Ceknricek.com -- Tidak ada tawa maupun tangis bagi warga Mosul, Irak setelah pimpinan Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS, Abu Bakar al-Baghdadi tewas terbunuh dalam sebuah operasi militer yang dilakukan AS. Bagi mereka, kematian Baghdadi tak meninggalkan apapun, selain kehancuran dari yang telah dibuatnya.
Dalam sebuah laporan yang ditulis oleh Reuters, Senin (28/10), beberapa masyarakat Mosul, Irak tempat Baghdadi memproklamirkan pembentukan khilafah, mengaku hanya bisa melanjutkan hidup mereka yang sudah hancur akibat ulah dari Baghdadi. Pria yang memimpin kelompok jihadis sejak 2010 itu dinyatakan tewas merintih dan menangis lewat serangan pasukan khusus AS di Suriah barat laut, Sabtu (26/10).
"Pria misterius ini belum pernah kita lihat sebelumnya, tiba-tiba naik podium sebagai ganti imam kami yang biasa. Dia datang ke masjid kami, tempat yang damai bagi kami, dan ia mengubahnya menjadi neraka,” kata Fahd Qishmou, warga berusia 48 tahun yang menghadiri pidato Baghdadi saat menyatakan dirinya sebagai khalifah atas jutaan orang di Irak dan Suriah.
Sumber: Reuters
Masjid Agung al-Nuri di Kota Mosul, sebelumnya adalah simbol kebanggaan Kota Mosul dan telah berusia lebih dari 850 tahun. Di masjid itulah Baghdadi memproklamirkan dirinya sebagai khalifah. Kini, masjid itu tergeletak di reruntuhan tumpukan logam bengkok dan batu rata, sejak ISIS terbentuk.
"Tiba-tiba, dia menyatakan Negara Islam telah lahir dan meminta kita semua untuk bersumpah setia,” ujar kata Qishmou, ayah dari delapan anak.
Qishmou, yang sekarang menjadi pengemudi taksi setelah toko yoghurtnya dihancurkan selama perang untuk merebut kembali Mosul, adalah salah satu dari beberapa penduduk yang diajak bicara oleh Reuters. Masyarakat lainnya ialah Abu Omran, seorang pandai besi berusia 60 tahun.
“Saya tahu kami akan mendapat masalah ketika pria itu berjalan ke masjid kami. Saya memberi tahu putra saya, pria itu akan membawa kematian dan kehancuran, dan saya benar,” kata Abu Omran.
Sumber: Reuters
Baca Juga: AS Rahasiakan Identitas Anjing yang Menyerang Baghdadi
“Karena dia, kami kelaparan. Kami hidup hanya dengan tepung dan air selama berbulan-bulan, meringkuk di rubanah. Bahkan saya tidak pernah mengharapkan hal itu terjadi untuk musuh terburuk saya,” ucap Omran.
Tak Perlu Ditangisi
Setelah kematian Baghdadi, masyarakat pun merasa tak ada yang perlu ditangisi, maupun disyukuri. Bagi mereka, luka yang ditinggalkan Baghdadi tak bisa ditutupi meski dengan nyawa Baghdadi itu sendiri.
“Anda bertanya apakah saya senang dia mati? Saya akan senang jika rumah saya tidak hancur karena bom, jika saya tidak dicambuk dan ditembak oleh pejuang ISIS, jika anak saya tidak terbunuh. Kami bahkan tidak pernah merasakan kemenangan, bagaimana kami bisa bahagia lagi?,” kata Omran.
Sumber: Reuters
Ketika Baghdadi pertama kali mengumumkan Mosul adalah kota miliknya, beberapa warga menyambutnya sebagai tanda perubahan kepemimpinan. Pasalnya, kota yang sebelumnya dikenal sebagai Kota Muslim Sunni ini telah hidup dalam kekacauan hukum dan di luar kendali pemerintah pusat yang dipimpin Syiah, selama bertahun-tahun sejak invasi AS menggulingkan Saddam Hussein tahun 2003.
Kehadiran Baghdadi awalnya bagaikan fajar baru yang menyingsing Mosul. Tetapi kemudian pasukan perang Baghdadi keluar dengan persenjataan, para pejuang dan keamanan yang mengatasnamakan agama mengawasi setiap gerakan mereka.
"Kami dicambuk karena merokok, dipukuli karena membiarkan wanita kami keluar dari rumah tanpa penutup wajah dan menggunakan ponsel. Baghdadi memenjarakan kami di kota kami sendiri,” kata Omar Dawoud, penjaga toko berusia 42 tahun.
"Kematiannya tidak terlalu penting. Saat pria itu menginjakkan kaki di kota kami, dia telah membunuh kita semua," kata Dawoud menambahkan.
BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.
Editor: Farid R Iskandar