Ceknricek.com--Teringat judul lagu di tahun 1990-an. Malu pada semut merah yang berjejer di dinding ketika mereka berbahagia dengan pacarnya. Lagu ini spontan mengingatkan, tatkala menyaksikan dan membaca berita yang menyebutkan: dalam 11 tahun DPO (daftar pencarian orang), Alex Denni mengemban beberapa jabatan strategis. Dalam hati saya bergumam "Busyet .. betapa rusaknya penegakan hukum di Indonesia."
Apakah kejadian ini, harus malu atau hanya sebatas melampiaskan "kedongkolan hati" lalu menelan air liur dalam-dalam dengan ekspresi muka memerah ? Ini soal negara hukum dan nilai keadilan, serta uang negara yang dirampok. Akibat penegakan hukum yang "lembek" dan begitu bebasnya aparat penegak hukum melakukan kompromi, membuat pelaku begitu bebas melakukan aksi korupsi.
Bisa dibayangkan bertahun-tahun berada dalam ketidakpastian hukum dan distorsi penegakan hukum. Mereka di cekal dan diterbitkan surat DPO, sementara yang bersangkutan tidak kemana-mana alias posisinya sangat aman dan bebas beraktifitas. Terbukti mereka bisa ganti-ganti jabatan menduduki suatu jabatan strategis. Fenomena yang tak lazim ini, harusnya kita jadi malu. Sebab, apa yang dipertontonkan itu bukanlah "watak" negara hukum.
Belum lagi, yang terungkap laporan PPATK yang mengekspos ada 36,67 persen dana APBN buat proyek strategis nasional (PSN) dikorupsi. Tercatat, tahun 2016-2023 ada 190 PSN dengan nilai total Rp 1.515 Triliun ludes habis dikorupsi.
Padahal, ini mestinya bisa meringankan biaya hidup rakyat, pendidikan, kesehatan, dan lain-lainnya. Lagi pula, daya rusak proyek tersebut justru mengancam tanah-tanah dan perkampungan rakyat seperti di Rempang, Deli Serdang, dan Tanjung Pasir. Kesemuanya itu bisa diubah menjadi PSN lewat UU Omnibus Law / Cipta Kerja yang sejak dari awal regulasi ini menjadi kontroversial.
Karena masalah korupsi ini erat kaitannya dengan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Maka, menimbulkan pertanyaan besar, apa yang terjadi dengan lemahnya komitmen penegakkan hukum di tanah air ? Bagaimana mungkin dalam suatu masyarakat ada perbedaan persamaan di depan hukum prinsip equality before the law ? Sehingga ada kelompok masyarakat yang begitu leluasa (bebas) memperoleh akses penegakkan hukum. Dan, pada gilirannya menciptakan diskriminasi secara kasat mata.
Fakta-fakta tersebut telah menggenapkan keprihatinan kita kepada pemberantasan korupsi di Indonesia yang dianggap makin hari makin tumpul dan tak berpihak lagi kepada cita-cita awal pemberantasan korupsi.
Keprihatinan yang sama juga dikemukakan oleh Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam rapat kerja Komisi III DPR membuat statemen menarik: bahwa pemberantasan korupsi telah gagal. Pernyataan itu seperti gemuruh hujan yang tiba-tiba tumpah dari langit. Betapa tidak ? pernyataan itu mengagetkan karena disampaikan oleh salah satu pimpinan KPK. Dan, kita pun jadi berkesimpulan: mengapa begitu gelap pemberantasan korupsi, sepertinya mengisyaratkan tak ada secuilpun yang menggembirakan.
Rentetan kejadian inilah, membuat kita jadi merenung. Apalagi sekitar dua bulan lebih kita akan menyaksikan suksesi kepemimpinan nasional. Bagaimana cara pemimpin baru Indonesia mengatasi penegakkan hukum yang "carut-marut" dan pemberantasan korupsi yang makin gelap. Publik tentu saja sangat berharap adanya terobosan yang massif dan progresif dari nahkoda baru yang akan membawa kapal besar RI yang berkapasitas sekitar 285 juta jiwa lebih.
Semoga, ke depan harapan kita negara hukum semakin menemukan momentumnya. Dan, kepemimpinan negara pelan-pelan dijauhkan dari perilaku otoritarianisme dan sikap budaya korupsi. Akhirnya bangsa ini tak lagi terbenam dari "rasa malu" seiring dengan tegaknya kewibawaan rule of law.
Jakarta, Jum'at 26/7/2024
Editor: Ariful Hakim