Ceknricek.com--Mahkamah Agung (MA) tidak menerima judicial review atas AD/ART Partai Demokrat (PD) kepengurusan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Pemohon memberikan kuasa kepada Yusril Ihza Mahendra.
"MA tidak berwenang memeriksa, mengadili dan memutus objek permohonan, karena AD/ART tidak memenuhi unsur sebagai suatu peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 dan Pasal 8 UU PPP," kata Andi Samsan Nganro, Wakil Ketua MA bidang Yudisial itu.
Perkara itu mengantongi nomor 39 P/HUM/2021 dengan pemohon Muh Isnaini Widodo dkk melawan Menkumham. Dengan objek sengketa AD/ART Partai Demokrat Tahun 2020 yang telah disahkan berdasarkan Keputusan Termohon Nomor M.H-09.AH.11.01 Tahun 2020, tanggal 18 Mei 2020, tentang Pengesahan Perubahan AD ART.Adapun majelis terdiri atas ketua majelis Supandi dengan anggota Is Sudaryono dan Yodi Martono Wahyunadi.
Alasan penolakan karena:
- AD/ART Parpol bukan norma hukum yang mengikat umum, tetapi hanya mengikat internal Parpol yang bersangkutan;
- Parpol bukanlah lembaga negara, badan atau lembaga yang dibentuk oleh UU atau Pemerintah atas perintah UU;
- Tidak ada delegasi dari UU yang memerintahkan parpol untuk membentuk peraturan perundang-undangan.
Juru bicara KLB Moeldoko, Muhammad Rahmad, mengaku beryukur MA menolak uji materi AD/ART Partai Demokrat 2020 karena menurutnya menguatkan gugatan kubu KLB di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
"Jika judial review tersebut sempat dikabulkan Mahkamah Agung, maka peluang kubu AHY untuk melakukan perbaikan AD/ART di Kongres Luar Biasa (KLB) menjadi terbuka. Hal tersebut tentu saja akan menimbulkan persoalan baru bagi kami," kata Rahmad.
"Namun dengan penolakan MA tersebut, maka gugatan kami di TUN 150 menjadi makin kuat dan peluang kubu AHY untuk melakukan perbaikan AD/ART menjadi tertutup," sambung dia.
Ia menuturkan, menurut jadwal gugatan tersebut sudah masuk tahap kesimpulan pada pekan depan dan akan diputuskan dua pekan setelahnya. Rahmad mengaku optimistis gugatan tersebut akan dikabulkan seluruhnya oleh hakim PTUN Jakarta.
Editor: Ariful Hakim