Mahbub Djunaidi Si Nakal Jenaka (3) | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Qureta

Mahbub Djunaidi Si Nakal Jenaka (3)

Pengantar:

Tanggal 22 Juli adalah  kelahiran kolumnis terbesar Indonesia, Mahbub Djunaidi. Ia lahir pada 1933. Pria Betawi ini lahir dan besar di Jakarta. Namun ia memilih Bandung sebagai tempat untuk menikmati hari tuanya. Pada 1 Oktober 1995, penulis satire humor ini meninggal dunia. Tulisannya yang jenaka dan tajam masih bisa dinikmati dari tiga buku kumpulan tulisannya. Pada 22 Juli 2021 ini, jatuh pada hari Kamis, tepat 88 tahun kelahirannya. Untuk mengenang Mahbub, saya menulis catatan yang lumayan panjang. Selamat menikmati.

***

Penulis Otonom, Pribadi Bebas

Hamid Basyaib, seorang penulis yang memikat, pernah menulis kolom tentang Mahbub. Ia menggambarkan Mahbub dengan gambaran “tidak ada penulis lain Indonesia yang menulis seperti Mahbub Djunaidi. Ia the one and only dalam kancah kepenulisan kita. Ia mengolah langgam dasar dan idiom kebetawiannya dengan cemerlang”. Menurutnya, selain menyusun kalimat yang sangat khas, dengan struktur yang tak selamanya beres, Mahbub juga memiliki diksi yang agak ganjil tetapi “benar”, kocak, dan memikat. Hamid menilai Mahbub termasuk bintang jurnalistik Indonesia generasi kedua di era kemerdekaan setelah Rosihan Anwar, Mochtar Lubis, dan BM Diah.

Dalam hal penerjemahan, Mahbub dinilai Hamid menerjemahkan dengan begitu rileks, dengan pilihan diksi yang serampangannya menggelikan. “Saya bayangkan ia menerjemahkan buku-buku itu bukan kalimat per kalimat, tapi per paragraf atau bahkan per halaman. Ia tak merasa perlu untuk selalu setia pada teks asli. Ia sangat percaya diri dengan pemahamannya atas teks itu lalu mengindonesiakannya dengan caranya sendiri,” katanya. Bahkan, katanya, “Semuanya tunduk pada gaya personal sang penerjemah. Semua buku itu jadi seakan karya asli Mahbub Djunaidi.”

Hamid pun menjelaskan tentang diksi yang digunakan dalam menerjemahkan buku-buku atau novel-novel berbahasa Inggris, misalnya, dengan kata “brojol” atau “sontoloyo”. Kita bisa membayangkan kata apa yang digunakan penulis aslinya sehingga Mahbub menggunakan diksi seperti itu. Mahbub juga memberikan deskripsi tentang orang dengan cara yang sama, misalnya Pablo Neruda dideskripsikan berpipi tembem. Namun gaya ringannya sangat memudahkan pembacanya memahami sesuatu yang rumit dengan gambaran keseharian. Misalnya tentang pengertian modern, sebuah diksi yang digelorakan di awal Orde Baru, dengan perumpamaan “jangan sampai orang jalan ke depan, kita jalan miring”. Lalu bagaimana ia menerangkan tentang pengertian revolusi? Menurut Mahbub, “tukang daging mengamuk di pasar dan acung-acungkan dia punya golok” bukanlah revolusi, tapi “orang kalap biasa yang kepalanya mesti disiram air kulkas”. Seringnya revolusi di Amerika Latin diumpamakan sebagai “persis orang ganti singlet”. Itulah poin-poin yang dicatat Hamid sehingga ia membuat kesimpulan seperti tadi.

Goenawan Mohamad – wartawan, sastrawan, dan aktivis – mengawali tulisannya tentang Mahbub dengan kalimat emosional: “Saya punya kecemburuan pada Mahbub”. Pendiri dan mantan pemred Tempo ini melanjutkan, “Bagaimana dia bisa menulis hingga orang tertawa, padahal isinya cukup serius?” Bagi Goenawan, Mahbub adalah penulis kolom yang belum tertandingi siapapun. Lalu ia membandingkannya dengan Achdiat K Mihardja, MAW Brouwer, Sutjipto Wirosardjono, dan Umar Kayam. Dengan Achdiat, kata Goenawan, serupa tapi tak sama. Pada Mahbub ada ketangkasan yang menyatu dengan seluruh ide atau isi tulisan. Menurutnya, letak mutu sebuah prosa yang baik adalah ide tidak membebani gaya dan gaya tak menyebal dari ide.

Kelebihan Mahbub, kata Goenawan, pada penggunaan perumpamaan yang tak pernah membosankan karena selalu tak terduga. Apalagi ia menulisnya dalam kolom yang pendek dan dalam genre yang paling sukar, yaitu genre humor. Goenawan juga membandingkannya dengan Art Buchwald, penulis satire yang juga digemari Mahbub. Menurut Goenawan, pada Buchwald ada suspens yang selalu terjaga. Sedangkan pada Mahbub, kata Goenawan, ada sesuatu yang lebih. “Mahbub meneroboskan Bahasa Indonesia melewati jaring-jaring bahasa.” Maksudnya adalah, Mahbub berhasil memerdekakan bahasa dari jebakan birokratisasi bahasa. Bahasa menjadi tidak formal dan kaku. Ini menunjukkan bahwa antifeodalisme Mahbub pun menusuk ke soal bahasa, bukan sekadar dalam kehidupan sosial.

Jakob Oetama, pendiri dan mantan pemred Kompas, menilai bahwa Mahbub “memandang persoalan dari seginya yang kocak”. Gaya menulis Mahbub oleh Jakob bisa menjadi gaya dan format berekspresi media cetak. “Gaya ringan dan menyenangkan,” katanya.

Jakob yang mengenal dekat secara pribadi dengan Mahbub menilai Mahbub sebagai pribadi yang ringan ceria dan kocak berolok. “Ia tidak kelewat melihat ke atas atau ke bawah. Semua orang adalah sesamanya, tidak bermartabat lebih tinggi atau lebih rendah […] Lapisan pergaulannya termasuk luas dan semuanya disapa dengan Anda, dengan saudara, dengan bung,” kata Jakob. Sebagai wartawan dan pemimpin organisasi wartawan, kata Jakob, Mahbub menjaganya sebagai profesi dan organisasi yang mandiri.

Tentang hal ini, Mahbub pernah menuliskannya sendiri dalam sebuah artikelnya yang berjudul Pergeseran Tata Nilai NU. Mahbub mengisahkan perbedaan dirinya sebagai pemimpin redaksi Duta Masyarakat dengan KH Idham Chalid selaku ketua umum Partai NU yang merupakan pemilik koran tersebut. Saya kutip secara lengkap:

“Sebagai pemimpin redaksi koran Partai NU, saya tidak begitu saja tunduk pada jalan pikirannya. Berulang kali saya ditegur, tapi saya nekad. Saya percaya, sayalah yang benar karena jurnalistik memang bidang saya. Apa akibatnya? Akibatnya tentunya pada suatu saat turun suatu keputusan yang isinya cukup jelas: Harian Duta Masyarakat dipecat selaku organ resmi Partai NU! Kendati akhirnya rujuk lagi, tapi yang jelas harian resmi Partai NU itu pernah jadi anak gelandangan.”

Begitulah Mahbub. Orang yang bisa menjaga sikap dasarnya sebagai wartawan yang hanya tunduk pada prinsip jurnalisme dan kode etik jurnalistik. Ia mampu menjaga independensi redaksi dari intervensi siapapun. Di era pers Indonesia saat ini, independensi newsroom merupakan barang langka -- justru ketika politik tak bisa lagi secara langsung menerobos ruang redaksi. Era pers kapitalis ini justru merupakan era subur bagi simbiosis kapitalis dan antidemokrasi bisa menyatu dalam senyap. Media bagi kapitalis tak lebih hanya barang modal untuk menggapai keuntungan bisnis dan politik. Para wartawan pun hanya buruh belaka. Tentu tak semua media dan semua wartawan tunduk pada rimba kapitalisme, masih banyak yang seperti Mahbub.

Nakal, Jenaka, Tak Terduga

Mahbub adalah penulis yang nakal. Kenakalan itu tak hanya ditunjukkan saat menggambarkan sesuatu atau saat membuat perumpamaan. Tapi juga saat menerjemahkan novel-novel dari penulis-penulis top dunia. Daftar diksi pada buku atau novel terjemahan Mahbub bisa diperpanjang seperti “busyet, kucing garong, ya robbi, rezeki nomplok, sampeyan’ yang bisa ditemukan di novel karya Art Buchwald yang berjudul Caka-cakar Irving. Pada novel itu juga ditemukan diksi atau frasa yang khas Betawi, seperti “mulai kurangan muaknya” dan “ngapain kalian di sini”.

Mahbub bukan hanya otonom dalam menerjemahkan buku serta lincah dalam memilih diksi yang lucu dan konyol, tapi juga seorang pengritik yang tajam dan sadis. Satirenya yang pedas tentang jargon Pancasila yang selalu didengung-dengungkan Orde Baru dalam sistem yang represif dan otoriter ia jelaskan dengan satu kalimat singkat: “Atau kalau seorang bicara Pancasila sambil bawa kelewang di tangan, boleh jadi dia ngecap”. (Sebutan, 15 Februari 1987). Soeharto yang jargonnya adalah menghayati dan mengamalkan Pancasila secara murni dan konsekuen, justeru menerapkannya dengan tangan besi. Kritiknya tentang orang-orang yang gemar teriak Pancasila sambil merepresi lawan-lawan politiknya tetap relevan hingga saat ini.

Ketidaksukaannya pada feodalisme ia gambarkan dengan cara yang sadis: “Walau anak kanjeng sekalipun jika ia bertahun-tahun dibiarkan main-main di terminal, sulit diharapkan bisa menjadi kanjeng, paling-paling tukang catut karcis”. (Keturunan, 5 April 1987).

Masih soal feodalisme: “Saya kepingin betul jadi Raden Mas, tapi tak tahu dijual di toko mana, juga tak punya duit untuk membelinya.” (Bangsawan, 30 Agustus 1987). Pada tulisan yang sama ia menjelaskan: “Tapi sekarang? Apa bedanya seorang Raden Mas dengan seorang makelar mobil?” Antara menggerutu dan melucu serta mengritik menjadi campur aduk. Mungkin jika ia menuliskannya saat ini bisa diperluas pada politik dinasti yang sedang tren dilakukan elite politik saat ini.

Tulisannya yang berjudul Inlander (Tempo, 10 Agustus 1985) mewakili seluruh sikapnya terhadap antifeodalisme. Si Inlander itu digambarkan sebagai birokrat era kolonial dan berlanjut hingga setelah merdeka: “Memandang pemerintah kolonial seperti seorang oom yang bisa beri sesuap nasi, yang lebih lemah daripada cacing karena tak melawan sama sekali di bawah pijakannya, yang takut kepada bangsa asing seakan-akan mereka itu makhluk angkasa luar, menganggap mereka punya segala kelebihan dan kebolehan bagaikan insan yang terbuat dari perunggu. (Humor Jurnalistik, hlm 24)

Mahbub menilai manusia inlander ini “masih cukup lumayan banyak” kendati Indonesia sudah merdeka. Bahkan kelakuan mereka ini ia gambarkan masih “sangat mulus”. “Seakan-akan baru keluar dari pabrik,” katanya. “Bangsa asing yang dari udik sekalipun, betul-betul digandrunginya untuk dikecup jidatnya. Ia merasa dirinya tak lebih dari sebangsa kecoak. Bangku sekolah kolonial berhasil membuatnya jadi manusia sontoloyo dan berperangaikan seorang jongos,” katanya.

Betapa muaknya Mahbub menyaksikan sikap rendah diri bangsanya. Kata-katanya keras, bahkan kasar. Perumpamaan-perumpamaannya sangat mengiris. Tapi apa yang ia gambarkan benar adanya, bahkan hingga kini, 36 tahun setelah tulisan itu dibuat. Atau 76 tahun setelah Indonesia merdeka. Sistem pendidikan dan kepemimpinan bangsa ini belum mampu mengikis sikap inlander, rendah diri, terhadap bangsa asing. Dalam hal kemampuan untuk percaya diri ini harus belajar dari para pemimpin Vietnam, Malaysia, Singapura, Tiongkok, Jepang. Sikap inlander ini membuat kita tak menyadari telah menjadi budak, jongos. Jika di masa lalu kita menjadi budak bangsa-bangsa Eropa, maka kini kita menjadi budak bagi semua bangsa. Penyelundupan, penyuapan, ‘pengkacungan’ oleh bangsa-bangsa lain terhadap kita merupakan bentuk mentalitas inlander tersebut. Tak heran jika kita sebetulnya baru merdeka secara politik, tapi tak merdeka secara ekonomi dan budaya – bahkan dalam beberapa segi tak lagi memiliki kedaulatan.

Kritiknya yang pedas juga meluncur untuk dunia pers. “Belakangan ini muncul sebutan baru ‘pers kepiting’. Tiap orang tahu apa itu kepiting, binatang yang gemar melihat keadaan sekeliling sebelum tampil ke permukaan, dan begitu ada saja sedikit bahaya, ia segera menyuruk ke balik batu. Belum lagi sebutan ‘pers kepiting itu cukup tersebar luas, sudah datang lagi sebutan yang paling mutakhir, yaitu ‘pers tiarap’. (Kepiting, 2 Agustus 1987). Kompas pernah disebut menerapkan langgam jurnalisme kepiting, seperti yang dicatat Rosihan Anwar.

Dalam tulisannya, Mahbub menempatkan dirinya terlibat. Ia jelas-jelas menggunakan kata “saya” untuk dirinya selaku subjek. Dalam tulisannya yang berjudul Kesatria, Kompas, 14 Juni 1985, Mahbub menulis: “Selaku penulis saya ini generalis, bukan spesialis. Saya menulis ihwal apa saja yang lewat di depan mata. Persis tukang loak yang menjual apa saja yang bisa dipikul. Sebetulnya saya ini ingin meningkat menjadi penulis spesialis, seperti seorang kenalan yang khusus menulis bidang pajak. Begitu seringnya ia menulis ihwal pajak, bukan saja para pembacanya muak dan gelisah, tapi juga kenalan saya itu menjadi senewen.” (Bersambung)

Baca Juga : Mahbub Djunaidi Si Nakal Jenaka (4)

 

 


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait