Kritik Film Ali &  Ratu-Ratu Queens: Tidak Ada Bunda di New York | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Istimewa

Kritik Film Ali &  Ratu-Ratu Queens: Tidak Ada Bunda di New York

Ceknricek.com--Dalam seni, beda komedi dan tragedi telah  setipis silet. Lefcourt dan Martin  sudah menegaskan, komedi tidak selalu diiringi dengan senyum dan tawa (Sense of Humor and Dimention of Personality, Washington: 1993). Tertawa tidak selalu dipicu rasa lucu.  Sebaliknya,  tragedi dapat menghasilkan senyum dan tawa. Dalam rumusan  Eva Dadlez dan Aniel Luthi, komedi dan tragedi bagaikan dua sisi mata coin, dapat dibedakan tapi tidak dapat dipisahkan (Comedy and Tragedy as Two Sides of The same Coin: Reversal and Incongruity as Spurces of Insight, Illinois: 2018). Seno Gumira Ajidarma menggarisbawahi, komedi dan tragedi,  tertawa dan menangis, menandai yang ekstrem  dalam spektrum kesinambungan (Antara Tawa dan Bahaya, Jakarta: 1992). 

Kemajuan teknologi komunikasi dan agresifitas kesenian, termasuk dan terutama dalam karya film,  yang melepaskan dari pengkotak-kotakan, telah memuat pendekatan-pendekatan teori lama sering kehilangan relevansinya, setidaknya perlu mendapatkan revitalisasi tafsir. Oleh sebab itu, dalam seni film pendekatan pemisahan komedi dan tragedi tidak selalu cocok lagi. Kita memerlukan suatu pendekatan baru, out of the box, atau setidaknya pendekatan multi approach dalam menilai karya film yang  unsur komedi tragedinya sudah beririsan.

Film sebagai karya seni harus dinilai dari moral estetiknya sendiri. Moral dan seni yang berpadu dalam sebuah karya film berkaitan erat dengan  penciptaan dan penemuan serta alternatif. Kita tidak dapat menetapkan secara  a priori  apa dan bagaimana  yang harus dipilih dan dipertangungjawabkan. Tidak ada nilai  estetik a priori, yang nampak koherensi karya dalam kaitan antara keinginan dan karya yang sudah rampung. Film tidak dapat didekati cara kuno dengan pengkotakan claster-claster yang hitam putih, apalagi dengan mencoba  menggali premis  tunggal yang sudah usang.

Film Ali & Ratu-Ratu Queens (ARRQ) karya sutradara  Lucky Kuswandi dan ditulis oleh Gina S Noer, yang mulai tayang medio Juni tahun ini di over the top (OTT), termasuk yang perlu didekati dengan melepaskan teori-teori konvensional tentang humor serta adanya  pembedaan yang tegas komedi dan tragedi. Kita harus mengapresiasi, menanggapi dan memahami film ini berdasarkan kaedah-kaedah moral estetik film ARRQ itu sendiri, dan bukan pada kacamata persepsi analitik yang terbatas.

Ketika kecil Ali (Iqbal Ramadhan) sudah ditinggal pergi sang Bunda,  Mia (Marissa Anita), ke New York, Amerika  Serikat. Ibunya punya sejuta impian ingin menjadi artis terkenal.  Ketika New York menggodanya, Mia terpincut pergi kesana dan meninggalkan anak semata wayangnya yang masih kecil.  Ali terpaksa  hanya hidup bersama  ayahnya, Hasan  (Ibnu Jamil), sampai sang Ayah meninggal. Setelah ayahnya meninggal, Ali nekad mencari Si Bunda ke  New York. Di Queens, salah satu daerah di  New York,  Ali ketemu  dengan kwartet emak-emak imigran dari Indonesia, masing-masing Party (Nirina Zubir), Biyah (Asri Welas), Ance (Tika Panggabean) dan Chinta (Happy Salma)  serta gadis remaja  cantik Eva (Aurora Ribero), anak Ance.

Ali Akhirnya berhasil berjumpa dengan Mia. Tapi sosok Mia bukan lagi sosok Bunda yang dahulu dia impikan. Bukan lagi Mia yang menjanjikan pergi bersama ke patung Liberty untuk kebahagiaan yang sama. Mia sudah menjadi isteri orang lain. Mia sudah mempunyai anak-anak lain dari suaminya. Ibunya kini bukan lagi  ibunya yang dulu. Walaupun secara fisik Ali berjumpa dengan bundanya, tetapi sebenarnya di jiwanya tidak ada Bunda di New York.

Film ARRQ merupakan film tragedi yang dibalut komedi. Dapat juga dibalik, film komedi dengan substansi tragedi. Unsur  komedi dan tragedy maunya disatukan erat. Kita tidak dapat memisahkan unsur–unsur itu, apalagi sampai mengambil kesimpulan hanya berdasarkan pengetahuan nalar yang secuil tetapi tidak memiliki  multi rasa sebagai radar. Kita harus memahami mengenai perkembangan makna komedi, humor dalam era kesenian kontemporer, di samping tentu pemaknaan visual dalam film.

Segi Tiga Sama Sisi

Kisah film ARRQ dapat ditafsirkan bertumpu pada segi tiga sama sisi. Pada satu sisi, ada kisah tentang Ali yang sejak kecil ditinggalkan ibunya ke New York untuk meraih kesuksesan. Sampai remaja dia tidak menerima kabar berarti dari ibunya. Hatinya selalu rindu kepada ibunya.  Lalu dia nekad menyusul Sang Bunda sampai ke New York. Di sana dia memang bertemu dengan ibunya, tetapi bukan kehangatan yang dia peroleh, melainkan justeru  kehampaan. Ali terpental terbanting-banting dari harapan yang dipupuknya. Janji-janji manis Sang Bunda  ketika Ali kecil untuk meraih mimpi bersama di tempat patung Liberty berdiri,menjadi bayang-bayang baur semu yang semakin menjauh. Ibunya tak menghendaki Ali tetap di New York , sebaliknya menghendaki   Ali justru  kembali ke Jakarta.

Pada sisi lainnya, ada cerita tentang empat orang ibu–ibu yang harus berjuang mencari penghidupan  dan kehidupan di sana sebagai pekerjaan kasar. Untuk menghemat biaya, mereka tinggal bersama disebuah apartemen. Kendati mereka menghadapi kehidupan sehari-hari yang sangat sulit, tetapi mereka tetap optimis. Tetap ceria. Tetap cerewet. Mereka menghadapi hadangan penghidupan dengan sikap dan sudut pandang optimis. Makanya mereka pun berani punya cita-cita ingin punya toko sendiri untuk mengangkat derajat mereka.

Sisi terakhir, kisah Mia. Sebagai perempuan yang punya ambisi, yakin akan kemampuan dan kemandiriannya, dia berani meniti karier di New York, meski harus meninggalkan Ali, anaknya yang masih kecil. Meraih cita-cita di New York di tempat patung    Liberty berdiri. Apa mau dikata, karier Mia  tidak pernah  moncer disana. Hidupnya pun tertatih-tatih, sampai kemudian dia kawin lagi. Punya anak lagi. Ketika Ali datang menjemput mimpi ke New York, Mia dalam situasi dilematis. Pilih Ali, tapi  keluarga barunya dapat berantakan. Atau pilih keluarga baru,  dengan konsekuensi menyakiti Ali.  Terpaksa demi keutuhan rumah tangganya, dia minta kepada Ali untuk menjauhi dirinya dan pulang ke Jakarta.

Film menukil luka batin seorang anak yang ditinggalkan ibunya dengan janji seindah kepak sayap merpati yang tidak pernah ingkar janji.  Perlakuan apapun terhadap anak,  bakal melekat pada hati anak itu. Kalau perlakuan itu buruk,  maka hati anak akan menjadi berkarat, keropos dan tidak dapat diperbaiki lagi. Oleh sebab itu, janganlah sekali-kali kita memberi janji semu kepada anak-anak. Jangan kita mengambil resiko membiarkan hati anak kosong tanpa bimbingan dan pendampingan. Kekecewaan anak dapat menjadi “bom” yang meluntuh lantakkan  perkembangan jiwanya. Apapun, jika mungkin, jangan membuat pilihan yang dapat meninggalkan jejak-jejak hitam pada jiwa anak.

Sebaliknya, film juga memberikan ruang kepada keteguhan dan keberanian seorang  perempuan pada sisi segi tiga lain.  Film seperti ini ingin memaparkan, jiwa kaum perempuan punya cita-cita, punya ambisi, ikutilah suara hati. Jangan takut untuk meraih cita-cita itu, walaupun harus melewati lautan dan benua. Kaum perempuan, janganlah kalian  cuma berada di ketiak suami yang hanya mengurus remeh temeh soal rumah tangga. Eksistensi perempuan hanya dapat terbentuk, kalau kalian memiliki keberanian, pantang menyerah, termasuk menghadapi resiko yang mungkin besar sekalipun. Kalau pun kemudin gagal, setidaknya proses mencoba menjadi sesuatu yang sangat penting dan menjadi tonggak kekuatan diri.

Segi tiga terakhir menghadirkan gaya ibu-ibu imigran Indonesia di New York. Mereka mengajarkan, kesulitan apapun, tetap harus dihadapi dengan perilaku  riang. Kebersamaan, kejujuran dan keriangan menjadi tali persaudaraan yang kuat dalam menghadapi tantangan, rintangan dan ancaman. Nilai-nilai kebersamaan, kekeluargaan akan  memberikan ekspresi rasa jujur yang melepaskan ketegangan dan menghasilkan kehangatan persaudaraan.

Ketiga sisi segi tiga itu bertemu menjadi satu kesatuan dalam kisah film.

Humor dan Kemarahan Sosial

Manusia merupakan mahluk yang sangat kompleks, apalagi kalau sudah berinteraksi sosial, lebih rumit lagi.  Menurut  Robert Pollack , manusia terdiri dari 100 juta-juta , atau  10 kodrat 14  sel. Kemudian setiap sel terdiri dari 10 kodrat 14  atom. Nah, kompleksitas  pada tataran molukul sama  kompleksnya dengan otak seseorang  (Sign of Life: The Language and Meaning of DNA, Boston : 1994). Hal ini bermakna, ungkapan dan  rasa  manusia sulit diterjemahan oleh rumus-rumus nalar saja. Persoalan tentu bertambah kompleks dalam kaitannya dengan seni film komedi atau humor.

Dari ratusan teori tentang humor, dapat kita sarikan menjadi tiga pendekatan:  sosial, psikologi   dan komunikasi. Sebagai contoh klasik,  film-film Charlie Chaplin  (lahir tahun 1889) yang tanpa suara. Film komedi ini  dapat ditelaah dari berbagai aspek. Hal yang menarik, ternyata humor lebih dahulu dikenal umat manusia dibanding dengan pesan komunikasi lainnya.

Dalam teori-teori psikologi, humor atau lelucon, tentu termasuk yang terekam dalam film,  secara fundamental dinilai sebagai fenomena sosial. Dalam hal ini tawa membawa pesan, menyampaikan misi. Di balik tawa ada sesuatu yang ingin disampaikan  dan dapat sampai kepada taraf untuk mempengaruhi. Dengan begitu,  humor  tidaklah sekedar menghasilkan tawa. Film komedi tidak melulu hanya untuk membuat penontonnya tersenyum atau terbahak-bahak, dan setelah itu melupakan semuanya. Film komedi ingin “menusuk” batin dengan halus, lalu  membuat kita dapat mengingatnya dan bahkan dalam banyak hal mempengaruhi kita. Jadi ada fungsi sosial disana.

Humor dapat mengubah persepsi diri kita sebagaimana ditegaskan oleh Elizabeth E Hurlock (Psikologi Perkembangan, Jakarta: 1993). Dengan begitu,  John Sorey yakin,  sebenarnya humor tidak lagi “netral.” Humor bukanlah sesuatu yang “murni.” Ada makna di balik humor yang tidak dapat dibakukan (Cultural Studies and The Study of Populer Culture: Theories and Method, Edinburgh: 1996). Makna humor dapat merembes kemana-mana dengan versinya masing-masing

Tokoh psikoanalisis, Sigmund Freud  , seperti biasa, mengkaitkan lelucon atau humor dengan bawah sadar manusia untuk melepaskan sesuatu yang bersifat libidinal.  Lelucon, kata Sigmund Freund,  merupakan suatu dorongan ketidaksadaran untuk menyatakan sesuatu (Joke and Their  Relation to Unconscous, New York: 1960). Humor dengan demikian dalam pandangannya dapat saja menjadi  keinginan untuk melaksanakan sesuatu yang menjadi larangan atau tabu dalam masyarakat. Melalui penyajian lelucon, orang dapat   menembus tabu dan larangan-larangan masyarakat tanpa harus memperoleh celaaan, sehingga dengan demikian sekaligus ada semacam kepuasan di bawah sadar.

Arthur Koestler  banyak melakukan penelitian dan hasilnya dituangkan dalam buku “The Art of Creation” yang terbit tahun 1989. Dalam buku itu, Koestler menegaskan humor atau lelucon adalah proses intelektual. Dengan begitu keberadaan humor secara keseluruhan memiliki alasan-alasan yang kuat. Humor baginya bukan untuk merendahkan manusia, tetapi sebaliknya  untuk mengangkat kemanusiaan.

Di mata filosof Perancis  Henri  Louis Bergson, dalam karyanya yang terakhir  “Laughtter” (Paris : 1900)  sampai pada kesimpulan, humor adalah eksistensi pemikiran metafisika dan etika.  Menurut Bergson, kelucuan  dihargai sebagai sesuatu  yang hidup sampai taraf metamorphosis paling asing. Tawa adalah sebuah kegilaan. Dia menjadi senjata utama dalam gerak kehidupan sosial. Tegasnya tawa adalah juga kemarahan sosial.

Luka di Patung Liberty

Film dibuka dengan sangat baik melalui penampilan Ali dan Mia   di tempat tidur. Disana  diperlihatkan lukisan  pesawat terbang di kertas yang menuju  patung Liberty. Saat itu sejatinya  Ali sedang diberikan ekspektasi atau asa sangat besar. “Itu apa yang besar banget ?” tanya Mia.

“Patung Liberty,” jawab Ali kecil.

“Patung Liberty, berarti  ada di New York. Mamah pergi dulu ke New York ya, Nak. Kalau nanti  Mamah sukses, kamu  tinggal sama Mama di New York. Oke?”

Percakapan ini bersemayam di hati Ali sebagai kenangan indah sekaligus ekspektasi tinggi. Janji kepada seorang anak adalah sebuah goresan di hati. Jika tidak dipenuhi tanpa alasan,  dia dapat menjadi sebuah borok  kejiwaan dalam diri  anak itu. Sewaktu  Ali telah sampai di New York, dan dengan susah payah berhasil berjumpa  dengan Mia, ibunya sudah bukan ibunya yang dulu. Ibunya sudah menjadi ibu yang lain. Ibu yang tidak mengharapkan kehadiran Ali. Ini sebuah bom bagi jiwa Ali.  Hancur sudah harapannya. Lebur sudah ekspektasinya.

Peristiwa itu,  tragedi atau komedikah? Peristiwa ini dapat dilihat sebagai dua sisi coin sebagaimana disebut oleh Eva Dadlez dan Aniel Luthi. Disebut tragedi karena jelas ada seorang anak yang bertahun-tahun mengharapkan  ketemu dengan ibunya, tetapi setelah bertemu hanya memperoleh kehampaan. Ada proses pelukaan hati di sana. Tetapi dia juga dapat menjadi komedi yang getir dalam proses kematangan seorang anak manusia. Dalam humor sering yang diapungkan suatu harapan, tetapi di akhirnya disodok dengan surprise yang menggetarkan. Bahkan menyakitkan.  Harapan Ali dapat berpelukan  penuh kasih sayang dengan ibunya yang sudah berpisah sekian tahun, malah mendapat surprise kehadirannya tidak diinginkan sang ibu.

Adegan ketika Ali sedang makan di meja makan di apartemen kwartet emak-emak, dia ditanya mau tinggal dimana? “Di hotel,” jawab Ali. Para Emak langsung ngakak alias tertawa terbahak-bahak. Ali tidak tahu betapa mahalnya tinggal di hotel di New York. Tentu jawaban Ali menjadi bahan tawa keempat emak-emak. Namun,  apakah ini benar bahan lelucon, ataukah sesugguhnya ini justeru tragedi?  Seorang remaja dari Indonesia mau tinggal di hotel tanpa tahu betapa mahalnya tinggal di hotel. Komedi dan tragedi sudah masuk dalam satu rumpun.

Begitu pula adegan saat Ali berada di sebuah acara syukuran keluarga besar Hasan. Dalam adegan  itu,  diceritakan ada seorang anggota keluarga mereka yang pergi keluar negeri. Mau umroh. Semua gembira. Lalu Ali ikut nyeletuk, “Saya juga mau pergi ke luar negeri, ke New York. Ketemu Mamah.” Mendengar perkataan Ali, semuanya bukan gembira malah kaget seraya berucap, “ Astaghfirulloh!”

Ini tragedi atau komedi?  Tentu dapat komedi dapat juga tragedi, tetapi dapat juga gabungan tragedi dan komedi secara bersamaan. Dalam komedi ada unsur  makna, ada unsur pemberontakan. Tapi ada juga unsur tragis.

Seni dan Nalar

Seni, kata Josept Machklis, seorang guru besar  musik dari New York,  seperti  cinta. Sama seperti cinta, seni lebih mudah dirasakan daripada dijelaskan (The Enjoyyment of Music, New York : 1970). Seni berurusan dengan dan rasa melalui medium keindahan. Medium diubah menjadi karya dengan ciri pokok  berupa keindahan rancang bangun dan keutuhan bentuk. Karya seni memiliki daya tarik akal budi, merangsang emosi, menggetarkan daya khayal dan mempertajam indera. Seni tidak dapat  diukur dengan parameter nalar dan perangkat objektif berdasarkan sistem nalar. Dalam kesenian nalar hanya membantu  menyumbangkan pemahaman pada teknik saja, tetapi sifatnya tidak mampu menangkap keseluruhan keindahan seni.

Seni selalu bergerak dengan pemikiran baru, teknik-teknik baru dan juga sikap-sikap baru, yang akhirnya mengarah kepada “aliran-aliran” baru pula. Menurut  Donald B. Calne, guru besar  Pusat Penanggulangan  Penyakit Saraf dari Canada,  nalar memang serba bisa ,tetapi dia hanyalah seperangkat perkakas tanpa kemampuan  sendiri menciptakan, mengganti  dan memperbaiki tujuan kita (Within Reason, New York: 1999).  Dia menjelaskan, motivasi kita tidak langsung bersumber  dalam nalar. Tidak ada hubungannya antara nalar dan motivasi. Nalar tentu telah memberikan sumbangsih besar dalam kehidupan kita, termasuk memberikan batasan-batasan kemampuan nalar sendiri.

Bagi kaum eksistensialisme, sebagaimana diuraikan oleh Jean Paul Sartre (Existentialism and  Humanism, London : 1960), seni menerobos penaklukan manusia terhadap rasionalitas. Persepsi kita, katanya,  tergantung kepada elemen-elemen pilihan yang sudah ada sebelumnya, yang menentukan bentuk-bentuk  yang kita persepsikan tidak hanya bentuk geometris yang beraneka ragam, tetapi  juga setiap fenomena yang kita sadari. Dengan demikian, yang kita persepsikan bukanlah pantulan sesuatu yang objektif yang diduplikasi dalam pikiran kita, tetapi hasil pantulan dan aktivitas pikiran kita. Maka dengan demikian siapa diri seorang ditentukan oleh dirinya sendiri.

Sedikit  Poin Lebih

Dalam pilihan ekspresi  mengantarkan nilai-nilai kemanusiaan,  film ARRQ memiliki sedikit point lebih. Beberapa angle  kamera berhasil mengalirkan dan mengekspresikan pesan yang ingin disampaikan. Lihatlah kita para emak akhirnya berhasil menemukan alamat Mia di New York, kamera mulai menyorotnya  dengan dua lilin sebagai front ground atau latar depan. Lilin dapat ditafsirkan bukan sebagai pemanis, tetapi merupakan lambang yang menerangi lingkungannya.  Penemuan alamat Mia  saat itu menjadi titik terang bagi Ali.

Sinematografi yang dikendalikan  oleh Batara  Goempar juga patut memperoleh acungan jempol. Kota New York tidak digambarkan secara klise  melalui gedung-gedung bertingkat yang modern dengan tingkat keramaian yang tidak pernah tidur. New York juga tidak digambarkan dengan gangster-gangster yang baku tembak. New York digambarkan dengan framing  kamera yang penuh gambar, tetapi tetap selalu bergerak. Hal ini menunjukkan  New York memang tetap kota besar yang penuh energi, tetapi selain itu New York juga punya belahan yang kusam.

Gambaran ini sesuai dengan tujuan Ali datang ke New York. Dia bukan mau jadi turis yang asyik menyaksikan ikonik dan  pusat-pusat hiburan New York, tetapi mau mencari ibunya. Oleh karena itu kamera tidak terperangkap kepada gambar-gambar turistik  yang memotret New York dengan mata sepintas kilas. Dalam hal ini editing yang dikerjakan  Aline J banyak membantu. Keberadaan Ali di tengah kota New York hanya ditujukan selintas kilas saja, sehingga tidak bertele-tele.

Akting para pendukungnya juga relatif tidak di bawah standar.  Iqbal sangat pas dalam peran Dilan, tapi gagal menafsirkan tokoh Mike dalam Bumi Manusia, belajar banyak. Dia menikmati tokoh Ali yang memang generasinya, sehingga tampil di luar streo tipenya.  Marissa juga memperlihat konflik batin seorang perempuan ambisius yang dibenturkan dengan kenyataan pahit. Mimiknya di depan pintu rumah ketika jumpa pertama kali dengan Ali, mewakili itu.

Merahnya Merah 

Dari awal kepergian Mia ditampilkan dengan dramatis. Dia pergi meninggalkan anak dan suaminya mengejar cita-cita ke New York di bawah siraman hujan. Begitu  kuat tekadnya mengadu nasib di New York sampai tega meninggalkan anaknya.  Kepada pers, sutradara Lucky Kuswandi secara berlebihan mengatakan, “Tokoh Mia merupakan tokoh perempuan ideal saya!” Masalahnya, dalam struktur cerita film ARRQ , tokoh Mia merupakan tokoh yang tidak jelas. Tokoh yang misterius.  Sama sekali tidak terungkap bagaimana latar belakang Mia sampai dia terbentuk menjadi pribadi seperti itu.  Dalam film hanya keluarga besar dari  Hasan saja yang ditampilkan, sedangkan bagaimana pola hubungan dan budaya keluarga besar  Mia nol besar informasinya.

Darimana dan kenapa ambisi besar Mia menggapai cita-cita  ke New York  dari aspek sosiologis dan psikologis tidak tersibak. Bagaimana pola hubungan dulu dengan kedua orang tuanya, sehingga dia rela meninggalkan anaknya, lebih gelap lagi. Demikian pula bagaimana dia sampai menikah dengan Hasan, tak ada ceritanya. Padahal motif-motif    ini sangat penting dalam seni film. Kalau saja ada sedikit informasi mengenai latar belakangnya, akan terjawab apakah Mia semata-mata memang  perempuan ambisius  dan bersedia meninggalkan orang-orang yang dicintainya demi menggapai cita-citanya karena dia seorang yang egois, ataukah karena ada dorongan hati yang “rasional” maupun intuitif.

Pertanyaan ini menjadi lebih relevan,  karena ketika Ali datang dan lantas berhasil  bertemu dengannya di New York, akhirnya  Mia memilih melupakan Ali dan merajutkan kebahagiaan dengan keluarga barunya. ”Saya tidak boleh mengulang kesalahan yang sama,” katanya. Apakah dengan demikian,  dia menilai dulu keputusannya  pergi  ke New York meninggalkan anaknya, keliru dan menyesal dengan keputusannya dulu itu. Tak ada informasi soal itu. Tak ada jawaban soal itu. Film ARRQ mengulang kembali kelemahan dalam film-film Indonesia yang miskin informasi  penting  sehingga  sulit  menilai motif-motif pelakunya.Akibatnya film seperti tidak memiliki landasan yang kuat.

Dari film ARRQ kita mengetahui keempat emak-emak imigran disana merupakan pekerja kasar. Kalau dilihat apartemennya,  untuk ukuran disana, apartemen mereka  sudah relatif besar dan lebih dari cukup.  Dalamnya juga relatif bagus. Tidak mencerminkan tempat tinggal pekerja imigran kelas bawah.

Kita juga tidak disuguhkan dalam lingkungan daerah Queens yang seperti apa letak tempat apartemen mereka. Tidak ada long shoot yang menggambarkan posisi apartemen di daerah yang benar-benar kumuh atau daerah yang biasa-biasa saja.  Memang ada potongan gambar-gambar  sampah, tetapi itu tidak dapat langsung diimajinasikan apartemen para emak benar-benar di lingkungan yang kumuh. Tidak ada kepahitan kesulitan hidup di tempat itu. Sebaliknya,  kesannya untuk para pekerja kasar menjadi terlalu nyaman, kalau tidak mau disebut terlalu mewah.

Kalau para tante itu berasal dari Indonesia, dekorasi apartemen mereka kurang mencerminkan mereka orang Indonesia. Tak ada ornamen signifikan  yang  menyakinkan mereka adalah orang Indonesia.  Sutradara Lucki Kuswandi disini lalai mengangkat budaya  Indonesia, padahal ini kesempatan  buat dia  menampilkan keindonesiaan di rumah atau apartemen para imigran perempuan Indonesia. Disinilah dituntut kreatifitas yang tinggi untuk mewujudkannya, tetapi gagal dimanfaat oleh Lucky. Dia nampak masih asyik bermain-main dan tidak memberikan ekspresi lingkungan budaya Indonesia di kota New York. Dari mata hati kita lucky kurang serius menggarap elemen ini.

Hubungan empat perempuan dewasa, walaupun imigran di Amerika, tentu bukan perkara mudah. Apalagi tinggal dalam satu apartemen. Kalau tidak ada  yang spesial tentu tidak mungkin akur. Dari sini kita perlu tahu sejarah keterkaitan mereka, tetapi justeru bagian ini tak ada. Sedangkan yang muncul cuma semua datang ke Amerika dan tidak sesuai dengan cita-cita mereka. Padahal sebagai sisi segi tiga,  cerita ini penting agar meyakinkan kita.  

Begitu pula komposisi dari keempat pekerja rendahan dari Indonesia barangkali lebih menarik kalau mencerminkan kebhinekaan Indonesia. Misalnya kenapa salah satu dari  mereka tidak berasal dari ethnis peranakan Tionghoa, atau peranakan mana sajalah.  Bukankah banyak pula warga Indonesia  peranakan Tionghoa yang berimigrasi ke Amerika, misalnya,  dan tidak semuanya dari mereka sukses.  Kehadiran dari ethis lain dapat memantulkan “benar-benar Inodnesia,” sekaligus menghasilkan perpaduan antara tragedi dan komedi yang lebih bernas.

Dari kwartet itu cuma  Biyah (Asri Welas) yang memiliki aksen Jawa dan menunjukkan keindonesiaan. Ketiga lainnya seperti  dapat manusia dari bumi mana saja.   Maka  kalau sekarang mereka diganti dengan orang-orang Vietnam, Thailand, Filipina tak begitu berarti apa-apa bagi film.  Mungkin hanya bahasanya saja berganti.

Dalam film juga dilukiskan Ance   memiliki anak  gadis, Eva. Tetapi sama sekali tidak jelas bagaimana awal mula dia sampai memiliki  anak, siapa suaminya, kenapa  sekarang hanya dia yang mengurusi anaknya. Padahal latar belakang itu perlu agar kita dapat memaklumi  perilaku Ance bersama para ibu-ibu lainnya. Tanpa latar belakang itu terasa sekali kehadiran Eva cuma agar di film dapat menampilkan pasangan pemuda berwajah tampan dan gadis berwajah cantik : Eva dan Ali.   Kendati ini film komedi dan atau tragedi, penonton tetap memerlukan informasi tentang motif. Tanpa informasi  yang jelas terlalu kentara tempelannya.

Dalam film ada hal-hal yang dapat “dipersoalkan” ada pula yang perlu dimaklumi. Walaupun kita mahfum untuk dapat  ke Amerika diperlukan berbagai alasan kuat agar kita dapat menerima visa kunjungan kesana, namun tak usahlah dipersoalkan bagaimana   alasan Ali dapat mudah masuk ke Amerika.  Hal yang perlu dipersoalkan adalah dalam zaman digital nan canggih, kenapa sebelum ke Amerika,  Ali tidak melakukan pencarian lebih dahulu melalui jaringan digital alamat ibunya di Amerika. Era Sang Bunda pergi ke Amerika dengan era Ali berangkat ke Amerika tentu berbeda. Pada zaman ibunya masih menyampaikan pesan melalui kartu pos. Pada zaman Ali teknologi canggih dapat menjembatani perbedaan antara benua. Dan itulah yang dipakai Ali ketika melakukan hubungan jarak jauh Amerika – Indonesia dengan keluarganya . Dia memanfaatkan laptopnya.

Kenapa hal serupa , sebelumnya tidak dimanfaatkan ketika mencari ibunya ? Mengapa waktu mau pergi ke Amerika, Ali tidak pula memanfaatkan kemajuan teknologi ? Akibatnya terkesan cara kehadiran Ali mencari-cari alamat ibunya di New York seperti film-film Indonesia tahun 1970an yang memperlihatkan orang desa datang ke Jakarta mencari saudara atau temannya  tanpa alamat yang jelas. Kedatangan Ali ke Amerika merepleksikan situasi itu.

Semua poin itu merupakan poin merah film ARRQ.  Dan poin merah itu benar-benar merah. Meminjam istilah satrawan, Iwan Simatupang, merahnya merah,   sampai pada taraf mengganggu kepercayaan dan kenikmatan kita melihat film ini.

Humor dan Tragedi Palsu

Norman Cousin menegaskan,  komedi adalah jalan tengah antara persepsi utilitarian (falsafat yang mengajarkan yang terbaik untuk sebanyak mungkin orang)  dalam kehidupan sehari-hari, dan persepsi  esensial atas dunia dalam dirinya, yang hanya seni  dapat menuntut hak atas kesahihan untuk memberikannnya kepada manusia (Anatomy of en Illiness , New York, : 1979).  Film ARRQ  sebagian besar tidak benar-benar ingin mengekspresikan humor atau memilih komedi. Dari film,  terbaca tak ada konsep yang serius ke arah sana.   Cara dan substansi humornya masih humor-humoran alias humor palsu. Komedinya masih komedi palsu. Bukan yang berasal dari keinginan mengekspresikannya dengan sepenuh hati nurani. Walhasil, komedinya bukanlah hasil dari kegelisahan sosial. Humornya bukanlah humor kemarahan sosial. Film komedinya hanyalah etalase yang diberi label komedi, tetapi tidak memancarkan  unsur komedinya.

Begitu pula sebagian besar tragedinya ialah tragedi semu. Struktur, bentuk dan substansi film tidak dimaksud untuk menghasilkan tragedi kemanusiaan, tetapi tragedi  yang seolah-olah, yang  nampak di permukaan. Tragedi “salon.” Penuh polesan. Untaian film, pilihan kalimat, interaksi para pelakunya membuktikan hal itu.

Ini menggiring kita, sulit untuk tidak mengatakan film ARRQ  sebagian besar belum memenuhi syarat teori-teori komedi dan tragedi. ARRQ juga belum  mewakili pantulan manusia Indonesia dengan kebudayaannya di tengah negeri asing. Lucky Kuswandi melepaskan peluang membuat film yang dapat dicatat dalam sejarah perfilman Indonesia dengan tintas emas. ***

Wina Armada Sukadi, senior kritikus film.


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait