Mengapa Big Data Soal Percakapan di Media Sosial Tak Bisa Akurat Memotret Populasi Perilaku Pemilih ?
Ceknricek.com--“Kekuasaan cenderung sewenang-wenang. Kekuasaan yang absolut, cenderung pula sewenang-wenang secara absolut. Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely. “ Inilah kutipan mengenai perilaku kekuasaan yang sangat terkenal dari Lord Acton. Ia seorang sejarahwan Inggris yang juga politisi serta penulis. Lord Acton mengamati secara jeli bagaimana perilaku kekuasaan itu. Walau kekuasaan itu jatuh di tangan seorang pribadi yang kokoh, pribadi yang baik, tapi jika ia menghimpun kekuasaan yang tak terbatas, pribadi yang baik pun cenderung menjadi korup. Ia cenderung menjadi sewenang-wenang. Kita tahu itulah social origin lahirnya demokrasi. Jauh sebelum Lord Acton hidup, para pemikir, para filsuf dan sejarawan sudah memahami mengenai bahaya kekuasaan yang tak berbatas.
Demokrasi pun dilahirkan. Inti dari demokrasi adalah gerakan dan sistem yang membatasi kekuasaan. Dibatasi tak hanya kewenangannya, tetapi juga dibatasi periode jabatannya, periode kekuasaannya.Karena itulah, sila pertama demokrasi menyelenggarakan pemilu secara reguler. Pemilu dilaksanakan secara rutin dalam periode tertentu, apakah lima tahun sekali seperti di Indonesia, atau empat tahun sekali seperti di Amerika Serikat.Karena kekuasaan cenderung korup, demokrasi memaksa rakyat luas memilih lagi dan lagi secara rutin dan berkala pemimpinnya. Dengan cara itu kekuasaan dibatasi.
Itu sebabnya mengapa menunda pemilihan umum ini isu yang sangat vital. Ia melanggar sila pertama demokrasi. Ini melanggar sejenis “kalimat syahadat” prinsip demokrasi. Esai ini menukik lebih jauh dengan data, dengan research dan juga dengan cara mencari alasan social origin di belakang ide penudaan pemilu, dari tahun 2024 ke tahun 2027. Solusi yang ditawarkan: dibandingkan menunda pemilu, Jokowi sebaiknya menyiapkan capres 2024 untuk melanjutkan programnya.
-000-
Kita mulai dengan menganalisa social origin lahirnya isu penundaan pemilu. Sudah ada pandangan Jokowi ingin meninggalkan warisan di balik proyek ibu kota baru. Ini program yang signifikan dan bersejarah, memindahkan ibu kota dari Jakarta (Jawa) ke Kalimantan. Namun kita tahu, memindahkan ibu kota tidak hanya memindahkan fisiknya, tapi juga memindahkan ekosistem dari ibu kota. Itu akan memakan waktu yang panjang sekali. Dikhawatirkan di tahun 2024, dua tahun dari sekarang, yaitu era tahun pemilu, fondasi ibu kota baru belum begitu kokoh. Karena itulah, Jokowi diharapkan memimpin lebih panjang lagi. Ini juga akan membuat investor Ibu Kota Baru merasa lebih pasti. Itu gagasan awalnya.
Kita tahu juga di samping ibu kota baru, ada pula program-program penting Jokowi membangun infrastruktur. Data memperlihatkan delapan mega proyek Jokowi ini terancam mangkrak(2). Mangkrak di sini tidak berarti program itu tidak tuntas dibangun. Sangat mungkin juga program itu, infrastruktur mega proyek itu, selesai dibangun tapi fungsinya tidak maksimal, bahkan menderita rugi.Ini seperti yang dialami oleh bandara di Majalengka, Jawa Barat. Bandara ini sudah berdiri, tapi hingga hari ini ia sangat kosong.
Kita juga tahu ada waduk-waduk yang dibangun, di antaranya ada waduk yang posisi ketinggiannya justru di bawah sawah. Akibatnya, pengairan kepada sawah ini juga menjadi problem.Semua proyek-proyek besar ini efeknya sangat positif buat publik luas jika berfungsi. Apa daya. Banyak mega proyek yang belum terkelola. Semua ini memerlukan sentuhan terakhir agar ia berfungsi sesuai dengan tujuannya. Karena itu Jokowi perlu dihadirkan kembali sebagai presiden dengan periode yang lebih panjang. Ini agar Jokowi juga punya kesempatan menuntaskan finishing touch proyek-proyek infrastruktur yang maha penting itu. Itu alasan kedua social origin penundaan pemilu.
Namun di sisi lain, akan terjadi yang namanya lame duck president. Presiden secara de facto tak lagi efektif memerintah. Banyak studi mengenai penguasa di berbagai negara. Walau secara de jure mereka masih berkuasa, secara hukum mereka masih menjabat. Tapi secara de facto presiden itu tak lagi efektif menjalankan roda pemerintahan. Ia menjadi lame duck president. Pemimpin partai politik, bahkan banyak menteri sudah lebih berkonsentrasi dan fokus kepada pemilihan presiden berikutnya. Kekuasaan Jokowi secara de jure memang berakhir tahun 2024. Tapi secara de facto, kekuasannya tak lagi efektif di tahun 2023, setahun sebelum pemilu presiden.
Kondisi ini pula membuat banyak pihak mencoba memanjang-manjangkan kekuasaan Jokowi, agar tak terlalu cepat ia menjadi lame duck president di tahun 2023. Diupayakan jika berhasil, Jokowi bisa kembali berkuasa tiga tahun dari masa pemilu 2024, yaitu tahun 2027. Atau jika mungkin, bagaimana jika Jokowi menjadi presiden tiga periode? Dari pola manuver politik, mudah diterka isu ini diorkestrasi oleh mereka yang dekat dengan Jokowi, oleh satu faksi dalam pemerintahan Jokowi. Tapi terbaca pula manuver ini ditentang oleh lingkungan dekat Jokowi lainnya, yang justru lebih besar (bersambung)
Baca Juga : Ketika Menunda Pemilu 2024 Menjadi Skandal Politik (2)
Editor: Ariful Hakim