Catatan Asro Kamal Rokan
Ceknricek.com - DAWAM RAHARJO telah tiada. Cendekiawan muslim itu wafat Rabu (30/5) malam di RS Islam Jakarta. Sejak tahun lalu, Mas Dawam — begitu sapaan akrabnya — menderita diabetes, jantung, dan stroke.
Kabar wafatnya Mas Dawam segera menyebar di jejering sosial. Banyak yang terkejut dan bahkan tidak percaya. Selama beberapa tahun terakhir ini, Mas Dawam — dilahirkan di Solo, 20 Appril 1942 — jarang mucul di publik. Terakhir, saya bertemu pada pemakaman Pak Adi Sasono, Agustus 2016. “Kondisi Bapak terus menurun dalam beberapa bulan ini karena penyakit diabetes,” kata Jauhar Rahardjo, putra kedua Dawam.
Saya mengenal Mas Dawam di Republika, 1995. Bersama Mas Adi Sasono (alm), Pak Soetjipto Wirosardjono, dan sesekali Pak Amien Rais, hadir dalam rapat-rapat redaksi. Mereka memberi masukan dan informasi tentang berbagai hal, terutama politik dan ekonomi kepada kami yang junior. Mas Dawam, seorang yang suka mendegar dan sanggat menghargai pemikiran orang lain.
Jauh sebelum di Republika dan Ikatan Cendekiawan Muslim se Indonesia (ICMI), nama Mas Dawam sudah dikenal. Kalangan akademisi, mahasiswa, tokoh-tokoh poltik, dan kelompok-kelompok strategis mengenal pemikiran-pemikiran politik ekonomi Mas Dawam pada 1970-an melalui jurnal bulanan sosial dan ekonomi, Prisma, yang diterbitkan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).
Jurnal yang dipimpin Mas Dawam ini menjadi referensi dan bacaan kalangan intelektual. Analisis dan pemikiran jurnal ini selalu kritis. Dan, ini tidak disukai rezim Orde Baru. Bahkan, jurnal ini dianggap menyebarkan paham kiri. Pada April 1983, Mas Dawam, Ismid Hadad, dan Daniel Dhakidae diterogasi Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Mungkin ini juga salah satu faktor, Mas Dawam tidak diperkenankan Departemen Penerangan, menjadi pemimpin redaksi Republika.
Mas Dawan pendiri LP3ES bersama Adam Malik, Bintoro Tjokroamidjjo, Dorojatun Kuntjorojakti, Emil Salim, Koentjoroningrat, Selo Soemardjan, Soetjipto Wirosardjono, Sumitro Djojohadikusumo, Taufik Abdullah, dan Umar Kayam. Lembaga swadaya masyarakat ini bergerak dalam penelitian, studi kebijaksanaan dan riset aksi terutama yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat bawah.
****
MAS DAWAM intlektual muslim yang dikenal kritis. Sebagai salah seorang pemimpin Muhammadiyah, Mas Dawam bisa berbeda pendapat dengan organisasinya, terutama dalam membela prinsip-prinsip kesetaraan. Atas konsistensinya membela kelompok-kelompok minoritas, di antaranya Ahmadiyah, Dawam dianugerahi penghargaan HAM Yap Thiam Hien pada 2013. Namun itu pula yang memicu konflik di antara pengurus pusat Muhammadiiyah. Dawam akhir mundur.
Mas Dawam aktif mendirikan ICMI, antara lain bersama Pak BJ Habibie, Mas Adi Sasono, Pak Amien Rais, dan Imaduddin Abdulrahim. Organisasi cedekiawan ini sempat dianggap sektarian oleh pengritiknya. Namun Mas Dawam tidak peduli. Dia ingin mendorong umat Islam bangkit, terpandang, dan mandiri. Melalui ICMI, Mas Dawam menggagas pendirian bank syariah dan membidani Baitul Mal Wat Tamwil (BMT).
Beberapa karya analisa dan buku Mas Dawam, antara lain Esai-Esai Ekonomi Politik (1983), Deklarasi Mekah: Esai-Esai Ekonomi Islam (1987), Etika Bisnis dan Manajemen (1990), Habibienomics: Telaah Pembangunan Ekonomi (1995), Paradigma Alquran: Metodologi dan Kritik Sosial (2005), Nalar Politik Ekonomi Indonesia (2011), Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa, Masyarakat Madani, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial.
Walau tidak jarang pemikirannya memicu kontroversi, namun Mas Dawam adalah tokoh yang mewarnai alam pikiran Islam Indonesia modern. Pemikiran dan sosok Mas Dawam banyak mewarnai pemikiran intelektual muda berikutnya di antaranya Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Din Syamsuddin, Bahtiar Effendy, Budhi Munawar Rahman, dan lainnya.
Beberapa jam setelah wafat, di jejaring sosial cerita pendek Mas Dawam berjudul Wirid, yang dimuat di Kompas, 16 Oktober 1994, beredar dan viral. Bahasanya indah, daya lukisnya kuat, dan romantis.
“Aku mengecup kedua mata istriku yang terakhir kalinya ketika jenazahnya hendak digotong ke masjid sebelah, hendak disalatkan. Bulu matanya terasa di bibirku, seolah ia masih hidup".
Itulah kalimat terakhir cerpen Wirid karya Mas Dawam, yang ditulisnya pada 10 Oktober 1994, setelah istrinya, Zainun Hawairiah, wafat. Mas Dawam sangat mencintai istrinya, Zainun.
"Ia adalah seorang istri yang sederhana, seorang yang rajin beribadah. Ia selalu menungguiku ketika menulis di waktu malam, walaupun sering tertidur di depan TV atau di samping radio,” tulis Dawam dalam kata pengantar buku karyanya berjudul Ensiklopedi Alquran (2002). Pada buku itu, Dawam menyebut tiga wanita, Mutmainnah (ibunya), Zainun (almarhumah istrinya), dan Sumarni (istri Dawam yang dinikahi pada 17 Maret 1995).
Mas Dawam — lelaki berwajah bersih dan suka berpakaian rapi — itu telah pergi selamanya, menyusul ibu, istri, dan orang-orang yang dicintainya. Almarhum meninggalkan banyak warisan: buku-buku, karya ilmiah, keteladanan, dan cintanya...
Selamat jalan Mas Dawam. Setiap orang punya giliran untuk pergi memenuhi janjinya ...