Oleh Zulkarimein Nasution
07/25/2021, 11:22 WIB
Ceknricek.com--Saya paham mengapa begitu marahnya publik (setidaknya yang ada di medsos) kepada rektor Universitas Indonesia (UI) Ari Kuncoro yang melanggar larangan Statuta UI merangkap jabatan, lantas kini aturan Statutanya yang diubah jadi membolehkan. Hampir segala stock umpatan dan kreasi sindiran tajam telah dimuntahkan kepadanya. Dalam artikel "Rektor UI Jadi Bulan-bulanan di Twitter usai Jokowi Revisi Statuta UI" di Suara.com (26-7-21) misalnya, dikutipkan beberapa cuitan.
"Pelajaran apa ya yang ingin disampaikan oleh Rektor UI kepada seluruh mahasiswa, alumni, dan bangsa Indonesia? Moral apa yang ingin dibangun @univ_indonesia bagi bangsa ini? Bahwa jabatan harus diperjuangkan dengan cara apa pun saat berkuasa?" cuit Ismail Fahmi, pakar teknologi informasi yang juga peneliti media sosial dari Drone Emprit.
Sementara Febri Diansyah, mantan juru bicara KPK dan eks peneliti antikorupsi di ICW, mengucapkan selamat kepada Rektor UI karena "aturannya udah berubah". "By the way, dulu saat diangkat jadi komisaris, pakai aturan lama atau baru? Pengangkatannya sah enggak? Terus bagaimana gaji dan fasilitas lain yang sudah pernah diterima?" tanya Febri. Menurut Suara.com, hingga berita itu ditayangkan, cuitan tentang Rektor UI sudah hampir 10.000 kali di Twitter Indonesia.
Belum lagi yang lucu-lucu berikut ini: 1. "Rektor UI naik mobil hampir nabrak pagar. Pagarnya geser sendiri," tulis warganet. 2. "Rektor UI lewat perlintasan Kereta Api.. Kereta apinya yang berhenti," tambah yang lain. 3. "Rektor UI melanggar aturan, aturannya yg minta maaf," sambung lainnya. 4. "Rektor UI kalau nerobos lampu merah, aturannya langsung diubah, lampu ijo jadi berhenti, merah jadi jalan," tutur warganet. 5. "Rektor UI melanggar hukum gravitasi, Issac Newton pun bangkit dari kubur untuk merevisi teorinya," kata warganet. 6. "Rektor UI kepanasan. Mataharinya yg redup sendiri," tulis yang lain. 7. "Rektor UI minum soda gembira, soda nya langsung sedih," cuit warganet. 8. "Rektor UI divaksin, vaksinnya yang meriang," pungkas warganet lainnya.
Maka logislah jika cipratan kemarahan itu berimbas pada semua yang ada kaitannya dengan lembaga yang berlogo makara itu: mahasiswa, pegawai, pengajar dan alumni.
Ekspektasi Masyarakat
Mengapa masyarakat marah? Bukan karena mereka jeles bahwa Ari Kuncoro setiap bulan mendapat gaji dobel: sebagai rektor UI dan wakil komisaris utama BRI.
Kemarahan masyarakat merupakan cerminan dari kepedulian dan ekspektasi mereka kepada UI. Mereka tidak bisa menerima realiti bahwa di UI yang selama ini mereka hargai terjadi juga (bahkan disahkan pembolehannya) pelanggaran aturan yang notabene dibuat oleh UI sendiri. Dalam bayangan masyarakat (atau istilah Wilbur Schramm, picture in our head) tidak mungkinlah institusi seperti UI yang menyandang motto Veritas, Probitas, Iustitia itu mau menodai diri dengan perbuatan seperti ini. Bagi masyarakat, pengesahan PP No.75/2001 justru malah makin memperluas masalah yang telah terjadi.
Sebenarnya masyarakat sudah tidak lagi merasa asing dengan berbagai pelanggaran aturan yang terjadi di negeri ini. Hanya saja mereka seakan tidak menerima jika hal itu dilakukan oleh UI. Mereka berekspektasi, kiranya masih ada sebuah institusi yang dapat dijadikan tumpuan harapan mengenai kebenaran, keadilan dan kejujuran. Padahal, para pihak yang terlibat dalam perubahan statuta ini, yaitu anggota MWA, senat akademik, guru besar dan rektor juga manusia biasa seperti yang diluar UI.
Sama halnya dengan hampir 200 alumni yang meneken pernyataan keprihatinan dan rasa malu mereka atas kasus ini. Karena mereka dulu, sudah lama sekali, waktu kuliah di UI mendapat didikan soal moral, kejujuran dan tanggungjawab sebagai orang berpendidikan, yang hingga kini masih melekat di benak mereka. Prihatin dan ikut menanggung malu, mereka menuntut pemberhentian Ari Kuncoro sebagai rektor, pembubaran MWA, dan pertanggungjawaban semua pihak yang terlibat.
Sejauh mana UI berikut orang-orang di dalamnya mau dan berupaya merawat pandangan dan harapan yang positif dari masyarakat, terpulang kepada UI sendiri. Anda harus senantiasa sadar bahwa riwayat UI dan sejarah perjuangan bangsa ini menjadi acuan masyarakat luas dalam menilai setiap gerak langkah dan perbuatan yang dilakukan.
Saya teringat sebuah pengalaman di tahun 1975. Suatu pagi, saya yang pertama hadir di kantor kami di Student Center Dewan Mahasiswa UI, Salemba 4. Di ruang tamu ada seorang bapak separo baya, duduk sendirian. Tak lama, petugas tatausaha dewan, Diran, memberitahu saya, bahwa bapak itu telah lama menunggu hendak bertemu siapa saja dari pengurus dewan. Saya pun menemuinya. Dia mengutarakan maksudnya hendak mengadukan nasib kena gusur di daerah Halim. Setelah mendengar maksud itu, lalu saya sarankan agar ia menyampaikannya ke LBH. Dia tidak mau dan memilih menunggu untuk bertemu Dipo Alam, ketua kami. Yang tak dapat saya lupakan hingga sekarang, jawaban orang tua tersebut merespon saran saya tadi: "Saya maunya minta tolong sama mahasiswa UI". Sungguh, saat itu saya terharu. Sebegitu besar harapan seorang warga masyarakat kepada kami.
*Penulis, lulusan UI tahun 1976.
Editor: Ariful Hakim