Ceknricek.com--Kebuasan (genosida?) penjajah Belanda pada tahun 1621 terhadap penduduk Pulau Banda kembali membasahkan ingatan para perantau dari Indonesia di Australia yang sempat menyaksikan tayangan acara dokumenter di layar Badan Siaran Australia (ABC) beberapa malam yang lalu.
Dalam acara berjudul “Spice Trail” (Jalur Rerempahan ) itu, pembawa acara aktris Inggris Joanna Lumley, tidak berbasa basi tentang bagaimana kekejaman dan kebuasan yang nyaris tidak masuk akal itu dapat dilancarkan oleh seorang petinggi penjajah Belanda Jan Pieterzoon Coen, yang memangku jabatan Gubernur Jenderal VOC waktu itu.
Pembawa acara Joanna Lumley dan produsernya menampakkan lukisan-lukisan kasar yang menunjukkan berbagai kepala korban genosida Jan Pieterszoon Coen, diusung di atas ujung galah.
Suatu narasi sejarah dalam bahasa Inggris menyebutkan bahwa “perintah yang dikeluarkan Jan Pieterszoon Coen adalah untuk merebut seluruh Kepulauan Banda dan sekaligus melancarkan genosida meluluh-lantakkan Peradaban Banda di gugusan kepulauan tersebut.
Dalam tahun itu, tidak sedikit dari kalangan menak (elit) Banda yang terbunuh atau diperbudak sementara jumlah penduduk Banda sendiri susut laksana garam masuk ke laut, sedangkan yang lainnya melarikan diri ke daerah perbukitan atau terjun ke dalam laut dan tewas. Tanah mereka diduduki Belanda, yang sejak itu memonopoli produk buah pala dunia.
Upaya keji tanpa perikemanusiaan yang dilancarkan sebuah negara Eropa yang mengaku begitu “suci”, ternyata dibantu oleh para algojo sewaan dari Jepang. Apa yang dilakukan Jan Pieterzoon Coen itu dikatakan dilandasi dendam kesumat sang Gubernur Jenderal, atas kematian sejumlah tentara Belanda yang tewas dalam pertarungan tahun 1619 dengan penduduk setempat yang tidak berkenan dengan niat Belanda untuk membangun benteng di pulau mereka.
Namun segala itu ternyata tidak mengendorkan nafsu buas Jan Pieterszoon Coen. Ketika mendapat kesempatan dan bantuan logistik dan personel tambahan, sang Gubernur Jenderal kembali ke Banda – dan melampiaskan hawa nafsu buasnya untuk menguasai pulau tersebut, dan tentu saja sekaligus menjarah buah pala yang menjadi tanaman utama di Banda.
“Maklum,” kata pembawa acara Televisi Inggris Joanna Lumley, “waktu itu harga buah pala ketika dijual di Eropa melonjak harganya sampai lebih dari 60-ribu kali dari harga di Banda.”
Tidak ayal lagi, apa yang dilakukan Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen di Banda adalah suatu penghisapan darah. Dalam suratnya kepada “Dewan Direksi VOC” di abad ke-17 itu, Jan Pieterszoon Coen, menulis:
“Tuan-tuan yang Mulia harus menyadari bahwa berdasarkan pengalaman selama ini perdagangan di Asia harus didorong dan dipelihara terus dengan perlindungan dan naungan senjata-senjata Para Yang Mulia sendiri, dan bahwa senjata-senjata itu harus dibeli dari keuntungan perdagangan (buah pala), Karenanya kita tidak dapat meneruskan perdagangan tanpa peperangan, dan juga peperangan tanpa perdagangan.”
Bagi seorang warga Indonesia, menyaksikan tayangan Televisi Inggris beberapa malam yang lalu itu memang sangat menyakitkan.Benar, mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo baru-baru ini mengatakan bahwa “bangsa Indonesia tidak dan bukan pendendam”. Namun ketika diingatkan kembali akan kedurjanaan dari penjajahan Belanda seperti yang ditampilkan kembali oleh Televisi Inggris itu, masih terasa tusukan ke kalbu kita.
Khusus karena hampir seluruh korban kebuasan Jan Pietesrzoon Coen itu adalah Muslim, tidak bisa disalahkan kalau banyak Umat Islam yang ikut merasakan sampai kini duka cita yang sangat mendalam.
Korban kebuasaan Belanda bukan hanya di Banda. Dalam karya menariknya “Life of Galileo” pengarang Jerman Bertolt Brecht menjalin percakapan seperti berikut:
Andrea: Unhappy is the land that breeds no hero.
Galileo: No Andrea. Unhappy is the land that needs a hero.
Maknanya jelas dan dalam sekali.Galileo mendambakan sebuah negara “gemah ripah loh jinawi” yang aman dan tentram, bebas dari gangguan yang harus dihadapi dengan kekerasan. Hingga tidak diperlukan pahlawan.
Namun perjalanan sejarah, khusus untuk Indonesia, memang berbeda. Tanpa diundang Belanda masuk dan bercokol, menindas,menjarah dan menghisap.
Dan ketika bangsa Indonesia sudah muak dengan penjajahan Belanda, negeri kincir angin itu malahan berang dan bukan saja mencoba untuk meredamnya melainkan mencoba membusuk-busukkan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia sebagai suatu perbuatan durhaka.
Awalnya Belanda meyakinkan sebagian bangsa Eropa bahwa kehendak untuk merdeka rakyat Indonesia adalah perbuatan durhaka – kalau sekarang mungkin akan disebut terorisme.
Mirip seperti sekarang ini, sebenarnya. Suatu masyarakat yang notabene memang dijajah, ketika menuntut kemerdekaannya, oleh yang menjajahnya langsung dituding “teroris” – dan pasca dikumandangkannya “perang melawan terorisme” oleh Presiden Amerika George W. Bush menyusul peristiwa yang dikenal sebagai “9/11”, maka semua bentuk “terorisme” akan ditentang oleh Amerika dan sekutu-sekutunya.
Banyak contohnya, salah satu di antaranya adalah keadaan masyarakat Uighur (Tiongkok menyebutnya Xinjiang). Mereka Muslim dan keturunan Asia Tengah, bukan dari suku Han. Tiongkok menyebut perjuangan kemerdekaan mereka sebagai suatu bentuk terorisme.
Dalam peristiwa 10 November 1945 Belanda dengan lihainya berhasil melibatkan Inggris yang mengerahkan bala tentaranya yang umumnya terdiri dari prajurit-prajurit India, meski para perwiranya adalah dari Inggris. Waktu itu India memang “kepunyaan” Inggris.
Di luar dugaan, seorang Brigadir Jenderal Inggris, Mallaby, tewas dalam bentrokan dengan laskar rakyat. Dan peristiwa 10 November 1945 itu juga memicu dicetuskannya fatwa “Jihad” oleh dua organisasi Muslim terbesar, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, terhadap Belanda. Singkat cerita banyak korban yang jatuh di Surabaya – angka 15-ribu umumnya diakui sebagai jumlah warga Indonesia yang tewas. Karena kekuatan senjata dan pengalamannya pihak sekutu menderita lebih sedikit korban jiwa dibanding pihak Republik.
Menariknya adalah seakan pembantaian-pembantaian yang pernah dilakukan Belanda terhadap rakyat Indonesia kurang mendapat perhatian. Mungkin dalam pembantaian-pembantaian tersebut di pihak Belanda terdapat serdadu-serdadu yang pada halnya berkebangsaan Indonesia, tetapi lebih memilih untuk berpihak kepada dan bergabung dengan Belanda daripada Republik (Indonesia).
Disamping acara televisi yang menampilkan aktris Joanna Lumley yang disebutkan di atas, televisi badan siaran Inggris, BBC,juga pernah membuat acara mengenai pembantaian hampir 14 ribu dari ke-15 ribu penduduk Banda oleh pemimpin Belanda Jan Pieterzoon Coen yang dituding mendatangkan algojo-algojo dari Jepang untuk melaksanakan maksud kejinya itu.
Kita tahu tentang kebuasan penjahat perang Raymond “Turko” Westerling, dan kini beberapa sejarawan, termasuk dari Swiss, kembali menggali tentang kekejaman dan kebuasan bala tentara Belanda di Rengat, Sumatera Tengah, dalam bulan Januari 1949.
Anehnya, ketika di Indonesia sendiri kini sering diangkat persoalan “tragedi nasional” 1965 (G-30-S) tidak ada yang tertarik untuk membicarakan kebuasan Belanda terhadap rakyat Pulau Banda dan Rengat. Ada apa dengan sikap bangsa kita dalam hal-hal seperti ini?
Pada hal menurut penuturan sejumlah warga Rengat yang belum lama berselang diwawancarai oleh seorang sejarawan dari Belanda, dalam peristiwa pembantaian tersebut, di sungai kampung mereka mengapung begitu banyak mayat warga Indonesia yang dibantai Belanda dan antek-anteknya, hingga beberapa bulan setelah itu penduduk di pinggir sungai tidak bersedia memakan ikan yang sebelumnya menjadi salah satu sumber santapan mereka, karena merasa ikan-ikan tersebut telah memakan daging para korban yang di antaranya adalah sanak saudara atau sahabat atau tetangga mereka sendiri.
Belanda yang pada hakikatnya tidak sudi diduduki Jerman Nazi dalam Perang Dunia II seolah, atau barangkali pura-pura saja, tidak paham kenapa bangsa Indonesia tidak sudi untuk terus dijajah.
Ini mengingatkan kita akan kisah seorang pimpinan pejuang Wales (Inggris) yang ketika digelandang oleh penguasa Romawi ke Roma, mengatakan kepada Kaisar: “Hanya karena anda ingin menguasai dunia tidak berarti dunia juga ingin dikuasai oleh anda.”
Anehnya adalah bahwa sampai sekarang pun kasus-kasus kebuasan Belanda ketika menjajah Indonesia kurang mendapat perhatian oleh pemerintah maupun rakyat Belanda sendiri. Malahan tanpa malu-malu di Belanda pernah diselenggarakan “Pengadilan Rakyat” yang menurunkan putusan yang memojokkan Indonesia dalam peristiwa G-30-S. Sungguh ini adalah perbuatan tidak tahu malu – telunjuk lurus kelingking berkait. Dasar watak penjajah, barangkali.
Kita sendiri di Indonesia bagaimana? Terkesan kita lebih ingat akan DI Kartosuwiryo; makar Kahar Muzakkar; Andi Aziz; PRRI, Permesta, GAM – dan G-30-S. Begitukah? Wallahu a’lam.
Editor: Ariful Hakim