Ceknricek.com -- Sejumlah perusahaan bersiap membangun pabrik baterai di Indonesia dalam menyongsong hadirnya industri mobil listrik. PT Pertamina dan PT Inalum merencanakan membenamkan investasi awal US$80 juta untuk kepentingan itu. Investasi ini amat mini dibandingkan rencana investasi raksasa dari China dan perusahaan asing lainnya.
Konsorsium asal China, Tsinghan Group, kini tengah mengurus izin membangun pabrik di Morowali, Sulawesi Tengah, dan di Pelabuhan Weda, Maluku Utara. Investasi yang disiapkan US$3,2 miliar.
Lalu, perusahaan patungan antara Grup Harita dan Ningbo Lygend--juga perusahaan asal China--sudah menetapkan operasi secara komersial pada Desember 2020. PT Vale Indonesia Tbk. (INCO) dan Sumitomo Metal Mining Co Ltd., tak mau ketinggalan. Perusahaan ini telah menetapkan lokasi pabrik di Pomalaa Sulawesi Selatan. Saat ini kedua perusahaan sedang dalam tahap feasibility study.
Selanjutnya, PT QMB New Energy Materials juga mempersiapkan hal yang sama. Perusahaan ini akan membangun pabrik bahan baku baterai kendaraan di Morowali Sulawesi Selatan dengan investasi US$700 juta.
Foto: Istimewa
Jika rencana investasi perusahaan-perusahaan tersebut terealisasi, bukan mustahil Indonesia bakal menjadi jawara mobil listrik ke depannya. Hanya saja, Indonesia bakal menjadi tempat bermain para jawara dunia itu. Perusahaan-perusahaan dalam negeri hanya akan menjadi penonton.
Baca Juga: Mencari Cara Mengusir Baja China
Maraknya investasi pembangunan pabrik baterai ini turut didorong Peraturan Presiden No. 55/2019 tentang Percepatan Progam Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan. Belied ini mulai diundangkan sejak 12 Agustus 2019.
Foto: Istimewa
Sebagai negara yang saat ini berada di posisi kedua sebagai produsen mobil di Asia Tenggara, Indonesia menargetkan 20% produksi kendaraan pada 2025 harus kendaraan listrik. Tak hanya di lingkup Asia Tenggara, pemerintah menargetkan industri otomotif di negeri ini dapat menjadi salah satu pemain utama kendaraan listrik di kancah global.
Suku Cadang
Selama ini Pertamina menyuplai 95% kebutuhan BBM masyarakat Indonesia. Hadirnya era mobil listrik, akan memaksa BUMN ini untuk membangun sumber energi baru. Memproduksi baterai untuk kendaraan listrik akan jadi bisnis yang potensial buat Pertamina.
Sumber: Kompas
Sejauh ini, Pertamina belum menentukan lokasi dibangunnya pabrik baterai kendaraan listrik. Menurut SVP Research and Technology PT Pertamina Dadi Sugiana, sebelum membangun pabrik, pihaknya akan mempelajari terlebih dahulu kebutuhan dari produsen kendaraan listrik, misalnya dengan Gesits, Viar, dan juga Toyota.
Baca Juga: China Pengganggu Baja, Semen, dan Tekstil Kita
Saat ini Pertamina juga masih mengkaji skenario untuk memproduksi baterai kendaraan. Apakah akan bekerjasama dengan perguruan tinggi di Indonesia yang sudah berhasil mengembangkan baterai lithium ion. Alternatif lainnya, bekerja sama dengan pihak-pihak yang telah berhasil membuat baterai kendaraan listrik dan sudah memiliki market global.
Sumber: Kompas
Vice President Planning & Commercial RTC (Research and Technology Center) Pertamina, Andianto Hidayat, mengungkapkan Pertamina sudah menyiapkan investasi sekitar US$80 juta atau setara dengan Rp112 miliar (kurs Rp14.000 per US$). Investasi sebesar itu hanya untuk menyiapkan satu lini (jalur) produksi. Artinya, besar kemungkinan seiring perkembangan, jumlah investasi yang disiapkan akan bertambah.
Rencana Pertamina untuk memproduksi baterai kendaraan, bukan rencana dadakan. Niat ini sudah tercetus sejak 2018. Menilik roadmap pengembangan energi terbarukan Pertamina, mulai 2022 BUMN ini berencana mengembangkan baterai dengan kapasitas 500 mwh. Empat tahun kemudian, pada 2026, kapasitas baterai produksi Pertamina ditargetkan meningkat dua kali lipat lebih, yakni mencapai 1.300 mwh.
Berbahan Baku Nikel
Indonesia memang harus segera masuk ke industri baterai, karena formulasi baterai yang berkembang saat ini berbahan baku Nikel. Di sisi lain, cadangan Nikel di Indonesia masih melimpah. Itu sebabnya, Indonesia wajib memanfaatkan potensi ini dengan membangun pabrik baterai.
Pertamina dan Inalum mesti cepat merespon tiap perkembangan yang terjadi. Soalnya Pertamina dan Inalum bukan satu-satunya korporasi yang memanfaatkan dimulainya era kendaraan listrik di Indonesia.
Sejumlah raksasa otomotif dunia juga ingin memanfaatkan peluang ini. Menurut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, perusahaan otomotif dunia seperti Volkswagen, Mercedes, dan Audi akan berkongsi membangun pabrik baterai kendaraan di Indonesia.
Baca Juga: Industri Tekstil Kita di Pintu Kebangkrutan
Pertamina belum memastikan lokasi pabrik baterainya akan dibangun. Di sisi lain, konsorsium yang beranggotakan Volkswagen dan kawan-kawan ini akan membangun pabriknya di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Morowali, Sulawesi Tengah. Investasi yang dikucurkan untuk merealisasikan pembangunan pabrik baterai ini pun cukup besar, US$3,2 miliar atau setara Rp44,8 triliun. Saat ini proses pembangunan pabrik itu sudah memasuki penyelesaian untuk izin AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Ligkungan).
Targetnya pada 18 Desember ini izin AMDAL sudah beres, sehingga di akhir tahun bisa dilakukan ground breaking pembangunan pabrik. Meski berisi perusahaan otomotif dunia, kabarnya konsorsium yang akan membangun pabrik baterai di Morowali ini dipimpin oleh perusahaan asal China, Tsingshan Group.
Foto: Istimewa
Perusahaan asal China memang begitu menggebu membangun industri baterai kendaraan di tanah air. Di awal tahun, Januari 2019, PT QMB New Energy Materials memulai pembangunan pabrik bahan baku baterai mobil listrik di IMIP. Pabrik ini dibangun di lahan seluas 120 Ha, dengan investasi sekitar US$700 juta. PT QMB New Energy Materials merupakan korporasi yang berdiri karena adanya kerja sama antara perusahaan China, Indonesia dan Jepang. Seperti GEM Co.,Ltd., Brunp Recycling Technology Co.,Ltd., Tsingshan, PT IMIP dan Hanwa.
Pabrik ini akan dikembangkan dengan lahan seluas 120 hektare dan investasi sebesar US$700 juta. Pabrik ini memiliki kemampuan mengolah nikel sebesar 50.000 ton dan kobalt 4000 ton, untuk diproduksi menjadi 50.000 ton produk intermedit nikel hidroksida, 150.000 ton baterai kristal nikel sulfat, 20.000 ton baterai kristal sulfat kobalt, dan 30.000 ton baterai kristal sulfat mangan.
Perusahaan China sudah bergerak jauh, sementara BUMN masih pada tahap rencana. Peluang di depan mata, di negeri sendiri, akan dinikmati asing jika kondisi tetap seperti sekarang ini.
BACA JUGA: Cek BIOGRAFI, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.