Kalau Begitu, Presiden Juga Radikal, Dong | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Ashar/Ceknricek.com

Kalau Begitu, Presiden Juga Radikal, Dong

Ceknricek.com -- Radikal. Kata itulah yang belakangan dihidangkan ke publik. Presiden dan Wakil Presiden bicara tentang radikal. Para menteri sampai polisi juga mengembuskan anti-radikal dan radikalisme. Media sosial atau medsos dipenuhi olok-olok, saling ledek, dan meme tentang radikal. Kini, Pemerintahan Joko Widodo menjadikan perang dengan kaum radikalis sebagai prioritas utama.

Anehnya, “perang ini” seperti memerangi hantu. Jangankan bicara strategi, bahkan definisi radikal pun belum dirumuskan. “radikal, radikul …” begitu istilah yang digunakan warganet saking muaknya dengan istilah radikal yang sudah menjadi asongan pihak-pihak tertentu.

Pada Senin (28/10), eks Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Muhammad Said Didu lewat akun @msaid_didu memosting foto dirinya yang tengah duduk sembari merokok dengan cuitan: Lagi mikir, apa sih yang dimaksud radikal? Siapa sebenarnya radikal? Siapa sebenarnya pedagang radikal?

Tokoh sekelas Said Didu memosting cuitan begitu bukan karena dia bodoh atau buta huruf tentang radikal. Dia tentu punya maksud tertentu.

Status twitter Said ini ditanggapi serius politisi Partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean, dalam akun @FerdinandHaean2. Ciri-ciri radikal, menurut Ferdinand, 1. Lidah tipis mengkafirkan org lain; 2. Tidak menghormati perbedaan; 3. Menebar paham kebencian dan permusuhan;4. Menghina, menista keyakinan yang berbeda; 5. Mendukung kejahatan kemanusiaan yang dilakukan teroris atas nama agama; 6. Ceramahnya menghasut kebencian.

Boleh jadi itu pula yang dipahami Mahfud MD, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan tentang radikal. Tak lama setelah dilantik, eks Ketua Mahkamah Konstitusi ini meminta agar para tokoh agama tidak lagi saling mengkafirkan dalam ceramahnya di masjid.

"Jangan suka mengkafirkan orang yang berbeda pendapat,” papar Guru Besar Fakultas Hukum UII Yogyakarta tersebut. "Katanya kalau tidak pakai cadar itu kafir, tidak ikut nabi. Kalau punya patung Garuda Pancasila itu seperti orang jahiliyah, itu kafir. Nah, begitu itu nggak boleh, itu namanya kaum takfiri," sambungnya.

Pernyataan Mahfud itu tentu saja ada benang merahnya dengan definisi tentang radikal yang dicuit Ferdinand. Gampang mengkafirkan orang lain masuk dalam ciri pertama tindakan radikal.

Sumber: Indonesia Kini

Wakil Presiden (Wapres) Ma'ruf Amin juga mengungkit masalah radikal saat menghadiri Santri Culture Night Carnival (SCNC) di Kantor Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, Minggu (27/10). Dia memerintahkan santri terdepan dalam menangkal paham radikal, intoleran, hingga terorisme. "Tugas santri adalah bersama-sama pemerintah untuk mengawal NKRI dari paham-paham yang menyimpang. Ini tekad kita," kata Ma'ruf.

Tiap Orang Radikal

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia radikal adalah 1 secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip): perubahan yang --; 2 Pol amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan); 3 maju dalam berpikir atau bertindak.

Belum lama ini Majalah Gontor menurunkan hasil wawancaranya dengan salah satu Pimpinan Pondok Modern Gontor, KH Hasan Abdullah Sahal, tentang stigmatisasi pesantren sarang radikalisme. Menurut Kiai, di dunia ini tidak ada orang yang tidak radikal. Orang lahir sudah radikal. Orang mempunyai maksud berarti radikal. ”Radikal jangan ditutup karena semua orang itu radikal,” katanya.

Sumber: Gontor News

Koperasi dan kebersamaan itu radikal karena anti-investor. Investor itu kapitalis, licik, menzalimi orang. Reklamasi, sawah-sawah diganti gudang-gudang, pertanian dijadikan pabrik demi investasi. Ini radikal. Lupa petani, lupa nelayan, lupa pedagang, dan lain-lain yang semuanya harus diatur oleh investor. Ini namanya investor radikal.

Orang yang harus bertani ini saja, lanjut Kiai, juga radikal. Hati mereka radikal semua. Muslim radikal, kafir radikal. Tidak ada setengah kafir, setengah Muslim. Orang yang menuduh Islam itu radikal, dia itu orang radikal.

Menurut Kiai, Islam bukan agama radikal, yang mengatakan Islam radikal, itu radikal. Menyuruh tidak usah beragama, tidak usah bersyariah, tidak usah salat, tidak usah cari halal-haram, itu radikal.

Baca Juga: Tim Ekonomi: Politisi Selalu Membikin Ragu

“Anda kalau makan tidak usah mencari yang halal. Suruhan itu namanya radikal. Saya tidak makan kecuali halal, ini juga radikal. Artinya orang mempunyai kepribadian yang memiliki kekuatan yang mengakar. Sekarang bagaimana orang kafir dan Muslim berkumpul? Harus pakai toleransi. Letakkan radikalisme ini. Kita dijebak,” katanya.

 “Yang penting adalah bagaimana menyikapi radikalisme masing-masing. Yang kita didik adalah bagaimana menyikapi radikalismenya masing-masing. Demi bisa hidup bersama-sama, karena mereka tidak bisa hidup sendiri, mereka tidak bisa dipaksa hidup diradikali pihak lain,” urainya.

Tentang teroris Kiai Sahal juga punya pendapat yang boleh jadi berbeda dengan definisi yang berkembang di tengah masyarakat selama ini. “Perbuatan ini, pemaksaan-pemaksaan ini, ancam-mengancam ini namanya teror. Kita mengajarkan memakai jilbab, tutup aurat, anak-anak kita didik, tiba-tiba ada orang datang membawa barisan telanjang, pakai rok mini, buka-bukaan. Ini teror. Siapa yang diteror? Nurani! Iman kita yang diteror!” tuturnya.

Gambar-gambar, iklan-iklan yang merusak, yang erotis itu meneror iman, teroris itu! Bagi orang Islam, hukum wajib, syariat wajib. “Tapi membunuh orang kafir, tidak memakai jilbab, itu teror. Islam tidak menyuruh orang kafir itu dibunuh. Orang kafir dibunuh karena membunuh dakwah, dakwah harus berjalan. Yang menghalangi dakwah yang dibunuh. Ada orang kafir berdagang, rusak itu dagangannya, ya tidak boleh. Teror itu di mana-mana, kita ditipu. Jangan cari yang halal, haram, kalau makan, ya makan saja. Itu teror. Masalahnya yang diteror itu siapa?”

Radikal Sekuler

Apa yang dibilang Kiai Sahal tak jauh berbeda dengan pernyataan Mahfud MD. Dia bilang kelompok radikal bukan berarti orang Islam. Ia pun mengajak agar pemikiran bahwa orang yang radikal merupakan orang Islam untuk diubah.

"Kelompok radikal itu bisa Islam bisa tidak. Di mana-mana banyak orang radikal. Oleh sebab itu jangan dibelok-belokkan. Karena radikalisme bukan orang Islam juga, jadi jangan dikacaukan," katanya.

Ia menjelaskan, radikalisme berarti gerakan atau paham yang ingin menawarkan alternatif lain terhadap ideologi dengan cara kekerasan. Untuk itu perlu adanya upaya deradikalisasi.  "Radikal itu lawannya gradual. Gradual itu bertahap," lanjut Mahfud.

Persoalannya, pemerintah memang cenderung menempatkan kelompok radikal adalah kelompok Muslim. Maka wajar saja jika eks Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Taufikurrahman Ruki, menyoal tentang radikalisme sekuler. Dalam tulisannya yang viral di medsos, ia menggugat negara yang tidak mewaspadai bahaya radikalisme sekuler yang juga bertentangan dengan ideologi negara Pancasila.

Sumber: Istimewa

Sampai saat ini tidak ada aparat negara yang berteriak keras tentang perlunya mewaspadai paham radikalisme sekuler yang merebak di Indonesia. Tidak ada dibentuk badan khusus penanggulangan bahaya sekulerisme. Tidak ada detasemen khusus yang ditugaskan untuk itu.

Lalu, apa itu radikalisme sekuler? Harvey Cox, seorang pakar sekulerisme, merumuskan 3 pilar sekulerisme, yaitu: 1. Dischanment of nature, 2. Desacralization of politics, dan 3. Deconsecration of values.

Dischanment of nature artinya kehidupan dunia harus disterilkan dari pengaruh rohani dan agama. Sekuler liberal membatasi peran agama sebatas persoalan personal. Agama hanya cukup sampai dinding masjid atau gereja. Di luar itu, akal manusia lah tuhannya. Sekuler radikal ingin menyingkirkan agama dari kehidupan. Ini beda tipis dengan komunisme.

Desacralization of politics artinya dunia politik harus dikosongkan dari pengaruh agama dan nilai spiritual. Politik semata urusan akal manusia. Agama dan segala simbolnya dilarang terlibat dalam urusan politik. Agama sendiri, politik itu wilayah tersendiri yang harus dipisahkan. Keduanya tidak bisa disatukan.

Baca Juga: Kabinet Radikal Presiden Jokowi

Deconsecration of values maksudnya tidak ada kebenaran mutlak. Nilai-nilai bersifat relatif. Doktrin ini menisbikan kebenaran yang ada dalam kitab suci. Bagi mereka kitab suci itu hanya buatan manusia. Oleh karena itu penganut paham ini suka mengolok-ngolok kitab suci mereka sendiri, termasuk kitab suci orang lain.

Benar, ekstremisme itu ada dalam semua agama dan aliran. Bahkan dalam ilmu juga ada yang ekstrem. Tapi urusan negara bukan yang itu karena publik punya mekanisme untuk menertibkan dirinya. Ada yang namanya “wisdom” ada yang namanya “common good” itu hidup dan selalu ada.

Eks Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah, mengingatkan soal Polhukam di negeri ini tidak bisa diurai dengan otot atau otak kecil. Hanya otak besar yang bisa mengurai. Pendekatan demokrasi itu rumit dan karena itu mahal.

Menurut Fahri, isu radikalisme telah terjebak menjadi industri. Cara pejabat menakut-nakuti bangsa ini dengan isu radikal yang dituduhkan kepada kelompok Islam sudah merusak banyak sekali modal sosial kita. Tidak mudah dikembalikan.

Kok bisa bangsa mayoritas Islam ditakut-takuti dengan ajaran Islam. Lalu kok kita semua percaya bahwa radikalisme ada di mana-mana dan mengancam negara kesatuan. “Ajaib. Contoh dari satu dua ceramah dari ribuan ceramah setiap hari di seluruh Indonesia di-copy dan dijadikan alat bukti,” ujarnya.

Fahri menyerukan agar pemerintah menertibkan para pedagang isu radikalisme dari negara. “Pensiunkan mereka secepatnya. Ajak para tokoh agama bersatu, ajak ulama, pendeta, pedanda, pastor dan bhiksu, dll. Mereka telah menjadi pahlawan kerukunan sepanjang Republik ini ada. Mereka lebih tahu apa yang terjadi,” katanya.

Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Wantim MUI), Din Syamsuddin menyampaikan bahwa sebagian umat Islam merasa terkena tuduhan radikalisme dan intoleransi. Tuduhan tersebut terasa menyakitkan bagi umat Islam, padahal kalau umat Islam tidak toleransi tentu tidak akan ada stabilitas dan kerukunan di Indonesia.

Sumber: Istimewa

Umat Islam adalah kelompok yang paling toleran. Sebagai buktinya kesultanan-kesultanan yang jumlahnya sekitar 70-an ikhlas bergabung untuk mendukung dan berintegrasi dengan negara baru bernama Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Itu adalah sikap toleransi yang sangat besar.

"Tidak mungkin ada tingkat kerukunan nasional seperti ini kalau umat Islam yang jumlahnya banyak tidak toleran," kata Din kepada Republika usai Rapat Pleno Wantim MUI ke-44 di Gedung MUI Pusat, Rabu (23/10).

Din Syamsuddin  pun menyerukan Kementerian Agama jangan belok menjadi anti radikalisme. Bila Kemenag mendapatkan tugas menjadi antiradikalisme maka seolah-olah umat beragama yang radikal. Din mengingatkan, boleh saja antiradikalisme tapi jangan hanya antiradikalisme keagamaan. Tapi tidak mempedulikan radikalisme ekonomi dan radikalisme politik.

Baca Juga: Ekonomi dan Korupsi, Bukan Radikalisme!

"Tapi kenapa tidak mempersoalkan radikalisme ekonomi, yang melakukan kekerasan pemodal, yang menimbulkan kesenjangan, itu namanya radikalisme ekonomi, kenapa tidak mempedulikan radikalisme politik, yang kemudian merasa menang merasa berkuasa seolah-oleh bisa berbuat apa saja dalam bentuk otoritarianisme," ujarnya.

Kelompok dan paham yang anti-Pancasila harus ditolak tapi tidak hanya paham yang bersifat keagamaan. Sebab banyak juga kelompok yang ingin mengembangkan paham-paham lain yang anti-Pancasila.

Paham kapitalisme dan liberalisme itu anti-Pancasila. Bahkan sistem politik di Indonesia bertentangan dengan sila keempat Pancasila. Kemudian sistem ekonomi di Indonesia bertentangan dengan sila kelima Pancasila. "Tapi kenapa itu tidak dituduh musuh nyata Pancasila, apalagi ada separatisme," ujar Din.

Separatisme, radikalisme, terorisme tidak ada hubungannya dengan agama. Itu berasal dari ketidakadilan dan kemiskinan. “Fokuslah ke sana. Di situlah akar masalah,” cuit Ustaz Haikal.

BACA JUGA: Cek Berita SEJARAH, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.



Berita Terkait