Ceknricek.com -- Jokowi menginginkan pasangan calon presiden yang mengurangi polarisasi. Begitulah yang tertera pada alinea pertama Berita Utama Koran Tempo kemarin.
Ada sejumlah terjemahan bebas dari 'keinginan' tersebut.
Pertama, Jokowi seolah ingin menggambarkan bahwa, selama masa pemerintahannya, dia memang 'berhasil menciptakan polarisasi permanen' bagi bangsa ini. Hal yang kemudian -- beberapa belas bulan sebelum dia secara konstitusional harus angkat kaki dari Istana Negara -- disadarinya sebagai keliruan. Lalu dia menyampaikan pesan. agar presiden dan wakil presiden terpilih menggantikannya, adalah pasangan yang mampu mengurangi polarasi.
Mengapa dikatakan dia berhasil menciptakan kondisi itu?
Sebab polarisasi tersebut justru menyuburkan politik identitas yang 'terpelihara secara sistematis dan terstruktur' di masa pemerintahannya. Dengan kekuasaan dan hak prerogatif yang dimiliki, dia malah menunjukkan sikap mendua. Ketika pembantu dan pendukungnya berujar, bersikap, bahkan bertindak menyuburkan perkubuan itu sendiri.
Terjemahan kedua, Jokowi maklum sekaligus menyadari. Dia terpilih dan menduduki tampuk kekuasaan di republik ini justru melalui proses polarisasi. Hal yang wajar dan semestinya belaka. Jika dan hanya jika tentang kontestasi gagasan untuk mempersatukan dan membangun bangsa yang majemuk ini. Seperti janjinya yang hanya menempatkan profesional pada jajaran pembantu. Bukan bagi-bagi jatah berlatar politik. Atau tentang revolusi mental yang didengungkannya semula. Hal yang hari ini, menjelang 8 tahun kekuasaannya, justru membingungkan kita semua soal mental bangsa apa dan bagaimana yang sebetulnya direvolusi.
Polarisasi pada ranah gagasan, artinya tetap mengedepankan asas menghormati perbedaan berdasarkan sistem demokrasi yang kita anut. Tanpa perlu dan harus menyeragamkan maupun membungkamnya. Seperti upaya sembrono yang dilakukan dengan cara merangkul dan mengajak sosok-sosok sentral pada kubu berbeda, bergabung ke dalam kelompoknya.
Pendekatan demikian mestinya disadari sebagai upaya untuk melemahkan kubu berseberangan belaka. Sekedar menciptakan 'pengkhianatan' internal pada kubu lawan. Bukan soal 'belanja' gagasan lebih baik. Karena sesuai, melengkapi, bahkan menyempurnakan pemikiran dan kerja yang sedang dilakukannya. Nuansa 'pengkhianatan' di tubuh kubu berseberangan yang tercipta lewat strategi perangkulan itu, justru berujung membangkitkan dinamika konsolidasi yang dilandasi tekad 'tak ingin kecolongan' lagi.
Maka polarisasi dengan nuansa politik identitas itu, justru semakin tak terhindarkan saja. Dialog untuk saling menghormati perbedaan gagasan justru tak pernah berlangsung. Sebaliknya, hanya menyisakan 'dendam' yang melandasi tekad kubu lawan mengambil alih kekuasaannya. Hal yang kemudian tak menutup kemungkinan cara serupa digunakan lagi, untuk membungkam perbedaan dengan yang lain nanti. Karena Jokowi telah berhasil menabalkan presedennya. Juga membangun 'infrastruktur' yang dibutuhkan. Mulai dari 'eksistensi' Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi, politik pemusatan kekuasaan, hingga pelembagaan kembali dwi fungsi yang kasat mata meski terselubung.
+++
Alih-alih memaparkan agenda kepemimpinannya yang perlu dituntaskan, berikut dengan langkah-langkah berkejaran waktu yang akan diambil, dia lebih asyik membicarakan 'kebisaannya' memasangkan calon yang kelak meneruskan. Hal yang sejatinya bukan urusan maupun kewenangan dia. Meski sebagai seorang presiden sekalipun. Keinginan menggunakan 'kebisaannya' itu, justru mempertegas polarisasi yang sudah makin kentara menjelma sebagai politik identitas hari ini.
Editor: Ariful Hakim