Ceknricek.com -- Saya ingat, ketika secara tak sengaja, bersama istri, melihat logo TVRI yang baru mulai digunakan. Hari Minggu itu, kami baru selesai berolahraga di sekitar Senayan. Lalu melintas di depan Stasiun TVRI ketika berjalan kaki ke Warung Baso Lapangan Tembak, di seberang Hotel Mulia.
Saya kemudian berpose di depan logo baru yang terpampang di sana. Mengirimkan fotonya kepada Helmi Yahya. Teman lama yang menjadi Direktur Utama Lembaga Penyiaran Publik itu. Sambil berpesan bahwa logonya keren.
Bagi awam, logo itu mungkin terlihat sederhana. Tapi sesungguhnya sangat mewakili semangat direksi baru lembaga itu. Menggambarkan keinginan kuatnya untuk mengangkat nama besar TVRI kembali sebagai kebanggaan nasional. Bahkan saya melihatnya sebagai isyarat mereka untuk tak terusik dengan berbagai gejala tayangan komersial yang cenderung mengejar "clickbait" tanpa terlalu menghiraukan kualitas nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Sumber: Istimewa
+++
Ketika diselenggarakan proses seleksi untuk posisi Direktur Utama TVRI, saya juga mengikuti. Helmi Yahya kemudian yang terpilih; dan saya percaya dia adalah pilihan terbaik, yang bakal mampu melakukan terobosan kreatif, yang memang sangat dibutuhkan lembaga itu. Meski saya maklumi, hal tersebut pastilah tak mudah. Terutama ketika berhadapan dengan budaya dan kualitas sumber daya manusia umumnya yang ada di sana.
Di atas segala langkah terobosan yang terkait tayangan stasiun televisi publik itu, persoalan transformasi budaya dan profesionalisme para pekerjanya, adalah yang paling utama. Belum lagi peran-serta mereka yang ingin mengambil manfaat. Terutama secara "politis". Meski banyak juga yang demi kepentingan "ekonomis". Walau nilainya tak seberapa.
Sumber: Istimewa
Persoalan lain, sebaik apa pun Helmi dan kawan-kawan bekerja hari ini, mereka memang sedang berada dalam situasi yang tak bersahabat. Anggaran yang disediakan negara cekak. Sementara denyut perekonomian sedang lesu darah. Jangankan Lembaga Penyiaran Publik yang memang tak mendahulukan urusan komersial. Stasiun-stasiun televisi swasta yang hidup-matinya komersial saja, hari ini sedang pusing kepala tujuh keliling. Sebab, pengeluaran iklan dan komunikasi pemasaran adalah yang pertama dipangkas ketika ekonomi melempem.
+++
Helmi bersama direksi lain, kemudian memang membuktikan tekadnya. Mereka berupaya mengembangkan celah elegan dan terhormat untuk menempatkan diri sebagai saluran televisi publik yang berkualitas. Maka sesekali saya menyapanya. Memberi pujian atas kemajuan yang telah tercapai. Juga dukungan semangat. Sebab saya memaklumi, secara finansial Helmi Yahya pasti tak lebih makmur dibanding sebelumnya ketika dia masih malang-melintang menggagas program-program fenomenal di stasiun-stasiun televisi swasta nasional. Semua dilakukannya karena cinta dan keinginan untuk memberikan yang terbaik.
Capaian TVRI di bawah kepemimpinannya sudah tercatat dalam sejarah. Mulai dari berbagai program tayangan dokumenter mereka yang mendapat penghargaan nasional, misalnya Jelajah Kopi, dan sejumlah tayangan olahraga yang banyak diminati pemirsa. Sepakbola dan bulu tangkis termasuk di antara program-program yang mulai banyak dilirik masyarakat. Maka sepantasnya pula jika beberapa kali Helmi mengabarkan dengan bangga di akun Facebook-nya. Bahwa rating dan pangsa pemirsa beberapa tayangan di stasiun mereka, berhasil menduduki tempat terhormat dan menyingkirkan stasiun-stasiun televisi swasta nasional yang bising, heboh, tapi tak jelas manfaatnya itu.
Sumber: Istimewa
+++
Sejak hampir 20 tahun lalu, saya sebetulnya memang tak berminat lagi membicarakan soal pertelevisian. Apalagi memikirkannya. Bahkan menyaksikan tayangan televisi Indonesia saja hampir tak pernah. Dalam seminggu, mungkin tak lebih 15 menit waktu yang tak sengaja terbuang menyaksikan mereka.
Baca Juga: Helmy Yahya: Saya Tetap Dirut TVRI
Ketika ikut mengajukan pencalonan diri sebagai Direktur Utama TVRI beberapa waktu lalu itu, lebih karena dorongan beberapa teman dekat yang prihatin dengan perkembangan dunia pertelevisian kita. Apalagi saat itu sedang hangat kasus tudingan penistaan agama yang menimpa Ahok. Seandainya pun saya terpilih, saya percaya hal yang hari ini sedang dihadapi Helmi Yahya, kemungkinan besar telah menimpa saya sebelum 100 hari menduduki posisi tersebut.
Sebab saya cukup memahami diri sendiri. Seperti yang pernah saya lakukan ketika memimpin Taman Ismail Marzuki dulu. Saya memang sulit berkompromi. Maka ketika gebrakan demi gebrakan yang dilakukan, mulai menarik perhatian sejumlah kalangan, ada saja yang ingin turut naik ke panggung. Sesuatu yang sangat wajar dan sama sekali tak diharamkan. Sepanjang tak mengganggu upaya pembenahan yang sedang dilakukan.
Tapi di negara kita ini, segala sesuatu yang bersifat publik dan menggunakan anggaran pemerintah, sering lebih dikuasai oleh dengungan-dengungan yang tak jelas ujung-pangkalnya. Sekadar bising meski tak menentu maksud-tujuannya terkait dari persoalan utama yang sedang dihadapi. Sebab mereka hanya ingin ikut naik panggung. Mendapat pengakuan. Tapi kemudian tak melakukan apapun terhadap hal-hal yang justru perlu dan sangat dibutuhkan institusi untuk menghadapi krisis yang berlangsung di sana.
Maka ketika itu, saya tak berpikir panjang untuk meletakkan jabatan dalam menanggapi mereka yang hiruk-pikuk, berebut naik ke panggung. Sebab, misi sudah tercapai. Pemerintah DKI Jakarta yang sejak Reformasi 1998 bergulir mengabaikan keberadaan pusat kesenian tersebut, mau tidak mau harus memperhatikannya lagi, setelah masyarakat (seni) mulai kembali meliriknya. Termasuk membenahi mereka yang cuma bisa bising tapi tak mampu berbuat apa-apa. Buktinya, kursi pimpinan yang saya tinggalkan, kosong beberapa tahun sebelum ada yang menggantikan secara definitif.
Sumber: Istimewa
+++
Sore tadi, saya menghadiri peluncuran buku Laksmi Pamuntjak terbaru yang berjudul Fall Baby, di Kinokuniya Plaza Senayan. Dalam perjalan pulang, saya memeriksa pesan yang masuk. Di sana terselip dokumen dari Dewan Pengawas lembaga yang dipimpin Helmi Yahya itu memecatnya.
Maka saya langsung berkirim pesan kepada sahabat yang jadi Direktur Utama TVRI itu. Mengucapkan selamat dan sukses. Sebab, hasil kerja kerasnya telah berbuah nyata. Stasiun televisi plat merah yang puluhan tahun sudah terpuruk buruk itu, kini mulai dilirik masyarakat kembali. Membangunkan para petualang di sekelilingnya untuk hiruk-pikuk dan berebut naik ke panggung. Meski kemampuan mereka membenahi persoalan amat sangat diragukan. Kemungkinan besar, bukan pula untuk memberikan solusi dan jalan keluar dari krisis yang kini sedang diwariskan kepada Helmi Yahya dan direksi yang lain.
Sumber: Istimewa
Lucunya, setelah membaca detail alasan Dewan Pengawas untuk memberhentikannya di surat itu, mereka justru mempersoalkan tentang "rebranding" yang berkait erat dengan logo yang saya kagumi di awal tadi. Juga program dokumenter yang telah terbukti berhasil mengukuhkan kembali peran dan fungsi TVRI. Apalagi kemarin program itu telah mendapat penghargaan Dokumenter Terbaik Piala Presiden 2019.
Lebih lucu lagi, apa yang tertuang dalam surat Dewan Pengawas yang ditanda-tangani ketuanya, Arief Hidayat Thamrin--mantan karyawan Metro TV yang saat pemilihan di DPR tahun 2017 memperoleh suara terendah kedua dari 5 yang terpilih--menyiratkan tudingan kesalahan yang disangkakan kepada Helmi Yahya sebagai hal yang final dan cukup berdasar untuk menjatuhkan sanksi.
Helmi Yahya memang sudah melakukan perlawanan terhadap kekonyolan itu. Dia telah berkirim surat balasan yang menolak sangkaan pelanggaran yang disebutkan. Langkah bagus juga agar DPR berinisiatif. Pertama, mengevaluasi kembali kepantasan kapasitas dan kemampuan Dewan Pengawas sekarang untuk menduduki jabatan tersebut. Kedua, meninjau ulang dan melakukan revisi UU dan Peraturan Pemerintah yang ada agar para profesional yang sungguh-sungguh ingin bekerja dan membenahi lembaga itu--seperti yang ada saat ini--tak mudah diganggu para petualang yang tak jelas maksud dan tujuannya.
Status kali ini memang sengaja saya tulis dengan bahasa lugas dan apa adanya. Sebab kekonyolan persoalan yang ditimpakan kepada Helmi Yahya itu, terlalu amat sederhana.
5 Desember 2019.
Catatan: Dulu, ketika TVRI masih menayangkannya, iklan komersial ditempatkan pada segmen khusus dengan grafis pembuka (bumper) bertuliskan "Mana Suka Siaran Niaga". Judul di atas terinspirasi sejarah ini.
BACA JUGA: Cek BIOGRAFI, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.