Pengantar:
Tanggal 22 Juli adalah kelahiran kolumnis terbesar Indonesia, Mahbub Djunaidi. Ia lahir pada 1933. Pria Betawi ini lahir dan besar di Jakarta. Namun ia memilih Bandung sebagai tempat untuk menikmati hari tuanya. Pada 1 Oktober 1995, penulis satire humor ini meninggal dunia. Tulisannya yang jenaka dan tajam masih bisa dinikmati dari tiga buku kumpulan tulisannya. Pada 22 Juli 2021 ini, jatuh pada hari Kamis, tepat 88 tahun kelahirannya. Untuk mengenang Mahbub, saya menulis catatan yang lumayan panjang. Selamat menikmati.
***
Perumpamaan, Deskripsi, dan Idiom
Mahbub juga sering memberikan penjelasan tentang sesuatu dengan perumpamaan yang tak terkirakan tapi kira-kira kena. “Dan Titiek [Puspa] seakan tak berubah dari tahun ke tahun. Ia seperti terbuat dari kuningan. Begitu waktu Titiek menyanyi lagu Bung Karno Siapa yang Punya di Istana Bogor tahun 60an, begitu pula waktu membawakan lagu ciptaannya Kepada Bapak Soeharto, Titiek tetap indah, pas segala-galanya, tidak ada baut yang copot”. (Soal Pilihan, 10 Januari 1988). Kita bisa dibuat ngakak saat membacanya. Hal ini juga ia lakukan saat menjelaskan tentang jenggot. “Sebaliknya, pergilah ke Iran, Anda akan temui semua pria berjenggot mulai dari Khomeini sampai tukang bakso”. Kenapa? Soalnya karena kesenangan dan selera. Pria Iran tanpa jenggot sama dengan ayam jago tanpa jengger, atau seperti ban mobil tanpa dop”. (Jenggot Jabar, 24 Januari 1988). Tentu di Iran tak ada penjual bakso. Juga bagaimana soal jenggot menjadi ban mobil tanpa dop. Tapi memang benar bahwa di Iran orang gemar berjenggot.
Gaya mengritik Mahbub memang menusuk. Hal ini bisa dilihat saat ia sedang mendeskripsikan orang. Tentang Idham Chalid, ia menulis “perawakannya tipis, tak ubahnya dengan umumnya pedagang batu permata dari Banjar, kelincahan logika yang tinggi”. Idham memang dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Idham juga dikenal piawai berdiplomasi dengan logika yang menyenangkan seperti pedagang. Tentang Gus Dur ia gambarkan seperti ini: bertubuh gempal ibarat jambu kelutuk yang ranum, bisa tidur di mana saja, berkaca mata tebal, kebolehan humor yang mengejutkan seakan-akan ia jambret begitu saja dari laci. Di masa mudanya, Gus Dur memiliki wajah gembil menggemaskan. Kita pun bisa dibuat tertawa tiada henti jika mendengarkan Gus Dur berceramah. Koleksi humornya tak pernah habis.
Orang yang kena deskripsi Mahbub juga termasuk John Naro, LB Moerdani, dan Try Sutrinso. Naro adalah orang yang tiba-tiba muncul sebagai ketua umum PPP. Figur yang menjadi boneka pemerintah Orde Baru untuk mengacak-acak partai Islam. Ia dikenal flamboyan dan percaya diri. Ini deskripsi Mahbub tentang Naro: pria perlente, tidak segan-segan tarik suara di restoran dengan suaranya yang tenor, mencium tangan Mien Sugandhi di muka umum seperti pria Prancis. Sedangkan Moerdani yang bengis dan ditakuti sebagai Panglima ABRI (kini TNI) dan Menhankam ia gambarkan sebagai “sosok tubuh seram dan kebanyakan merengut, keras”. Adapun Try yang menggantikan Moerdani sebagai panglima ditulis “berair muka seorang ustad seperti baru keluar dari salon, sejuk dipandang mata”. Try seperti hendak dijadikan antitesa Moerdani untuk memimpin TNI di era Orde Baru yang bengis dan kejam. Wajah Try yang kasep, murah senyum, dan bersuara lembut cocok untuk membangun gambaran baru tentang wajah tentara.
Semua deskripsi tentang orang itu buat Mahbub bukan sekadar hendak menjelaskan, tapi juga hendak menyampaikan pesan di baliknya. Tetaplah itu sebagai sebuah kritik. Bukan Mahbub jika ia tak hendak mengkritik.
M Said Budairy, sahabat dan mitra Mahbub di dunia pers maupun di NU, mencatat tiga fokus perhatian Mahbub: menentang feodalisme, mendorong Indonesia untuk kembali menjadi negeri bahari, dan perhatiannya terhadap wong cilik. Karakter kebetawian Mahbub sangat lekat. Ia ceplas-ceplos, egaliter, dan penuh humor. Kendati begitu, kata Budairy, “Mahbub merasa lebih lega menjadi Indonesia, terlalu sempit menyudut dengan Betawi”. Mahbub menulis, “Aku sudah tidak bisa bicara soal Betawi. Inilah bedanya aku dengan Ridwan Saidi.” Namun demikian, ia bisa galak jika ada orang bicara Betawi yang tak ia sukai. “Betawi adalah…Betawi,” katanya tegas. Ridwan adalah aktivis, pernah menjadi politisi, dan juga budayawan Betawi. Seperti halnya Mahbub dan orang Betawi umumnya; kocak dan tajam.
Perumpamaan pada buku-buku terjemahan Mahbub, akan lebih mudah jika kita membuat perbandingan. Pada buku 100 tokoh, Mahbub membuat terjemahan seperti ini: “Raja diraja pencipta musik Ludwig van Beethoven keluar jadi jabang bayi tahun 1770 di kota Bonn, Jerman”. Pada bagian lain ia menerjemahkan: “Beethoven menetap di Wina, Mekkahnya musik waktu itu, selama sisa hidupnya”.
Mari kita bandingkan dengan terjemahan di buku yang diterbitkan Hikmah. Untuk yang pertama adalah “Ludwig van Beethoven, sang komposer musik terbesar, dilahirkan pada 1770 di kota Bonn, Jerman”. Sedangkan untuk yang kedua adalah: “Beethoven tinggal di Wina – yang saat itu merupakan ibukota musik dunia – sepanjang sisa hidupnya”.
Mari kita bandingkan lagi dari terjemahan di buku yang sama. Pada terjemahan Mahbub tertulis: “Memang, kondisinya sudah matang. Sebab, kalau kondisinya belum sampai begitu, pidato Urban hanya seperti jatuh ke kuping orang tuli”. Bandingkan dengan terjemahan buku terbitan Hikmah: “Memang pada saat itu keadaannya memungkinkan kalau tidak pidatonya mungkin hanya akan dianggap angin lalu”.
Jadi, tidak benar juga jika dikatakan bahwa Mahbub menerjemahkan tidak per kalimat tapi per paragraf, bahkan per halaman. Yang dia lakukan hanya memberikan kemudahan untuk pembaca dengan perumpamaan yang lebih dekat ke idiom pembacanya. Sekali lagi, ini hanya soal perumpamaan. Ini menunjukkan kreativitasnya. Namun ada benarnya jika karya terjemahannya bisa seperti karya Mahbub sendiri akibat kreativitasnya yang ‘kemajon’ ini. Hal ini bisa dilihat pada novel Animal Farm karya Orwell yang diterjemahkan menjadi Binatangisme. Bandingkan dengan terjemahan Prof Bakdi Soemanto yang tetap menggunakan judul Animal Farm. Untuk lebih menguatkan perbedaan itu, mari kita lihat satu contoh saja:
Versi Mahbub Djunaidi:
Tuan Jones pemilik peternakan “MANOR”. Malam itu ia baru saja mengunci kandang ayam. Karena kelewat mabuk, ia lupa menutup lubang kecil tempat ayam keluar-masuk. Menggenggam lampu minyak yang sinarnya berayun kian-kemari, ia terhuyung-huyung melintasi pekarangan, menendang pintu belakang rumahnya dengan sepatu bot, meneguk habis gelas bir penghabisan, kemudian membuang diri ke tempat tidur. Nyonya Jones – tentu saja istrinya – sudah lama mendengkur. Bibirnya mencong, setitik ingus melekat di lubang hidungnya.
Versi Bakdi Soemanto:
Pak Jones, pemilik Peternakan Manor, sudah mengunci kandang-kandang ayam untuk malam itu, tetapi karena mabuk berat, ia lupa menutup lubang-lubang masuk-keluar ayam. Dengan membawa penerangan temaram dari lentera yang bergoyang ke kiri dan ke kanan, ia menendang pintu belakang dengan sepatu botnya, kemudian menenggak segelas bir yang dituang dari barel di ruang pencuci alat-alat dapur, kemudian bergegas menyusul istrinya yang sudah mengorok di tempat tidur.
Ini naskah aslinya dalam Bahasa Inggris:
Mr. Jones, of the Manor Farm, had locked the hen-houses for the night, but was too drunk to remember to shut the popholes. With the ring of light from his lantern dancing from side to side, he lurched across the yard, kicked off his boots at the back door, drew himself a last glass of beer from the barrel in the scullery, and made his way up to bed, where Mrs. Jones was already snoring.
Mahbub melakukan penyesuaian dengan idiom dan perumpamaan yang lebih dekat ke pembaca, walau kadang ia memberikan aksentuasi yang tak ada dalam teks aslinya.
Mahbub adalah seorang penulis, seorang pejuang. Sebagai penulis ia memiliki gaya dan memberi nyawa pada tulisannya. Kekuatan logika dan kekayaan budaya yang melatarinya, telah membuat tulisannya menjadi mudah dicerna dan sekaligus khas. Ia memang bisa dibandingkan dengan yang lain, namun Mahbub adalah…Mahbub. (Tamat)
Editor: Ariful Hakim