Kasus Garuda: Skandal Window Dressing? | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Sumber : Market Bisnis

Kasus Garuda: Skandal Window Dressing?

Ceknricek.com -- Harga saham PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., menukik sebesar 1,28% ke level Rp464 per lembar pada perdagangan sesi kedua Selasa, 30 April 2019, kemudian sedikit beringsut ke angka Rp466 per lembar pada penutupan pasar. Pada Rabu (24/4) pekan lalu saham GIAA masih bertengger di angka Rp510 per lembar. Harga Sang Garuda turun mulai, Jumat (26/4). Pada hari itu saham maskapai ini hanya diharga Rp460 per lembar.

Pada Selasa kemarin (30/4) Bursa Efek Indonesia (BEI) memanggil jajaran direksi Garuda Indonesia. Pemanggilan tersebut berkaitan dengan penolakan beberapa komisaris atas laporan keuangan 2018 perusahaan pelat merah ini.

RUPS Garuda. Sumber : BUMN Track

Pertemuan digelar pada pukul 08.30-09.30 BI, menghadirkan jajaran direksi Garuda dan auditor dari laporan keuangan tersebut. Sayang, apa hasil pertemuan itu tak ada yang rela membocorkan. Pihak Garuda dan BEI sama-sama menutup mulut rapat-rapat.

Harga saham Garuda menjadi murah sebagai respon kejadian di Hotel Pullman 24 April 2019. Pemantiknya adalah Chairal Tanjung dan Dony Oskaria. Dua orang komisaris Garuda ini menolak menandatangani laporan buku tahunan Garuda 2018 saat Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST). Keduanya adalah komisaris yang mewakili pemegang saham dari PT Trans Airways dan Finegold Resources Ltd. Dua perusahaan itu memegang 28,08% saham Garuda. Keduanya milik pengusaha Chairul Tanjung, kakak dari Chairal Tanjung.

Chairal dan Dony menolak menandatangani laporan keuangan karena mencium gelagat tidak beres. Garuda diketahui memasukkan pendapatan 15 tahun ke depan sebagai pendapatan 2018. Nilainya amat besar, yakni sekitar US$239,9 juta atau Rp3,47 triliun (kurs dalam laporan keuangan 14.481 per dolar AS). Pendapatan tersebut berasal dari kerja sama layanan tambahan antara PT Mahata Aero Teknologi dan anak usaha Garuda, PT Citilink Indonesia, yang diteken pada Oktober 2018 dan berlaku selama 15 tahun. Garuda, yang hingga triwulan ketiga tekor sekitar Rp1,64 triliun, mendadak untung hampir Rp72,6 miliar pada akhir 2018.

Menurut Chairal, catatan transaksi kontrak Mahata dengan Garuda seharusnya tidak dapat diakui sebagai pendapatan dalam tahun buku 2018. Dalam suratnya, yang dikutip CNBC, Chairal menulis bahwa pengakuan pendapatan dari kontrak Mahata bertentangan dengan Pedoman Standar Akuntansi Keuangan (PASK) No. 23 tentang Pendapatan, terutama paragraf 28 dan 29.

Dalam PASK No. 23 dijelaskan pendapatan yang timbul dari penggunaan aktiva perusahaan oleh pihak lain yang menghasilkan bunga, royalti dan dividen dapat diakui apabila besar kemungkinan pendapatan akan diperoleh perseroan.

Selain itu, jumlah pendapatan juga dapat diukur dengan andal, dan royalti harus diakui atas dasar akrual sesuai dengan substansi perjanjian yang relevan. Namun, Chairal dan Dony tidak yakin kontrak Mahata dengan Garuda bisa terpenuhi.

"Window Dressing"

Tindakan Garuda memoles laporan keuangan ini bisa disebut sebagai praktik window dressing. Yang dimaksud window dressing adalah praktik rekayasa dengan menggunakan trik-trik dari akuntansi guna membuat neraca perusahaan atau laporan laba rugi terlihat lebih baik dari yang sebenarnya.

Di luar negeri, skandal window dressing yang menyesatkan terjadi pada Toshiba. Perusahaan asal Jepang itu diketahui menggelembungkan labanya hingga US$1,2 miliar selama periode 2008-2015.

Mengutip New York Times, penggelembungan itu didorong krisis keuangan global 2008, sehingga membuat para manajer dari berbagai divisi Toshiba mengambil ‘jalan pintas’ agar nilai laba usaha sesuai keinginan atasan mereka.

Toshiba. Sumber : Nikkei Asian Review

Tindakan window dressing juga terjadi Amerika Serikat pada perusahaan energi yang berbasis di Houston, Texas pada pada 29 Oktober 2001. Publik menyebutnya sebagai Skandal Enron. Ini adalah skandal yang melibatkan Enron dengan analis keuangan, para penasihat hukum dan auditornya yaitu firma Arthur Andersen.

Jatuhnya sebuah raksasa bisnis energi ini menghebohkan dunia, terutama dunia akuntansi. Selain karena Enron sebagai perusahaan yang memegang peran penting dalam bisnis energi, perusahaan jasa konsultan professional auditor terkemuka juga terlibat di dalamnya. Skandal ini menjadi menarik karena terungkapnya sejumlah pejabat tinggi Gedung Putih dan sejumlah Senator pernah menerima kucuran dana politik dari Enron.

Awal terungkapnya megaskandal ini bermula ketika menejemen perusahaan Enron melakukan penggelembungan (mark up) nilai pendapatan US$600 juta dan menyembunyikan utang senilai US$1,2 miliar.  Menggelembungkan nilai pendapatan dan menyembunyikan utang senilai itu tentulah tidak bisa dilakukan sembarang orang. Diperlukan keahlian “akrobatik” yang tinggi bagi Enron untuk menyulap angka-angka, sehingga selama bertahun-tahun kinerja keuangan perusahaan ini tampak tetap mencorong. Dengan kata lain, telah terjadi sebuah kolusi tingkat tinggi antara manajemen Enron, analis keuangan, para penasihat hukum, dan auditornya.

Enron. Sumber : Finansialku

Saham Enron yang pada Agustus 2000 masih berharga US$90 per lembar, terjerembap jatuh hingga tidak lebih dari US$45 sen. Tidak heran kalau banyak kalangan menyebut peristiwa ini sebagai kebangkrutan terbesar dalam sejarah bisnis di Amerika Serikat.

Kembali ke kasus laporan keuangan Garuda. Mengapa manajemen nekat memoles keuangan maskapai ini? Sejumlah kalangan menengarai Garuda ingin tampil cantik saat Pilpres 2019. Maklum saja, calon Presiden Prabowo Subianto kelewat rajin mengkritisi kinerja BUMN, terutama PT Garuda Indonesia, Tbk.

Dugaan itu tidak asal saja. “Ada motif politis dalam window dressing Garuda ini. Beberapa kali Kementerian BUMN diserang atau dicap gagal karena banyak BUMN yang rugi,” tutur Bhima Yudhistira Adhinegara, ekonom dari INDEF, seperti dikutip Tirto.id.

Garuda terus saja menghadapi krisis kepemimpinan. Sejak Emirsyah Satar mengundurkan diri pada Desember 2014, maskapai pelat merah ini telah berganti direktur utama tiga kali. Belakangan, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Emirsyah sebagai tersangka dugaan suap pengadaan mesin pesawat Garuda.

Sebenarnya tren kinerja Garuda membaik. Pada triwulan pertama 2019, pendapatan Garuda dilaporkan naik 36% dibanding periode yang sama tahun lalu. Maka, sungguh disayangkan upaya keras itu dirusak. Gara-gara skandal ini, harga saham Garuda di Bursa Efek Indonesia merosot.

Lantaran itu, tepat kiranya mendukung Badan Pemeriksa Keuangan dan BEI memeriksa kantor akuntan publik yang mengaudit laporan keuangan Garuda. Seharusnya Otoritas Jasa Keuangan juga menelusuri kasus ini, termasuk menemukan motifnya, karena lembaga inilah yang bertanggung jawab meloloskan laporan keuangan sebuah perusahaan terbuka.



Berita Terkait