Ceknricek.com -- Penyaluran kredit oleh bank-bank besar melambat signifikan pada 2019. Akibatnya, pertumbuhan kredit perbankan secara keseluruhan pun seret. Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Wimboh Santoso, menyebut kredit perbankan hanya tumbuh 6,08% pada akhir 2019. Angka ini jauh lebih rendah dibanding tahun 2018 yang tumbuh 11,7%.
Menurut Wimboh, seretnya kredit ini seiring dengan pelemahan harga komoditas di pasar global. “Tentunya ini merupakan hal yang kita hargai karena perbankan masih tetap prudent dalam kondisi masa transisi," kata Wimboh dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (22/1).
Perlambatan pertumbuhan kredit, terutama dialami oleh bank-bank besar kelompok BUKU III dan BUKU IV. Pada 2019, penyaluran kredit bank BUKU III hanya 2,4%, jauh lebih mini dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 12,3%. Sementara pertumbuhan kredit di bank BUKU IV melambat menjadi 7,8% dari 12,3%.
Sumber: Daulat.co
"Memang ini tidak lain akibat dari pertumbuhan secara sektoral masih ditopang konstruksi dan pertambangan. Kredit investasi tumbuh tertinggi 13,2% dan ini tentunya akan memberikan dampak positif untuk kredit modal kerja," kata Wimboh.
Perlambatan pertumbuhan kredit ini terjadi pada saat suku bunga turun. Rata-rata suku bunga kredit pada 2019 adalah 10,5%, turun sedikit ketimbang 2018 yang sebesar 10,8%.
Ada kecenderungan bank lebih memilih menempatkan dana di obligasi pemerintah dan surat berharga lainnya. Sepanjang 2019, alokasi dana perbankan di Surat Berharga Negara (SBN) dan surat berharga lainnya naik 15,8%.
"Kemudian pada akhir 2019 juga ada peningkatan pinjaman offshore (luar negeri) mencapai 133,6%. Hal ini memungkinkan karena suku bunga di luar negeri lebih murah dan tren penguatan rupiah yang akhir-akhir ini membuat perbankan lebih untung ambil offshore," ungkapnya.
Kredit Macet
Dalam berbagai kajian literatur, persoalan kredit macet dipengaruhi oleh dua faktor, baik dari spesifik bank (bank specific factors) maupun faktor makroekonomi (macroeconomic factors). Pada faktor spesifik bank, kredit macet berhubungan dengan tidak maksimalnya penilaian kredit. Pada kerangka tersebut, ada dua teori terkait yaitu teori ketidaksimetrisan informasi (asymmetric information theory) dan teori moral hazard (moral hazard theory).
Teori ketidaksimetrisan informasi merupakan konsep dari principal-agent problems. Informasi asimetris terjadi ketika salah satu pihak dalam hubungan transaksional lebih terinformasi tentang transaksi daripada pihak lain. Konsekuensinya, keputusan perbedaan dalam informasi yang tersedia untuk kedua belah pihak. Keputusan banker menyalurkan kredit kepada debitur hanya bergantung pada aplikasi kredit dan sistem informasi debitur (SID). Selebihnya, pihak bank tidak memiliki informasi lebih lengkap tentang kelayakan kredit peminjam.
Informasi tidak simetris memunculkan masalah moral hazard. Hal ini bermula dari sulitnya kreditur membedakan antara debitur berkualitas baik dan buruk. Sehingga, bank mengenakan suku bunga yang sama pada kedua calon debitur tersebut.
Sumber: Istimewa
Ketika suku bunga yang ditetapkan bank lebih lebih tinggi dari yang kemampuan debitur berkualitas baik, maka debitur baik akan keluar dari pasar kredit. Dengan demikian, bank hanya memiliki calon debitur berkualitas rendah dan cenderung menetapkan suku bunga lebih tinggi. Muara dari kualitas debitur rendah dan suku bunga kredit tinggi tercermin dari lonjakan kredit macet.
Baca Juga: BI dan OJK Sebut Pertumbuhan Kredit Melambat
Setali tiga uang dengan informasi asimetri yang menyebabkan lonjakan kredit macet, biasanya bank-bank mengalokasikan sumber daya manusia lebih besar. Dalam jangka panjang, hal itu akan menyebabkan biaya overhead cenderung melonjak.
Muratbek (2017) menjelaskan saat biaya operasional lebih tinggi dari pendapatan bunga, maka hal itu menunjukkan lemahnya manajemen bank dalam penjaminan, pemantauan dan pengendalian portofolio pinjaman.
Sumber: Bank Indonesia
Baca Juga: Presiden Minta Suku Bunga Kredit Diturunkan
Merujuk pada data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2018, rasio antara biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) bank umum mencapai 77,86%. Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) I memiliki BOPO yang jauh di atas level bank umum, mencapai 87,9%.
Sementara pada BUKU II dan BUKU III masing-masing 86,21% dan 85,88%. Bank-bank yang tergabung dalam BUKU IV memiliki BOPO sebesar 69,18%. Perkembangan BOPO 2019 secara fundamental tidak jauh berbeda antara kelompok. Dengan merujuk pada Muratbek (2017), dapat dijelaskan bahwa NPL bank umum mencapai 2,37% pada 2018. NPL pada BUKU I dan BUKU II masing-masing 3,18 % dan 2,32 %; sedangkan pada BUKU 4 hanya 2,16 %.
Ada beberapa faktor yang memengaruhi kondisi tersebut, seperti kemampuan menyediakan dana cadangan kerugian penurunan nilai aset keuangan (CKPN) terutama pada komponen kerugian kredit. Faktor lainnya terkait dengan investasi pada teknologi informasi, seperti pemanfaatan big data, untuk meningkatkan screening pada calon debitur.
Terkait dengan CKPN, porsi penyaluran dana bank pada komponen tersebut cenderung meningkat, dari 1,52% (2014) menjadi 2,11% (2018). Sementara itu pada 2019, Agustus, porsi penyaluran dana pada CKPN mencakup 2,01%. Hal ini menggambarkan bahwa risiko penyaluran kredit semakin meningkat, searah dengan kompleksitas sektor riil. Dari sisi pertumbuhan, nilai CKPN kredit pada bank umum rata-rata naik 18% per tahun.
Fintech
Kehadiran Fintech menantang sektor perbankan untuk keluar dari zona nyaman (comfort zone). Daya tarik pembiayaan Fintech (peer to peer), terutama, karena dapat dapat memangkas waktu dan administrasi pengajuan dan pencairan pinjaman. Namun demikian, tetap saja aspek risiko tidak boleh dikesampingkan. Nasabah harus paham betul risiko yang muncul kemudian.
Selain itu, peer to peer lending menyasar unbankable, yang selama ini tidak tersentuh bank maupun jenis pembiayaan formal lainnya. Umumnya, mereka terjerat pada pembiayaan informal seperti bank-bank keliling. Porsi mereka sekitar 64% dari jumlah penduduk.
Seberapa besar kontribusi Fintech bagi perekonomian nasional? Menurut kajian Indef (2018), Fintech menyumbang sekitar Rp26 triliun terhadap PDB. Fintech mengisi sekitar Rp8,9 triliun pada konsumsi rumah tangga dan pendapatan tenaga kerja sebesar Rp4,6 triliun. Selain terhadap PDB, pembiayaan Fintech berperan dalam meningkatkan literasi dan inklusi keuangan. Ekspansi pembiayaan Fintech lambat laun akan mendorong naiknya rasio pembiayaan domestik terhadap PDB.
Selama ini, rasio kredit terhadap PDB Indonesia jauh di bawah negara-negara sekawasan. Sektor pembiayaan hanya mampu menyumbang kurang lebih 40% dari PDB nasional. Hal itu jauh dari Malaysia dan Thailand, yang sudah di atas 100%. Potret inilah yang menyebabkan tingginya ketergantungan pada pembiayaan lintas negara. Tentu, hal itu akan membuka keterbukaan pada risiko nilai tukar.
Sumber: Infopublik
Fintech juga mendukung upaya otoritas moneter untuk mencapai less cash society. Hal itu didukung oleh tingginya penetrasi handphone (smartphone) dibandingkan dengan pembukaan rekening. Akan tetapi, penggunaan transaksi cash masih tinggi.
Baca Juga: Mulai 2020, Fintech Wajib Melaporkan Keuangan ke PPATK
Dalam catatan World Cash Report (2018), porsi transaksi menggunakan dana tunai masih berkisar 50-55%. Angka tersebut relatif sama dengan Thailand dan India. Dijelaskan lebih lanjut, selama 2012-2016, peredaran uang tunai di Indonesia tumbuh 53%; sedangkan penarikan uang tunai di ATM tumbuh 65,5%. Sementara itu, pertumbuhan uang kartal di luar bank umum dan BPR mulai melambat.
Menurut data Bank Indonesia, pada 2018 jumlah uang tersebut hanya tumbuh 6,62% (yoy); turun dari 15,4% (yoy) pada 2017.
Dalam kaitannya dengan less cash society, data jumlah kartu yang beredar dapat memberikan gambaran tingkat penggunaan transaksi nontunai. Pada 2018, jumlah kartu di Indonesia (debit dan kredit) mencapai 152 juta atau turun 2% (yoy). Jumlah kartu kredit naik hingga 21% (yoy). Dari segi transaksi, penggunaan kartu kredit mencapai Rp314 triliun atau naik 5,5% dari tahun sebelumnya. Sementara itu, jumlah instrumen uang elektronik mencapai 167 juta, naik 5% per bulan.
Sumber: Istimewa
Perkembangan Fintech memberikan tantangan dan peluang baru bagi sektor perbankan. Untuk itu perlu langkah-langkah strategis untuk mengambil peluang dan mengelola risiko. Dari sisi peluang, perbankan dapat bermitra dengan perusahaan Fintech, baik untuk jasa maupun pembiayaan. Tantangan paling nyata adalah bagaimana perbankan meningkatkan investasi pada infrastruktur digital, sehingga memperluas konektivitas hingga ke daerah-daerah yang selama ini belum terjangkau.
Dengan demikian, peluang-peluang baru dapat diambil. Selain itu, Fintech berpeluang menggerus fee based income perbankan. Satu bagian kritis dari kehadiran Fintech adalah memberikan dorongan bagi bank-bank (kecil) untuk berkonsolidasi, agar tetap mempertahankan eksistensinya di industri keuangan.
BACA JUGA: Cek EKONOMI & BISNIS, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini
Editor: Farid R Iskandar