Jalan Oposisi Gerindra dan PKS | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Sumber : Sindonews

Jalan Oposisi Gerindra dan PKS

Ceknricek.com -- Menjadi oposan atawa golongan oposisi, bermakna melepaskan diri dari nikmatnya kekuasaan. Tanpa kekuasaan bermakna harus siap untuk hidup miskin. Oposan menjadi miskin karena tidak memiliki ruang mengumpulkan pundi-pundi dari kekuasaan. Maka wajar saja jika ada yang bilang, menjadi oposisi berarti berpuasa. Puasa kekuasaan.

Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sampai detik ini memilih oposisi. Jika betul begitu, berarti kedua partai ini akan memperpanjang puasa. Sekadar mengingatkan saja, Gerindra telah mengambil jalan oposisi pada pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla sejak 2014. Sebelumnya Gerindra juga berada di luar pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono (2009-2014). Sedangkan PKS masuk dalam koalisi pemerintahan SBY selama dua periode, yaitu tahun 2004-2014. Setelah itu, memilih beroposisi.

Foto : Kompas

Kedua partai ini sukses melewati hari-hari panjang beroposisi. Entahlah nanti lima tahun ke depan. Semoga saja tetap seperti itu agar demokrasi di negeri ini menjadi demokrasi yang sehat walafiat. Keberadaan parpol oposisi penting untuk kesehatan demokrasi karena oposisi bisa menyeimbangkan pemerintahan. Adanya oposisi menjadi ada mekanisme check and balances  sehingga mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.

Memilih untuk tidak masuk ke dalam kekuasaan memang berat karena berarti memilih untuk menjauhkan diri dari sumber finansial, baik secara resmi--salah satunya dari APBN--atau sumber lain dari duit-duit ilegal yang diambil dari negara.

Sudah begitu, menjadi oposisi terkadang rawan dikriminalisasi dan digembosi melalui berbagai modus entah oleh penguasa ataupun ‘tangan-tangan tersembunyi’. Indikasi tersebut makin menguat di tengah arus kekuasaan yang cenderung antikritik, otoriter, dan tidak menghendaki oposisi.

Foto : Topkini

Itulah sebabnya mengapa parpol lebih tertarik berada dalam lingkaran kekuasaan agar bisa hidup. Asal tahu saja, sudah lazim terjadi, kantor-kantor kementerian yang dipimpin menteri dari parpol akan juga menjadi kantor kedua partai politik asal kadernya itu. Nggak percaya? Cobalah sekali-kali jalan-jalan ke kantor kementerian yang dipimpin kader parpol.

Ah, rasanya risi menyenggol-nyenggol soal ini. Tapi, okelah, kita cerita yang sudah lewat saja. Dulu, kala Hatta Radjasa menjadi menteri perhubungan, lalu menko perekonomian, kantor Pak Menteri saban hari ramai dikunjungi kader Partai Amanat Nasional atau PAN. Urusan mereka macam-macam tapi konon kebanyakan urusan duit dan urusan partai tentunya.

Begitu juga Kantor Kementerian Pertanian dipimpin kader PKS Suswono maupun Anton Apriyantono. Orang-orang bertopi putih, berjenggot dan bercelana cingkrang seringkali meramaikan kantor di daerah Ragunan, Jakarta itu. Ada yang nyeletuk, mirip pesantren.

Foto : Tempo

Kantor Jacob Nuwawea (Alm.) saat menjabat Menteri Tenaga Kerja sama saja. Kader Banteng Moncong Putih keluar masuk kantor di Jalan Gatot Subroto itu. Saat kader Banteng meninggalkan Kemenakertras dan diganti Muhaimin Iskandar dari PKB, maka berganti pula mereka yang keluar masuk gedung tersebut.

Menjadi oposisi ada untung ruginya. Seperti orang yang berpuasa maka akan mendapatkan kenikmatan saat berbuka. Begitu juga beroposisi. Hal itu pernah dialami PDI Perjuangan. Selama menjadi oposan 10 tahun (2004-2014), partai ini mengalami masa-masa sulit.

Sikap oposisi PDIP sejak 2004 hingga 2014 membuat Banteng banyak memperoleh suara sehingga memenangkan pemilu pada 2014. Calon presiden yang diusungnya pun duduk di Istana. Benar kata eks Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, bahwa menjadi oposisi itu bagus untuk masa depan partai.

Pengalaman seperti PDIP tersebut bisa saja menjadi peluang yang bisa dimanfaatkan oposisi, khususnya PKS dan Gerindra. Dengan bersikap berbeda dan kritis, membuat mereka bisa mendapat sorotan dari media dan masyarakat, sehingga lebih mudah dikenali. Hal ini bisa saja berpengaruh bagi perolehan suara mereka dalam jangka panjang. Terlebih jika tren popularitas dan kinerja Jokowi lebih buruk dibanding periode pertamanya.

Soal itu, PKS dan Gerindra sesungguhnya juga punya pengalaman baik. Grafik dua partai ini menanjak selama di luar kekuasaan. PKS, misalnya, saat mengambil langkah sebagai oposisi terhadap Jokowi-JK sejak 2014, suaranya naik secara signifikan pada Pileg 2019 dengan perolehan 11,5 juta suara atau 8,21%. Sebaliknya, saat berada di pemerintahan, perolehan suara PKS malah menurun 6,79% atau sebanyak 8,5 juta suara pada Pemilu 2014.

Foto : Monitor

Begitu juga Gerindra. Terlepas dari faktor ‘efek ekor jas’ Prabowo sebagai presiden dari partainya, peningkatan suara Gerindra justru terbangun ketika partai ini berada di luar kekuasaan. Sejak pertama kali ikut pemilu tahun 2009, partai yang berdiri 6 Februari 2008 ini berada di urutan ke-8 dengan perolehan suara 4,6 juta atau 4,5%. Pada pemilu berikutnya (2014), Gerindra langsung menyodok atau naik signifikan ke urutan tiga dengan perolehan suara 14,8 juta suara  atau 11,81%. Sejumlah kalangan menyebut Gerinda partai ‘rising star’. Pada Pemilu 2019, perolehan suara Gerinda kembali naik menjadi 17,6 juta atau 12,57%.

Tentu saja, tidak mudah bagi Partai Gerindra untuk menjadi oposisi terus menerus selama tiga kali pemilu. Kondisi tersebut bisa membuat sebagian kader ataupun simpatisan Gerindra merasa lelah dan 'dahaga' (kekuasaan). Di sisi lain, Partai Gerindra memiliki peluang bergabung dengan pemerintah. Tawaran rekonsiliasi yang disertai tawaran jabatan di pemerintahan dan legislatif adalah isyarat ajakan pihak istana agar Gerindra berkoalisi. Hal itu tergantung dari keputusan Prabowo sebagai ketua umum.

Keuntungan menjadi oposisi secara elektoral akan terbuka lebar manakala kualitas narasi dan laku politik sanggup mengundang simpati rakyat. Sebab, kekuatan oposisi memang pada dasarnya bukan pada perolehan kursi di legislatif, tapi pihak-pihak di luar itu, yakni rakyat yang cenderung akan dipinggirkan oleh pemerintah dalam proses pembuatan kebijakan. Kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat menjadi modal oposisi untuk memengaruhi keputusan di parlemen. Lebih dari itu, parpol oposisi juga harus mampu membangun ‘koalisi’ dengan oposisi jalanan atau kelompok yang tak puas dengan kepemimpian Jokowi.

Sumber : Pinterpolitik

Hanya saja, memilih oposisi bagi Gerindra dan PKS saat ini akan terasa berat ke depannya. Jika benar Demokrat dan PAN merapat ke petahana, maka tujuh dari sembilan partai yang lolos ke Senayan, dengan total kursi mencapai 447, akan berada di barisan pendukung  Jokowi-Ma’ruf. Sementara PKS dan Gerindra hanya menguasai 128 kursi.

Dengan komposisi yang demikian, akan sulit bagi Gerindra (yang memperoleh 78 kursi) untuk memengaruhi kebijakan tertentu yang diputuskan oleh DPR RI. Begitu pula jika suara mereka bulat bersama PKS. Kecuali keduanya bisa menggalang kekuatan tambahan, termasuk dari luar parlemen.

Dan PKS serta Gerindra sudah punya modal untuk itu. Berkaca pada pengalaman Pilkada DKI dan Pilpres 2019, mereka dekat dengan kelompok 212, kelompok yang pertama-tama dibentuk untuk melawan bekas Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam kasus penistaan agama.

Modal politik yang dimiliki Gerindra dan PKS sebagai oposisi yang bisa memberikan keuntungan pada Pemilu 2024 juga setidaknya tergambar dari kalangan pemilih yang dalam dua pemilu terakhir memberikan dukungan kepada Prabowo-Gerindra dan PKS akan relatif terjaga tingkat political trust dan kesetiaannya. Mereka menjadi basis massa untuk mempertahankan serta memperbesar kekuatan Gerindra-PKS pada pemilu mendatang. Oposisi adalah baik dan sehat. Maka selamat beroposisi Gerindra dan PKS.



Berita Terkait