Ceknricek.com -- Selama menjabat sebagai Panglima ABRI (1978-1983), Andi Muhammad Yusuf sangat populer di kalangan prajurit. Ia rajin berkunjung ke barak dan sering memberikan kenaikan pangkat secara langsung di lapangan.
Perjalanan Panglima Kodam Hasanuddin yang meninggal tepat pada tangal hari ini, 15 tahun yang lalu, 8 September 2004, itu terbilang sangat berliku. Ia sempat jadi dari pedagang, prajurit, masuk penjara, hingga diangkat menjadi anak tertua oleh Presiden Soekarno.
Anak Tertua Bung Karno
Andi Muhammad Jusuf Amir lahir di Kajuara, Bone, Sulawesi Selatan pada 23 Juni 1928. Ia adalah seorang keturunan bangsawan di Bone. Tahun 1945, saat pecah revolusi di Indonesia, Andi Mo’mang, akrab panggilannya, tergerak hati untuk ikut berjuang dengan terlebih dahulu mencari modal ke Jawa dengan menjadi pedagang gula.
Menggunakan perahu Pinisi, ia berlayar pergi ke Pulau Jawa untuk menemui seorang bernama Saleh, di Yogyakarta, yang disebut-sebut mendapat lisensi penjualan gula dari Pemerintah.
Sumber: Tribunnews
Setibanya di Yogyakarta dan bertemu Saleh, mereka sepakat mengirimkan 600 karung gula atau sekitar 60 ton untuk dijual ke Singapura. Mereka sepakat hasil penjualan dibagi menjadi dua, untuk membeli persenjataaan.
Gula yang dibawa Andi Mo’mang terjual habis di Singapura. Namun, karena penjagaan ketat oleh patroli Belanda ia gagal menyelundupkan senjata. Bahkan sesampainya di Bone (tatkala menyiasati pembelian senjata di kampung halamannya dari serdadu Australia) ia hampir saja tertangkap oleh polisi lokal.
Tidak disangka, polisi lokal yang hendak menangkapnya adalah suruhan abangnya sendiri, Andi Petta Gappa, yang tidak menghendaki adiknya ditangkap dan ditawan Belanda karena perjuangan. Setelah mengetahui hal tersebut, Andi Mo’mang kemudian memilih untuk kembali ke Jawa dan menjadi tentara.
Ia bergabung dengan Tentara Rakyat Indonesia (TRI) berpangkat Kapten, dan menjadi ajudan Kahar Muzakkar. Andi Mo’mang kemudian mendapat misi untuk berangkat ke sebuah front di Sulawesi dengan bekal 600 karung gula, senjata, dan makanan untuk dibawa ke sana.
Sumber: Merdeka
Baca Juga: Kiprah John Lie: Sang Penyelundup yang Menjadi Pahlawan
Kali itu, Andi Mo’mang benar-benar ditangkap oleh patroli Belanda tatkala ia dan pasukannya sedang singgah di sebuah pulau untuk mencari air minum. Ia kemudian ditawan di Kalisosok, Surabaya, hingga satu setengah tahun.
Andi Mo’mang baru bebas ketika gencatan senjata pada 17 Januari 1948 lewat pertukaran tawanan perang. Ia dan pasukannya ditukar dengan sepeleton tentara Inggris dari divisi India. Setelah dibebaskan ia kemudian dinikahkan dengan Maesaroh, seorang cicit pendiri Muhammadiyah, Ahmad Dahlan.
Menurut Andi Mattalata dalam memoarnya, Meniti Siri dan Harga Diri (2003), Andi Mo’mang yang seringkali mengantarkan mertuanya bertemu Presiden Soekarno di Istana Gedung Agung, menarik perhatian Bung Besar itu. “Perangai Kapten Andi Mo’mang yang sopan dan halus sangat menarik simpati presiden. Akhirnya Andi Mo’mang dianggap sebagai anak tertua dari Bung Karno,” tulis Mattalata.
Panglima yang Membuat Soeharto Cemburu
Setelah Indonesia diakui kedaulatannya oleh Belanda pada 1949, Andi Mo’mang yang kemudian menjadi Perwira Polisi Militer kembali ke Sulawesi. Ia menikah lagi dengan Elly Saelan, putri tokoh nasionalis asal Makassar, Amin Saelan.
Menjelang Orde Lama runtuh, ia kemudian ditarik oleh Soekarno untuk menjabat Menteri Perindustrian Ringan. Di tahun-tahun itu ia melepas gelar kebangsawanannya. Namanya kemudian dikenal dengan Muhammad Jusuf atau M. Jusuf.
Sumber: Merdeka
M. Jusuf dikenal sebagai salah satu pendukung Soeharto. Ketika menjabat menteri ia orang penting yang mengirim Surat Perintah 11 Maret Kepada Letnan Jenderal Soeharto, dan menjadi saksi dari kejatuhan bapak angkatnya, Bung Karno.
Tatkala Soeharto menjabat jadi presiden, setelah belasan tahun berada di luar dinas kemiliteran, presiden RI kedua itu menjadikannya sebagai Panglima ABRI, sekaligus Menteri Pertahanan dan Keamanan dari 1978 sampai 1983.
Saat menjadi Panglima ABRI ini, M. Jusuf sangat dekat dengan prajurit. Dia berkeliling Indonesia untuk menemui para prajurit di barak-barak. Dengan hangat dia menyapa keluarga prajurit. Ia juga membangun asrama, memperbaiki fasilitas yang rusak, memberikan bantuan dan dengan sikap kebapakan mendengarkan curhat para prajurit.
M. Jusuf menghabiskan waktu di antara para prajuritnya. Ia nyaris tidak pernah duduk di meja kerja. Namanya menjadi sangat populer. Ia tak hanya di kalangan prajurit, namun juga di mata rakyat. Saat itu TVRI yang menjadi satu-satunya stasiun televisi selalu menayangkan kunjungan kerja Jenderal Jusuf.
Sumber: Fajar.co
Perlahan, Soeharto tampak mulai khawatir dengan kepopuleran Jenderal Jusuf. Di kamus Orde Baru tak boleh ada matahari kembar. Apalagi rakyat lebih antusias melihat Jusuf daripada Soeharto. Bisik-bisik mulai terdengar M. Jusuf cocok jadi wakil presiden, atau jadi presiden menggantikan Soeharto.
"Setiap malam berita Jusuf mengunjungi prajurit di seluruh Indonesia dan berbicara spontan kepada mereka dengan aksen Bugisnya yang kental --suatu tontonan yang jelas lebih menarik dibanding penampilan Soeharto yang monoton-- tentu saja Bapak Presiden merasa terganggu," tulis wartawan senior Salim Said dalam memoarnya Dari Gestapu ke Reformasi terbitan Mizan.
Hubungan Soeharto dan M. Jusuf akhirnya dingin. Pernah satu ketika M. Jusuf menggebrak meja di depan Soeharto dan para pejabat negara saat ditanya, apakah dia memiliki ambisi pribadi seiring kepopulerannya. Sejak saat itu Panglima ABRI selalu mengutus wakilnya jika ada rapat di Binagraha yang dihadiri Soeharto.
M. Jusuf tak pernah jadi wapres, apalagi presiden. Dia digeser Soeharto menjadi Kepala Badan Pemeriksa Keuangan. Setelah itu sang jenderal memilih pulang kampung ke Makassar dan mengurusi masalah agama hingga akhir hayatnya.
BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.