumber: Jakartareview
Baca Juga: Jakpro Pastikan Tak Jadi Bangun Hotel Berbintang di TIM
Untuk sekadar diketahui, pembangunan TIM berawal dari keluhan seniman-seniman di Jakarta berpuluh tahun lalu terkait kurangnya fasilitas penyaluran bakat kesenian kreatif di Ibu Kota. Keluhan para seniman ini kemudian ditanggapi Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada 1968. Ali menganggap keinginan pelaku seni itu selaras dengan cita-cita menjadikan Jakarta sebagai kota budaya.
Menurut Ali Sadikin, Jakarta bukan saja kota dagang, pusat administrasi negara, dan pusat kegiatan politik. Jakarta juga bisa menjadi jendela kebudayaan Indonesia bagi pendatang dari mancanegara. Ali kemudian menunjuk tujuh orang seniman sebagai formatur Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Mereka terdiri dari Mochtar Lubis, Asrul Sani, Usmar Ismail, Rudy Pirngadi, Zulharman Said, D Djajakusuma, dan Gajus Siagian.
Tujuh seniman ini juga yang ditunjuk Ali untuk mengelola Pusat Kesenian Jakarta. Gubernur yang dilantik langsung oleh Presiden Soekarno itu juga meminta tujuh seniman tersebut membuat sebuah kegiatan seni untuk dapat dipertontonkan ke khalayak ramai. Akhirnya, Ali membangun Pusat Kesenian Jakarta yang kemudian diberi nama TIM.
Sumber: Kompas
Ali memilih areal bekas kebun binatang yang luasnya kurang lebih delapan hektare di Jalan Cikini Raya 73. Lokasi ini dipilih Ali lantaran mudah dijangkau masyarakat dengan berbagai macam alat transportasi.
Saat hendak mendirikan TIM, Ali melihat Planetarium yang berdiri sejak 1964 terbengkalai lantaran tidak adanya biaya pemeliharaan dari pemerintah pusat. Ketika itu, Ali berinisiatif melanjutkan pembangunan Planetarium yang kemudian diintegrasikan dengan TIM.
Pada tahap awal pembangunan, Pemprov DKI saat itu menganggarkan Rp90 juta untuk pembangunan TIM. Proyek ini diberi nama Taman Ismail Marzuki sebagai penghargaan kepada almarhum Ismail Marzuki yang dikenal sebagai putra Jakarta, komponis, sekaligus pejuang kemerdekaan.
BACA JUGA: Cek AKTIVITAS KEPALA DAERAH, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini
Editor: Farid R Iskandar