Ceknricek.com--Kedokteran adalah profesi yang menolong, pelayanan kepada pasien adalah kepedulian, bukan jual-beli mencari untung seperti seorang bankir yang mencari rente. Dokter harus selalu kompeten dengan selalu memperbaharui pengetahuan dan keterampilannya demi terjaminnya penyelenggaraan praktek kedokteran yang mengutamakan patient safety. Hubungan dokter-pasien bersifat unik, yang memfasilitasi pertukaran antara ilmu pengetahuan dan pengobatan dalam bingkai etika dan kepercayaan.
Etika profesi adalah ketentuan tentang benar dan salah, tentang baik dan buruk dalam pelaksanaan profesi, berlandaskan pada nilai-nilai moral. Semua ketentuan dalam etika profesi bertujuan melindungi masyarakat dari praktek dokter yang tidak beretika, yang memanfaatkan ketidaktahuan dan kepercayaan pasien demi keuntungan materi semata (meresepkan ‘obat’ yang seolah bisa mempercepat kesembuhan, melakukan operasi kasus yang sebenarnya tidak perlu operasi, meminta pemeriksaan dengan alat canggih hanya untuk memenuhi pesanan pemilik modal, sampai pada mempraktekan tindakan/ teknik pengobatan yang masih uji coba, belum berdasarkan evidence based/EBM, semata hanya berdasarkan testimoni tokoh/ pejabat).
Disinilah peran penting kehadiran Organisasi Profesi (OP), demi melindungi masyarakat penerima layanan kesehatan, dengan mencegah, mengenali, sampai memberi sanksi atas pelanggaran etika profesi oleh para anggotanya. Tugas pokok dari OP adalah “Guiding the Profession-Protecting the People”, artinya tanggung jawab terbesar OP adalah menjaga para anggotanya dalam berprofesi demi melindungi masyarakat yang memerlukan layanan profesi tersebut. Demi mempertahankan moral profesi inilah para dokter di RS Vertikal (RSV) dihadapkan dengan banyak ‘moral hazard’ kebijakan menkes (juragan pemilik RSV) yang bertransformasi dari orientasi pelayanan menjadi orientasi jual-beli mencari cuan dari rakyat yang sakit.
Siapapun Juragannya, Moral Profesi Harus Tetap Melandasi Praktek Dokter
Dimanapun dokter itu berprofesi, di klinik pribadi, RS Pemerintah, maupun RS Swasta, serta apapun status kepegawaiannya, sebagai ASN atau non-ASN, dokter tetap maupun dokter mitra, bahkan tidak peduli siapapun juragannya, seorang kepala daerah, seorang rektor, pengusaha maupun penguasa, bahkan bankir sekalipun, maka berlaku ketentuan yang sama terkait etik dan moral profesi.
Seorang pria 50 tahun dengan kanker paru yang menyebar ke otak, dirawat karena kelemahan separoh badan sisi kirinya. CT scan menunjukkan ada tumor anak sebar berdiameter 4cm yang mendesak pusat motorik Otak kanan (mengatur gerak tubuh sisi kiri). Secara medis harapan hidup pasien ini kurang dari setahun dari saat itu, dan operasi tumor di otaknya tidak akan bisa memperpanjang harapan hidupnya. Saya tawarkan tindakan operasi otak -bukan untuk kesembuhan kanker-nya, tapi untuk memperbaiki kelemahan badan sisi kiri nya sehingga dia bisa menikmati hidup aktif bersama keluarganya demi kulitas hidup yang lebih baik untuk waktu yang mungkin hanya beberapa bulan. Saya merasa informasi letak tumor cukup jelas pada CT scan sehingga saya tidak meminta untuk dilakukan foto MRI otak sebelum operasi.
Seorang ibu 40 tahun dengan tumor otak jinak berdiameter 3cm yang menekan saraf mata kanan dan kiri-nya. Mata sisi kanan sudah tidak bisa melihat secara permanen, saya tawarkan alternatif tindakan operasi untuk menyelamatkan penglihatan mata kirinya. Pada kasus ini, meskipun sudah ada CT scan, saya tetap meminta foto MRI sebelum operasi demi melihat posisi dan batas tumor terhadap saraf mata dan pembuluh nadi otak di dekat tumor. Saat operasi ternyata ada bagian tumor yang melekat erat dengan saraf mata kirinya, sehingga sekeping tumor berukuran 2x5mm harus saya tinggalkan agar tidak mencederai saraf mata kirinya.
Seorang pria 60 th, korban KLL, dibawa ke RS dalam keadaan koma akibat perdarahan otak luas, keluarga menghendaki untuk dilakukan operasi berapapun biaya yang dibutuhkan. Setelah memeriksa pasien secara teliti, dokter mendapatkan bukti/ petunjuk bahwa, tindakan apapun yang dilakukan, kesadaran pasien tidak mungkin dipulihkan dengan risiko kematian lebih dari 90%. Dokter menjelaskan kepada keluarga tentang keputusannya untuk tidak melakukan operasi meskipun keluarga menyatakan bersedia menerima apapun hasil operasinya, serta berapapun biayanya.
Dari tiga cerita di atas, bisa difahami bahwa moral seorang dokter tidak bisa menjanjikan kesembuhan, tapi dokter akan melakukan upaya terbaik yang bisa dilakukan berlandaskan iptekdok yang tersedia. Berikutnya, dokter hanya meminta pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan, bukan melakukan semua pemeriksaan yang dimiliki oleh RS (pada kasus 1, dokter tidak memerlukan foto MRI). Dan terpenting, dokter mengambil keputusan atas dasar EBM, termasuk keputusan untuk tidak mengoperasi, meskipun dengan melakukan operasi seperti diminta oleh keluarga pasien, sang dokter akan menerima penghasilan yang jauh lebih besar.
Ada 4 prinsip moral yang harus diikuti dokter dalam berprofesi, dimanapun dia bekerja, siapapun juragannya, termasuk di RS Vertikal. Prinsip tersebut adalah Beneficence (memberi manfaat, mencegah bahaya, membatasi cacad), Non-malefience (do no harm, melarang tindakan yang memperburuk keadaan pasien), Justice (fairness dan keadilan dan mempertimbangkan kemampuan pasien terkait jasa layanan medik), dan Autonomy (kesempatan bagi pasien dan/ atau keluarganya untuk mempertimbangkan, memilih, atau menolak alternatif tindakan yang ditawarkan dokter).
Keempat prinsip moral ini, tentu tidak sejalan bahkan bertentangan dengan prinsip bisnis jual beli yang saat ini sengaja dibangun dan dikembangkan di RSV, yaitu mencari untung sebesar-besarnya dari sakitnya pasien.
Di RS Vertikal, Moral Profesi bertransformasi menjadi Moral dan Budaya Bisnis
Dalam beberapa tahun terakhir, RSV dan berbagai RSUD digelonggong dengan banyak peralatan medis canggih (yang belum tentu atau bahkan tidak dibutuhkan). Berdasarkan tolok ukur dan pola pikir sesat seorang bankir, investasi yang sudah digelonggongkan harus segera bisa kembali dengan ‘bunga’ nya. Maka muncullah berbagai aturan terkait ‘peluang berbisnis’ di RSV yang menabrak prinsip-prinsip moral Profesi Kedokteran. Jadi, lebih tepat bila RSV diganti nama menjadi Perseroan Terbatas Pengobatan.
Dokter spesialis diposisikan bak karyawan/ pekerja vokasi yang bisa dimutasi kemanapun (Surat Ditjen Yankes No. KP 02.03/D46389/2024) persis sama dengan pekerja perbankan, tanpa mengindahkan ‘Trust Dokter-Pasien’ yang, sudah terbangun selama bertahun bahkan berpuluh tahun. Berikutnya muncul Surat Ditjen Yankes No. TK.04.01/D.IV/795/2024), yang menilai kinerja dokter spesialis hanya dari seberapa banyak dia menghasilkan cuan bagi RSV, serta mendorong untuk sebanyak banyaknya melakukan pemeriksaan dan tindakan yang memanfaatkan alat-alat canggih, karena otomatis akan menaikkan besaran gaji (Fee for Services) yang diterima.
Sesuai dengan moral profesi, pemeriksaan penunjang (CT, MRI, PET-CT, DSA, dll.) hanya dilakukan sesuai kebutuhaan (atas indikasi medis) guna memastikan diagnosa dan merencanakan pengobatannya. Surat Ditjen Yankes ini merupakan moral hazard yang nyata, artinya secara legal menkes (lebih tepatnya ‘mencash’) mendorong dokter spesialis untuk melanggar sumpah profesinya, meminta banyak pemeriksaan canggih bukan karena diperlukan, melainkan demi menaikkan besaran gajinya. Bagi sang juragan pemilik Perusahaan Pengobatan (baca: mencash), over-utilisasi alat-alat canggih ini justru menguntungkan, karena standar moral yang berlaku bukan lagi moral profesi melainkan sudah bertransformasi menjadi Moral Bisnis mencari cuan semata.
RSV dituntut menaikkan revenue bagi sang juragan (baca:mencash), dan oleh RS Dr. Kariadi ini direalisasikan dalam bentuk Surat Edaran (SE) Dirut RS Dr. Kariadi, No. HK.02.03/1.1/7206/2021 tentang Jam Pelayanan Tindakan Operasi Elektif/ Terprogram dan Emergensi di Instalasi Bedah RS Dr. Kariadi, tg. 21 September 2021. Dengan SE ini jam operasional kamar bedah berubah jadi 24 jam dengan 3 (tiga) shift nakes (sebelumnya hanya dua shift nakes). Jika sebelumnya operasi di luar jam kerja hanya untuk kasus yang emergensi/ gawat darurat, maka tidak ada lagi batas antara jam kerja atau di luar jam kerja. Ironisnya, peningkatan revenue RS ini didapat dengan memeras keringat para pekerja gratis alias peserta didik PPDS yang berlimpah di semua RSV. Bahkan hak kesejahteraan para ‘budak’ PPDS ini (sesuai UU20/2013 Pasal 31), selama lebih dari 11 tahun, hingga sekarang masih berupa pepesan kosong alias janji palsu seorang menkes.
Hak Kesehatan 200 juta peserta BPJS Klas 3 semakin terpinggirkan, lalu sesungguhnya negara ini buat siapa?
Rakyat miskin yang sehat akan lebih produktif, dan biaya berobat juga lebih rendah, sehingga pendapatan bisa didistribusikan untuk pemenuhan kebutuhan hidup yang lain seperti untuk akses informasi dan pendidikan anak. Banyak studi membuktikan bahwa angka kematian bayi pada kelompok rakyat miskin ini lebih tinggi. Mereka juga rentan oleh berbagai resiko hidup, termasuk resiko sakit dan mati.
Data BPJS Kesehatan, per 1 Mei 2023, jumlah peserta JKN mencapai 254,9 juta orang atau lebih dari 90 persen dari total penduduk Indonesia, termasuk 96,7 juta penduduk miskin yang iurannya dibayar pemerintah (PBI) lewat APBN (https://news.detik.com). Rakyat miskin, alias peserta BPJS klas 3 Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang jumlahnya hampir 100 juta ini bukanlah sekedar angka matematika dan statistik. Mereka adalah warga negara yang sah dan tidak boleh disingkirkan atau dirampas haknya atas nama kepentingan bisnis layanan kesehatan di RSV. Adanya kartu sehat samasekali tidak menjamin kemudahan akses ruang rawat inap bagi mereka.
Tanpa ada rasa malu, apalagi sopan santun, dan moral profesipun ditabrak seenaknya demi menaikkan revenue RSV alias Perusahaan Pengobatan milik mencash ini. Ada sebuah Kepdirjen yankes No. HK.02.02/D/7373/2023 yang isinya membatasi Hak dan Akses orang miskin/ peserta JKN untuk masuk rawat inap dan memperoleh layanan terbaik dari Dokter Spesialis Senior. Bagi spesialis senior, kuota pasien JKN dibatasi maksimal 25%, selebihnya adalah untuk pasien umum/ VVIP yang menghasilkan cuan. Bagi peserta JKN yang tetap ingin konsultasi dengan spesialis senior, mereka harus beralih jadi pasien umum dengan pelayanan yang berbayar. Selain bertentangan dengan Moral Profesi dan Sumpah Dokter yang tidak boleh membedakan pasien berdasarkan kaya-miskin, pertanyaan besarnya adalah ‘Negara ini hadir untuk siapa?’. Meskipun urung diberlakukan karena besarnya penolakan kalangan profesi, Kepdirjen yankes ini sudah bisa menggambarkan betapa sesat dan tidak bermoralnya landasan fikir mencash dan jajarannya.
PP 47/2021 tentang Rumah Sakit, membolehkan RS Pemerintah menyediakan 40% tempat tidur di RS untuk pasien umum/ non-JKN, artinya hanya 60% saja untuk pasien JKN. Selain itu, ada banyak aturan di Perusahaan Pengobatan (RSV) yang membatasi ruang rawat inap dan waktu layanan bagi pasien JKN. Sebagaimana terjadi di hampir semua RSV, antrean panjang dan akses rawat inap psn BPJS klas 3 mencapai 6-12 bulan, dan ini terjadi bukan karena jumlah dokter spesialis yang kurang, tetapi akibat tidak tersedianya tempat tidur rawat inap bagi pasien tsb.
Per Desember 2024, antrean rawat inap di RSV di Kota Semarang mencapai 2278 orang, dan pasien yang terlama mengantre sejak September 2023 atau sudah mengantre selama 15 bulan. Tidak terbayangkan pasien dengan batu ginjal yang akhirnya terjadi kerusakan ginjal akibat lama mengantre operasi, atau pasien tumor payudara yang saat dipanggil untuk rawat inap tumornya sudah menyebar ke Paru dan Otak. Dari 2278 pasien tsb. 99,98% adalah pasien JKN, dan hampir separohnya adalah pasien PBI yang tidak bisa naik klas. Pasien PBI ini cuma bisa pasrah menunggu siapa yang lebih dulu memanggil, panggilan masuk rawat inap di RS, atau lebih dulu dipanggil menghadap sang Khalik. Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raaji’uun, bisa jadi ini merupakan bentuk Kejahatan Kemanusiaan oleh negara lewat tangan mencash.
Dengan fakta seperti di atas, mestinya bukan cuma 60% tapi seluruh tempat tidur di RSV atau RS pemerintah hanya diperuntukkan bagi pasien JKN. Total jumlah peserta BPJS klas 3 mencapai 70% atau sekitar 178,5 juta orang, termasuk 96,7 juta orang peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran) yang samasekali tidak punya hak untuk naik kelas. Tapi konyolnya, atas arahan sang juragan (mencash), terbit Surat Edaran (SE) Dirut RSV di Semarang No. HK 02.03/D.X/9719/2024 tentang Ketentuan Operasional Instalasi Bedah Sentral. SE ini membatasi layanan operasi untuk pasien BPJS hanya pada hari kerja saja (Senin-Jum’at), sedangkan untuk pasien umum bisa setiap hari, Senin sampai Minggu. Untuk pasien BPJS non-PBI yang bersedia naik kelas (tentu dengan iur biaya) bisa dilayani hari Senin-Sabtu, nyata jelas orientasi mencari cuan sang juragan.
Dari data antrean yang 99,98% adalah pasien JKN (pasien umum dan swasta hanya 0,02%), seharusnya sang Juragan meminta RSV mengatasi panjangnya antrean rawat inap pasien JKN dengan sepenuhnya melayani pasien JKN saja, bukan sebaliknya malahan membatasi jam pelayanan untuk pasien JKN. Ini adalah sebuah bukti komersialisasi layanan kesehatan menjadi sebuah bisnis orang sakit oleh mencash sebagai juragan, dengan memanfaatkan RSV sebagai Perseroan Terbatas (PT) dan Rakyat miskin yang sakit sebagai obyek bisnisnya.
Jelas terpampang nyata, semua aturan operasional jajaran Kemkes, mulai Dirut RSV, Kepdirjen, sampai SE Dirjen, sesuai kebijakan mencash selaku juragan, adalah bentuk Kejahatan Kemanusiaan yang bertentangan dengan Konstitusi dan menabrak Moral Profesi Dokter. Demi masa depan layanan kesehatan spesialistik yang berkualitas bagi seluruh rakyat miskin, maka rakyat dan seluruh potensi Civil Society harus sadar untuk melawan dan tidak membiarkan Kejahatan Kemanusiaan akibat penyalahgunaan kekuasaan oleh mencash ini.
#Zainal Muttaqin, Praktisi Medis Bedah Saraf, Guru Besar FK Universitas Diponegoro
Editor: Ariful Hakim