Ekspor Nikel: Luhut Mau Mengacak-acak UU? | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Reuters

Ekspor Nikel: Luhut Mau Mengacak-acak UU?

Ceknricek.com -- Pergantian anggota kabinet masih dua bulan lagi. Lucunya, sejumlah menteri mulai banyak akting. Salah satu menteri yang masuk kategori over tentulah Menko Maritim, Luhut Binsar Pandjaitan. Ia, misalnya, mengembuskan wacana soal percepatan larangan ekspor nikel. Jelas saja wacana ini membuat gelisah pengusaha tambang nikel.

Ya, Menko yang oleh pengusaha berjuluk “prime minister” ini pada 12 Agustus lalu mengembuskan wacana yang bikin perusahaan tambang nikel terbengong-bengong. Luhut ingin mempercepat larangan ekspor nikel pada tahun ini. Padahal larangan ekspor bijih nikel berkadar rendah sudah diatur dalam Undang-Undang Mineral dan Batu Bara Nomor 4 Tahun 2009. Dalam aturan itu disebut larangan berlaku pada 2022 untuk kadar nikel kurang dari 1,7%. Ini ditujukan agar para penambang dan investor memiliki waktu persiapan yang cukup untuk membangun smelter sebelum bisa mengolah penuh komoditas tersebut.

Tujuan larangan ekspor nikel jelas bagus, agar hasil tambang ini bisa diolah lebih lanjut menjadi barang yang lebih bernilai tinggi.  Hilirisasi ini bisa memberi nilai tambah tiga kali lipat. Bijih nikel seharga US$36 bisa naik nilainya menjadi US$100 jika ditingkatkan menjadi feronikel dan metal untuk jadi bahan stainless steel. Nah, karena itu UU No.4/2009 juga mengatur soal itu.

Sumber: Kontan

Baca Juga: Staf Khusus; Presiden Ingin Kinerja Perdagangan Diperbaiki

Pengusaha tentu berpegang pada UU dalam menghitung dan menjalankan bisnisnya. Kepastian hukum bagi mereka amat penting. Lalu, sekarang ada menteri mau mengacak-acak UU itu. Jelas saja, para penambang gregetan. Lagi pula, apa hebatnya Luhut sehingga bisa membuat aturan yang melanggar UU? Mengubah UU tidak cukup dengan keputusan seorang menteri, biar dia “prime minister” sekalipun.

Lobi China

Pada 2016, Indonesia adalah eksportir nikel nomor 6 dari 10 negara produsen nikel terbesar di dunia. Potensi cadangan nikel Indonesia menguasai 23,7% cadangan dunia, dengan total cadangan sebanyak +9 miliar metric ton. Bumi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara paling banyak menyimpan nikel.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, jumlah izin pertambangan baik eksplorasi dan produksi nikel di 7 provinsi tercatat sebanyak 1.278 Izin Usaha Pertambangan (IUP). Per Mei 2019, berdasar data rekonsiliasi ditjen minerba, total IUP nikel tercatat sebanyak 281 IUP.

Jika dilarang diekspor, maka hasil tambang ini berarti mesti dijual di pabrik smelter di dalam negeri. Sampai tahun 2022, berdasar rencana pendirian pabrik, total eksisting smelter nikel akan mencapai 31 perusahaan. Dari 31 pabrik smelter tersebut, konsumsi bijih nikel diperkirakan bisa mencapai 72 juta wet metric ton.

Sumber: Kemenperin

Saat ini, ada beberapa smelter China yang sudah beroperasi di Indonesia. Di antaranya adalah smelter nikel yang beroperasi di Konawe dan Morowali. Kalangan penambang nikel menduga larangan ekspor bijih nikel ini muncul usai ada pertemuan antara para investor smelter China dengan Presiden Joko Widodo pada bulan lalu. Investor ini kabarnya menginginkan percepatan hilirisasi. Apalagi dengan program mobil listrik yang siap dikebut, momennya pun semakin jadi.

Baca Juga: China Pengganggu Baja, Semen, dan Tekstil Kita

Hanya saja, Luhut membantah hal itu. "Tidak juga, ini sudah lama saya sampaikan ke Presiden," kata Luhut, seperti dikutip CNBC Indonesia, Rabu (21/8). Bernada agak tinggi, Luhut bahkan menegaskan tak ada urusan lobi-lobi tersebut. "Ini urusan logika saja," sambungnya.

Luhut berdalih, saat ini India sudah datang mendekati Indonesia untuk investasi membangun smelter US$1 miliar karena kebetulan memiliki konsesi nikel. "Tapi satu syarat, kalian harus banned. Karena kalau tidak di-banned (dilarang ekspor), ngapain bikin pabrik di sini. Bikin saja di India, bikin saja di China," kata Luhut menirukan ucapan investor India itu.

Boleh jadi, Luhut hanya ngarang saja. Bahwa investor smelter butuh jaminan seperti itu, sudahlah pasti. Dan UU sudah mengatur semuanya. Lagi pula membangun smelter biar menyedot US$1 miliar sekalipun tak bisa bimsalabim, langsung jadi, langsung butuh nikel. Semua ada proses. Kalaupun smelter sudah berdiri sebelum 2022, tentu saja penambang akan menjual hasil tambangnya ke smelter dalam negeri jika harga yang ditawarkan kompetitif. Lalu, apa pula yang ditakutkan investor India itu jika ia juga punya konsesi nikel?

Sumber: CNBC

Sang Menko pun mencoba berdalih ndakik-ndakik. Ia mengatakan, langkah ini dilakukan menyusul target pada tahun 2023 agar investasi mencapai US$18-20 miliar. Lalu ekspor akan sampai angka US$30-an miliar. "Saya hanya melihat ini national interest, tidak ada kepentingan lain. Tidak ada ya. Tidak ada urusan lobi-lobi di sini. Saya ulangin ya, tidak ada urusan lobi melobi," ucapnya lagi.

Hanya Luhut yang ngotot ingin percepatan hilirisasi. Padahal dua kementerian teknis lainnya, yakni Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral terkesan enggan membahas soal itu.

Baca Juga: Indonesia Perkuat Peluang Ekspor ke Kawasan Pasifik

Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita bahkan keberatan dengan wacana ini. Ia mengatakan, ekspor Indonesia bisa terdampak larangan ekspor bijih nikel. Bahkan, ekspor senilai US$4 miliar dapat terganggu dengan kebijakan tersebut.

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Bambang Gatot, juga menekankan kebijakannya belum ada perubahan. Artinya, larangan ekspor bijih nikel baru berlaku pada 2022 mendatang.

Sekedang sepenarian, Menteri ESDM, Ignasius Jonan, juga menegaskan sampai saat ini ketentuan ekspor bijih nikel belum ada perubahan. Soal hilirisasi mau dipercepat atau tidak ia menyerahkan kebijakan ini ke tangan presiden.

Kini yang bisa dilakukan pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) adalah mengirimkan surat kepada Jokowi meminta agar kebijakan ekspor nikel tetap sebagaimana diatur UU. Wacana Luhut yang dia bilang sebagai national interest alias bukan China interest tidak bisa dibenarkan jika itu justru mengacak-acak undang-undang yang ada. Jika mau mengubah UU ada mekanismenya. Jalankan saja mekanismenya itu.

BACA JUGA: Cek SENI & BUDAYA, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.



Berita Terkait