Ceknricek.com -- Pemerintah mengambil keputusan radikal tentang nikel. Mulai Selasa, 29 Oktober 2019, keran ekspor produk tambang ini ditutup. Keputusan ini disebut radikal karena rencana semula larangan ekspor pada tahun 2022. Selanjutnya, rencana semula itu dianulir menjadi 1 Januari 2020. Tiba-tiba belum sampai masa itu tiba, pemerintah memutuskan melarang ekspor nikel terhitung sejak 29 Oktober 2019. Radikal, kan?
Keputusan itu diambil pemerintah tidak sembarangan. Tidak asal larang. Menurut Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, pemerintah mengambil keputusan itu setelah ada kesepakatan dengan para penambang. Keputusan tersebut merupakan hasil rapat antara Bahlil dengan sejumlah asosiasi usaha di bidang tersebut pada Senin (28/10).
Dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang ditelurkan pada September lalu, pelarangan ekspor bijih nikel akan dimulai pada 1 Januari 2020 dari rencana sebelumnya yaitu 2022.
Bahlil Lahadalia. Sumber: Tempo
Menurut Balil, hal ini tidak akan mengubah aturan yang berlaku mulai 1 Januari mendatang. Keputusan ini merupakan bentuk kesadaran pemerintah dan pelaku usaha. "Prosesnya hanya kami percepat. Kemarin negara sudah mengeluarkan dua Peraturan Menteri, tidak mungkin membuat (peraturan) lagi," jelas Bahlil dalam konferensi pers di Kantor BKPM, Jakarta pada Senin (28/10) sore.
Enam Catatan
CEO Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Alexander Barus, berharap putusan ini akan berbuah positif bagi kemajuan industri pengolahan nikel. Sebagai pelaku usaha, dirinya mengaku siap mengawal pemberlakuan kesepakatan ini.
Meski demikian, Alex mengatakan pihaknya akan menjual suplai bijih nikelnya dengan mempertimbangkan tiga hal. Ketiganya adalah ketersediaan bijih nikel, harga yang sesuai, serta spek atau jenis bijih nikel tersebut. "Karena stockpile kami juga terbatas. Penjualannya akan kami sesuaikan dengan ketersediaan stok," ungkapnya, seperti dikutip Bisnis.
Alexander Barus. Sumber: Kumparan
Kesediaan yang sama juga diungkapkan oleh Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I), Prihadi Santoso. Pihaknya akan mengomunikasikan pemberlakuan kesepakatan ini kepada pemilik smelter agar tidak terjadi kesalahpahaman.
Saat ini sudah ada 14 smelter di seluruh Indonesia yang siap membeli dan mengolah bijih nikel. Asosiasi juga akan melaksanakan fungsi pengawasan kepada para pelaku usaha nikel. "Bila masih ada pengusaha yang nekat ekspor, akan kami tindak dengan mengeluarkan yang bersangkutan dari asosiasi," tuturnya.
Baca Juga: Ekspor Nikel: Luhut Mau Mengacak-acak UU?
Sekjen Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, mengatakan untuk memastikan proses kebijakan pelarangan ekspor nikel ini berjalan sesuai dengan kesepakatan, APNI memberikan 6 catatan.
Sumber: Sinar Harapan
Pertama, harga jual dalam negeri harus sesuai HPM (Harga Patokan Mineral) terhitung tgl 1 November 2019. Kedua, batasan kadar ore seperti ekspor, harus kadar rendah, maksimal 1.7%. Ketiga menggunakan 2 surveyor untuk pelabuhan muat dan bongkar, jika terjadi perbedaan kadar, harus hadirkan surveyor ke 3 yang disepakati bersama.
Keempat, pemerintah harus memberikan sanksi yang tegas terhadap smelter atau IUP yang tidak mengikuti HPM. Kelima, APNI menunggu kepastian hukum, aturan regulasi yang mengatur tata niaga nikel domestik. Terakhir, APNI menjadi mata dan saksi di lapangan untuk ikut memantau perdagangan nikel ore.
Tiga Dampak
Larangan ekspor nikel dilakukan untuk menciptakan hilirisasi pada komoditas tambang ini. Pemerintah menilai ekspor bijih nikel membuat negara merugi. Hilirisasi diharapkan menghasilkan nilai tambah secara signifikan dari pengolahan produk berbahan dasar nikel.
Di sisi lain, cadangan nikel juga sudah terbatas. Padahal, pengusaha sudah terlanjur investasi membangun smelter. Data dari Kementerian ESDM menunjukkan total volume cadangan terbukti nikel di Indonesia sebanyak 689,89 juta ton bijih. Dengan kondisi itu, suplai fasilitas pemurnian di dalam negeri hanya bisa dijamin sekitar tujuh hingga delapan tahun saja.
Sumber: KONTAN
Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad, mengelaborasi setidaknya akan terdapat 3 dampak dari keputusan ini.
Dampak pertama adalah ketidakpastian hukum bagi yang berinvestasi. Karena mulanya berlaku tahun 2022 kemudian maju menjai tahun 2020. "Dengan adanya percepatan industri siap nggak dengan skenario perubahan. Ini menjadi problematik konsistensi pemerintah," ujarnya, dalam sebuah diskusi di Hotel Le Meridien, Rabu (2/10).
Kedua, ini akan membuat pencatatan ekspor nikel turun bahkan sampai nol. Dengan tidak adanya ekspor ini berdampak pada defisit transaksi berjalan (CAD).
Tauhid mengakui bahwa kebijakan ini memang mengejar di sisi nilai tambah, tapi paling dekat harus diantisipasi soal defisit di neraca berjalan. “Pertanyaannya adalah apakah sebanding dengan nilai tambah yang dihasilkan dengan defisit sebanding atau tidak. Selama itu tidak bisa dibayar nilai tambah itu menjadi persoalan," paparnya.
Tauhid. Sumber: Antara
Dampak ketiga, dengan larangan ekspor ini berpotensi memunculkan ekspor ilegal karena tidak berjalan mulus. Dari sektor perdagangan muncul Uni Eropa yang dirugikan dengan keputusan kita. Harga akan naik karena Indonesia menyumbang lebih dari 20% ekspor.
"Tentu saja tidak hanya harga nikel, tapi pasar saham yang memiliki keterkaitan dengan kita akan berubah. Harga internasional yang tinggi akan ada pintu-pintu masuk yang sifatnya ilegal," terangnya.
Kepala Subdirektorat Pengawasan Usaha Eksplorasi Mineral Direktorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM Andri Budhiman Firmanto mengungkap Indonesia mensupport 560 ribu ton nikel ke seluruh dunia.
Baca Juga: Ekonomi dan Korupsi, Bukan Radikalisme!
Dengan adanya kebijakan wajib membangun smelter bagi penambang pada 2017 maka hingga 2020 diperkirakan akan terdapat 20 smelter yang beroperasi di Indonesia. Lalu, dengan adanya insentif, diproyeksi terdapat 31 smelter sampai 2022.
Menurut hitungan Kementerian ESDM, sumber daya nikel pasca-2022 bisa sampai 42 tahun ke depan. Tapi, dengan catatan masih membutuhkan eksplorasi.
Pada tahun 2020, diprediksi ada 20 juta ton kebutuhan bijih nikel untuk dalam negeri. Saat ini cadangan terbukti mencapai 689 juta ton, sedangkan cadangan terkira 2,8 miliar ton. Jika dengan mengandalkan cadangan terbukti maka kebutuhan smelter di dalam negeri hanya bisa dipenuhi untuk 7,3 tahun.
Sumber: Gatra.com
Sementara dari sisi kebutuhan barang jadi, masifnya dorongan untuk mempercepat industri mobil listrik diperkirakan mendorong permintaan nikel dunia hingga 4,6% pada 2025. Permintaan ini akan terus naik sampai 2030 mendatang.
Laporan DBS Group Research menyebut laju pertumbuhan majemuk tahunan produksi bijih nikel dunia diperkirakan mencapai 4,1% pada 2025. Pertumbuhan terutama akan terjadi di dua negara penghasil nikel utama di Asia, yakni Indonesia dan Filipina, serta Kaledonia Baru di Oceania. Peningkatan produksi negara-negara itu terutama terdiri atas laterit.
Dari sisi pasokan, nikel terus tumbuh mencapai 4,6% setiap tahun dalam masa 2018-2025. Dalam waktu tersebut, perubahan paling menonjol dalam gambaran pasokan dunia adalah peningkatan sumbangan dari Indonesia, sementara sumbangan China menurun.
Baca Juga: China Pengganggu Baja, Semen, dan Tekstil Kita
Pada saat ini Indonesia hanya menyumbang 12% terhadap pasokan nikel--yang telah diproses--dan China sebesar 33%. Diperkirakan terjadi pergeseran, 27% untuk Indonesia dan 29% untuk China pada 2025.
Namun, seiring dengan naiknya pertumbuhan mobil listrik dan kebutuhan baterai, DBS juga mewaspadai adanya defisit pasokan mulai 2022 dan tahun berikutnya. Akibatnya, harga nikel kemungkinan meningkat secara terus menerus sejak 2025 hingga mencapai US$19.000 per ton.
"Kami memiliki pandangan positif terhadap nikel meskipun ada antisipasi pertumbuhan pasokan jangka pendek. Harga nikel, yang stabil, akan mendorong produsen baterai beralih ke baterai bermuatan tinggi nikel," tulis laporan itu.
Melihat angka-angka itu, kebijakan radikal tentang hilirisasi nikel memang wajib. Hanya saja, dalam jangka pendek, risiko akan hilangnya devisa dari bijih nikel jelas akan sangat terasa.
BACA JUGA: Cek SENI & BUDAYA, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.