Ceknricek.com--“Yang melupakan belajar dari sejarah, cenderung akan mengulangi kesalahan itu”.
Peringatan di atas pernah disampaikan oleh sejumlah cendekiawan, termasuk George Santayana dan pemimpin Inggris dalam Perang Dunia Kedua, Winston Churchill.
Dan salah satu pelajaran sejarah yang patut dicamkan, terutama oleh mereka yang memegang kekuasaan, apalagi kekuasaan itu sangat besar dan luas, adalah bahwa “Kekuasaan itu cenderung mengakibatkan korupsi (pada diri yang berkuasa) dan kekuasaan yang mutlak, maka korupsinya juga mutlak.” (Sejarawan Inggris Lord Acton).
“Korupsi dalam teori Lord Acton itu bukanlah penggelapan atau penjarahan uang negara semata, melainkan juga berarti akhlaq yang bejat yang dapat menghinggapi yang berkuasa.”
Meski peringatan Lord Acton itu disampaikan sekitara akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, namun disebabkan oleh petuah tersebut, banyak kalangan yang kemudian teringat kembali akan peristiwa yang terjadi sekitar 2000 tahun yang lalu.
Waktu itu Kaisar Romawi adalah seseorang bernama Caligula. Menurut sejarawan Romawi Suetonius, Kaisar Caligula begitu sayang pada kudanya bernama “Incitatus”_ (dibaca sebagai Inkitatus), hingga dia memerintahkan agar dibuat patung dari marmer, lengkap dengan hiasan terbuat dari gading dan kalung permata. Bahkan sebuah rumah untuk kudanya itu.
Sungguh cinta tidak mengenal batas!
Seorang sejarawan lainnya, Cassius Dio, kemudian mencatat bahwa makanan kuda Caligula bernama Incitatus itu bukan alang kepalang mewahnya, melampaui jenis makanan rakyat Romawi waktu itu.
Memang Caligula terkenal karena “kegilaannya” (itulah makanya ada yang memelesetkan namanya menjadi Caligila – Kaligila), dan kebuasannya. Bukan itu saja, melainkan juga dia dikatakan meniduri saudari perempuannya.
Namun yang dianggap paling “gila” dari kebejatan-kebejatannya itu adalah rencananya untuk mengangkat kudanya menjadi gubernur (pro consul). Akan tetapi niat gila itu belum sampai terlaksana, karena dia telah “keburu” diasasinasi alias dibunuh ketika menghadiri pesta olahraga Palatine oleh komandan satuan pengawal pribadinya, Cassius Chaerea dan kawan-kawan.
Kasihan Incitatus, tidak sempat menikmati jabatan empuk sebagai gubernur.
Kisah Muawiyah dan “Putera Mahkotanya” – Yazid:Meski dalam Islam tidak dikenal tata tertib “nepotisme”, seperti yang berlaku dalam sistem kerajaan, namun tetap ada saja yang menabrak dan menyalahi semua itu.
Diantaranya adalah Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan (602-680 Era Masehi).Muawiyah adalah khalifah pertama dari Bani Umayyah.
Sebuah kupasan mengenai Khalifah Muawiyah menyebutkannya sebagai “seseorang yang mengakhiri hidupnya dengan melakukan dosa terbesar dalam Islam, dan perbuatan paling keji dalam sejarah, karena tanpa sedikit pun merasa ragu atau khawatir dia menabalkan atau menobatkan puteranya yang berperangai laksana iblis sebagai khalifah berikutnya pada usia 33 tahun.”
Seakan Muawiyah dengan sengaja memajukan puteranya itu demi menghancurkan Islam. Muawiyah dikatakan tidak segan-segan melakukan segala daya upaya yang keji dan bersimbah dosa demi memastikan agar khilafahnya tetap berada di tangan kaum atau sanak saudaranya (nepotisme).
Sementara pakar Islam menyebutkan bahwa Muawiyah ingin menyontoh sistem yang pernah diterapkan oleh Persia dan Bizantium.Memang kemudian ternyata bahwa Yazid sebagai khalifah menjadi contoh yang terburuk dari seorang penguasa.
Ia gemar mabuk. Peri kehidupannya berlawanan dengan apa yang diajarkan dalam Islam. Banyak ulama yang menyimpulkan bahwa Yazid bukanlah seseorang yang dapat disebut sebagai “muslim”.
Ia suka berburu dan punya rasa sayang yang berlebihan pada monyet peliharaannya, mirip seperti Caligula sayang pada kudanya.
“Begitu rupa,” kata seorang pemerhati tentang Islam, “Hingga ketika monyetnya itu mati, dia mengamarkan kepada seorang ulama agar melaksanakan salat mayit untuk binatang peliharaannya itu.”
Ada pakar Islam yang menyebutkan bahwa Yazid mewarisi sifat-sifat tercela dari kakek dan ayahnya, yakni perilaku penuh kekejaman dan tidak punya malu.
Sayyid Amir Ali, seorang ahli hukum dan sejarawan Islam dari India, menyimpulkan bahwa: “Berbeda dari ayahnya, Yazid sama sekali tidak mau membalut kekejaman-kekejamannya dengan busana “kebijakan”. Kebejatannya tidak mengenal rasa kasihan atau keadilan. Dia membunuh dan menyiksa hanya sebagai hobi karena senang melihat apabila manusia menderita. Dan di antara kebejatannya adalah bahwa dia bertanggungjawab atas pembunuhan (syahidnya) terhadap cucu Rasulullah (saw), Husin bin Abi Thalib. Dia juga bertanggungjawab atas pembantaian terhadap 700 warga Ansar dan Muhajirin, serta 10-ribu warga Arab dan non-Arab lainnya.
Seorang sejarawan lainnya mengatakan, “Yazid begitu gemar berburu dan anjing-anjing pelacaknya diberi kalung emas dan dibaluti pakaian dengan benang emas. Untuk tiap-tiap seekor anjing ia menugaskan seorang pengurus.”
Kalau Caligula sayang (cinta?) pada kudanya, Yazid nampaknya tidak mau kalah, dan menunjukkan kasih berlebihan pada anjing-anjing dan monyetnya.
Namun baru 3 tahun menjadi Khalifah (gelar yang sebenarnya tidak pantas diberikan kepada seorang Yazid) dia mati mendadak.
Editor: Ariful Hakim