Ceknricek.com--Menarik, apa yang diungkap jajaran kementerian Komdigi: membasmi judol (judi online) di Indonesia amatlah sulit, dimatikan/diblokir satu akan tumbuh seribu, wow! Sebelumnya, Cak Imin selaku Menko Pemberdayaan Masyarakat telah menyatakan bahwa fenomena maraknya judol telah menjadi bencana sosial di Indonesia, dimana tak kurang 8,8 juta rakyat telah menjadi penggemar judol. Mirisnya, tak kurang dari delapan ribu anak atau di bawah umur juga ditengarai telah kecanduan judol ini.
Dengan kemajuan teknologi internet, berbagai platform judi online kini dapat diakses dengan mudah oleh siapa saja, termasuk anak di bawah umur. Menurut data dari Bareskrim Polri, terdapat lebih dari 500 situs judi online aktif yang diakses oleh masyarakat Indonesia setiap harinya!
Pada tahun 2022, Polri mengungkapkan bahwa transaksi terkait judi online di Indonesia mencapai angka Rp81 triliun dalam satu tahun. Laporan ini juga menandaskan bahwa judi online menjadi salah satu penyebab utama kerugian finansial individu, konflik keluarga, dan peningkatan kriminalitas. Dalam konteks ini, perusahaan teknologi dan lembaga keuangan memiliki peran krusial untuk memastikan aktivitas mereka tidak berkontribusi pada bencana sosial ini.
Adapun survei yang dilakukan oleh We Are Social pada tahun 2023 menunjukkan bahwa sekitar 15% pengguna internet di Indonesia pernah mengakses platform perjudian online, baik dalam bentuk kasino digital, taruhan olahraga, maupun lotre . Maraknya judi online di Indonesia tidak hanya menjadi tantangan hukum, tetapi juga menciptakan dampak sosial, ekonomi, dan moral yang serius.
Mentalitas Instan
Judi online merupakan fenomena modern yang berkembang pesat seiring dengan kemajuan teknologi dan budaya digital, tentu saja tetap seiring dengan judi konvensional. Berjudi, baik online maupun konvensional, pada dasarnya adalah usaha untuk memperoleh keuntungan besar dengan cara yang cepat dan tanpa usaha yang signifikan alias instan!
Pola pikir dan mentalitas instan ini sering kali bertentangan dengan pandangan etis yang mengutamakan upaya dan usaha nyata dalam mencapai hasil. Dalam masyarakat umumnya, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kerja keras, perilaku berjudi online bertentangan dengan nilai-nilai tersebut dan sering dianggap sebagai bentuk penghindaran tanggung jawab sosial. Dengan akses yang mudah, anonimitas, dan promosi agresif melalui media sosial, judi online telah menjadi ancaman sosial yang serius, memengaruhi individu di berbagai lapisan masyarakat.
Dari perspektif filosofis, fenomena ini melibatkan kebebasan individu (Mill), tanggung jawab moral (Kant), dan pencarian kebahagiaan sejati (Aristoteles). Namun, budaya digital saat ini sering kali memperburuk masalah dengan menciptakan kondisi yang mendorong kecanduan. Mengatasi kecanduan judi online memerlukan pendekatan multidimensi, termasuk refleksi filosofis, dukungan psikologis, edukasi, intervensi teknologi, dan regulasi pemerintah. Dengan memadukan pemikiran filosofis dan strategi praktis, masyarakat dapat membangun ekosistem digital yang lebih sehat dan beretika.
Dari perspektif moral, judi online sering dianggap melanggar norma etika karena menciptakan kerugian yang lebih besar dibandingkan manfaatnya. Immanuel Kant, dalam teorinya tentang imperatif kategoris, menekankan bahwa tindakan manusia harus dapat diterima secara universal. Judi online, yang sering kali mengeksploitasi kelemahan psikologis individu untuk keuntungan finansial platform si penyelenggara, sulit dianggap sebagai tindakan yang bermoral. Aktivitas ini bertentangan dengan prinsip keadilan karena menguntungkan segelintir pihak dengan mengorbankan banyak orang.
Judi online sering dianggap sebagai ekspresi kebebasan individu, di mana pemain memiliki hak untuk mengambil risiko dengan uang mereka (entah berasal dari sumber mana, legal atau illegal) demi mendapatkan kesenangan atau keuntungan. Hal ini memang diakui dalam filsafat liberalisme, dimana kebebasan individu adalah hak asasi yang fundamental kendati kebebasan ini seringkali berubah menjadi ilusi. Tetaplah patut dicamkan, John Stuart Mill dalam bukunya On Liberty menekankan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memilih tindakan selama tidak merugikan orang lain.
Adapun Daniel Kahneman, seorang psikolog dan ekonom, dalam bukunya Thinking, Fast and Slow menjelaskan bahwa keputusan dalam perjudian lebih sering didasarkan pada bias kognitif daripada rasionalitas. Dalam judi online, pemain sering terjebak dalam gambler’s fallacy (kesalahan berpikir bahwa hasil masa lalu memengaruhi peluang masa depan) atau loss aversion (kecenderungan menghindari kerugian). Hal ini mengakibatkan individu kehilangan kontrol atas pilihan mereka, yang bertentangan dengan prinsip kebebasan rasional. Banyak platform judi online menciptakan ilusi bahwa pemain memiliki kendali atas hasil permainan, meskipun hasilnya sepenuhnya acak atau diatur lebih menguntungkan pihak penyelenggara. Harus dicamkan lagi bahwa bias ini diperkuat oleh desain platform yang memanfaatkan kelemahan psikologis manusia, menciptakan siklus kecanduan dan kerugian.
Sebagaimana dinyatakan oleh Aristoteles, dalam Nicomachean Ethics, berpendapat bahwa kebahagiaan sejati (eudaimonia) dicapai melalui kebajikan dan keseimbangan (golden mean). Judi online, sebagai bentuk hiburan, dapat menjadi tindakan yang berlebihan (excess) ketika individu kehilangan kendali dan jatuh ke dalam kecanduan alias kebutuhan atas kebahagiaan tak sejati. Menurut Aristoteles, pendidikan moral dan kebiasaan yang baik adalah kunci untuk menghindari tindakan yang merusak diri sendiri, termasuk kecanduan judi. Dalam konteks ini, peran keluarga, sekolah, dan komunitas menjadi penting dalam membangun karakter individu.
*) Greg Teguh Santoso, dosen lulusan doktor di bidang Knowledge Management
Editor: Ariful Hakim