Ceknricek.com--Saya menerima undangan digital dari teman Nasihin Masha. Beliau dulu Pemimpin Redaksi Koran Republika. Tapi belakangan dia aktif menjadi staf khusus Pak Rachmat Gobel sebagai Pimpinan DPR. Karena Nasihin aslinya penulis maka tidak kaget, ketika mendampingi Pak Rachmat, keluarlah buku yang berjudul Praksis Pancasila: Pengamalan Ideologi di Perusahaan Gobel. Saya belum tahu apa isi dari buku itu. Tapi tebakan saya isinya bagaimana Perusahaan milik keluarga Gobel bertindak sebagai Perusahaan yang pancasilais. Apa makna pancasilais dalam buku itu. Nanti kita tunggu bukunya.
Saya tinggal di daerah terpencil wilayah Garut Selatan bernama Pameungpeuk. Tempat saya, kenapa dibilang terpencil, dibesarkan ini berjarak 84 kilometer dari kota Garut atau sekitar 140 kilometer dari kota Bandung. Laut kami, Pantai Santolo, langsung berbatasan dengan Australia. Makanya Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional atau LAPAN memilih tempat kami menjadi lokasi yang cocok buat peluncuran roket percobaan. Karena langsung berhadapan dengan laut lepas. Makanya ketika ada acara peluncuran ini wisata ke Pantai Santolo diliburkan.
Ketika saya kecil satu-satunya alat untuk menambah pengetahuan buat saya adalah sebuah radio kecil. Dengan radio ini saya bisa mendengarkan siaran dari seluruh dunia. Saya bisa mendapatkan informasi yang aktual karena radio kecil saya itu. Dan siarannya pun hanya bisa mendengarkan pakai gelombang pendek atau short wave (SW). Karena Medium Wave atau MW tidak bisa menangkap. Jadi hanya yang bersiaran SW saja yang bisa saya dengarkan. Dan itu adalah Radio Republik Indonesia atau RRI dan radio-radio luar negeri seperti BBC London, Radio Australia, VOA America, Radio Belanda, Radio Jerman dan lain-lain. Dari sinilah saya menambah pengetahuan.
Jangan tanya Televisi Republik Indonesia atau TVRI. Kampung kami belum bisa menyetel televisi karena belum ada Listrik. Pernah ada tetangga saya mendapatkan hadiah undian televisi dari rokok Djarum. Tapi televisi itu tidak bisa diapa-apakan. Akhirnya, yang bisa dilakukan, televisi itu dibawa keliling kampung karena banyak orang yang ingin melihat ini barang. Pokoknya dimanapun televisi itu berada selalu jadi tontonan yang mengagumkan buat Masyarakat kampung kami. Dan mereka cukup puas dengan melihat wujud bentuk televisi ini. Mereka hanya bisa membayangkan bagaimana televisi ini menyajikan tontonan.
Radio kami bermerek Cawang. Dia Berjaya pada waktu itu karena menggunakan batu beterai. Sehingga dari radio Cawang inilah saya mendapatkan informasi sekaligus hiburan. Saya tahu persis jadwal kapan radio-radio gelombang SW ini bersiaran berita atau lagu-lagu. Atau ada juga siaran drama-drama yang saya tunggu. Bahkan RRI Bandung saat itu sudah mulai menyiarkan dongeng Sunda. Tapi jadwalnya seminggu sekali.
Jadi di Tengah-tengah minimnya saluran informasi saya menjadi orang kampung yang berpengetahuan luas. Sehingga pelajaran-pelajaran Ilmu sosial saya pasti sepuluh. Sebagai anak sekolah dasar saya bisa mengobrol dengan orang yang datang dari kota. Dan mereka kaget. Kok pengetahuan saya luas sekali dan aktual. Bukan saja isu-isu dalam negeri. Perkembangan di belahan dunia lain pun saya cukup ngelotok.
Radio Cawang kami nyaris tidak pernah mati. Kecuali ketika saya lagi sekolah. Dia selalu menemani kami siang dan malam. Kecuali kalau sudah larut malam. Giliran ayah saya mendengarkan hiburan-hiburan malam karena saya tidak boleh tidur terlalu malam. Dan saya pun harus belajar sampai pukul 21.00. Karena pukul 22.00 lampu petromaks akan segera dimatikan diganti lampu “teplop” atau penerangan yang hanya alakadarnya. Sulit dipakai belajar. Sedangkan kalau pakai lampu petromaks terus menerus tidak kuat minyak tanahnya.
Kalau malam minggu Radio Cawang kami akan dibawa ke halaman rumah. Karena Masyarakat kampung kami ingin mendengarkan siaran wayang golek dari RRI Bandung. Radio di kampung kami merupakan barang mewah. Hanya orang kaya, seperti keluarga saya, yang memiliki radio itu. Jadi Radio Cawang itu bukan hanya bermanfaat buat keluarga saya tapi juga orang kampung kami yang haus hiburan.
Pernah insiden agak serius terjadi gara-gara Radio Cawang kami. Ketika itu Masyarakat kampung kami sudah berkumpul di halaman rumah untuk mendengarkan siaran wayang golek dari RRI Bandung. Ini biasa malam minggu. Mereka menggelar tikar di halaman rumah kami. Bahkan mereka bawa bekal masing-masing dari rumah. Pokoknya ini hiburan yang ditunggu-tunggu oleh Masyarakat kami seminggu sekali. Setelah ditunggu-tunggu sampai larut malam siaran wayang golek tidak muncul-muncul.
Rupanya RRI Bandung mengganti siaran acara wayang goleknya dengan acara lain. Masyarakat protes ke keluarga kami yang menganggap kesalahan ada di pemilik Radio Cawang. Susah juga menjelaskannya ke mereka. Akhirnya mereka bubar juga tapi dengan ketidakpuasan kepada keluarga kami. Malam minggu berikut halaman rumah kami sepi. Karena saya dengar mereka pindah mendengarkan wayangnya di pemilik Radio Cawang yang satu lagi. Dan itu adalah kakak Ibu saya. Artinya menurut tetangga kampung saya Radio Cawang saya tidak ada wayang goleknya.
Saya ingat betul. Ketika acara berbuka puasa. Anak-anak akan menunggu untuk berbuka di depan rumah saya. Karena akan menunggu komando Bapak saya untuk memukul bedug sebagai tanda masuk maghrib. Salah satu pedoman waktu magrib Bapak saya adalah RRI Bandung. Jadi menjelang magrib pasti Bapak saya akan ditemani siaran dari Radio Cawang kami.
Ketika mulai remaja saya baru tahu bahwa Radio Cawang atau Tjawang, kalau ejaan lama, dibuat oleh pabrik yang didirikan oleh keluarga Drs. Thayeb Mohammad Gobel. Radio ini dibuat atas idealisme beliau untuk menghadirkan sarana komunikasi di Indonesia. Maka terciptalah radio transistor pertama bermerek Tjawang. Inilah radio transistor pertama di republik ini.
Jadi pada tahun 1950 Pak Gobel ini mendirikan PT Transistor Radio Manufacturing co. di Kawasan Cawang Jakarta Timur. Perusahaan inilah yang memproduksi radio transistor Cawang. Radio Cawang inilah yang menjadi alat pemersatu bangsa karena bisa diputar di seluruh penjuru tanah air karena memang memakai golombang pendek alias SW. Dan hanya menggunakan baterai sehingga bisa diputar di kampung-kampung yang belum dialiri Listrik seperti kampung saya.
Ada yang menarik ketika Presiden Soekarno bertanya kepada Thayeb Gobel. Mengapa memilih usaha radio transistor? Jawaban Thayeb Gobel,” Supaya pidato Bapak Presiden dapat sampai kepada orang-orang desa yang jauh terpencil di kaki gunung dan pulau-pulau meskipun belum ada Listrik.” Tentu saja ini membuat Presiden Pertama RI ini terkagum-kagum dengan idealisme Gobel. Waktu itu Gobel membuktikan idealismenya dengan memproduksi sejuta Radio Cawang di tahap pertama.
Keberadaan radio transistor Cawang ini telah mengubah gaya hidup Masyarakat Indonesia saat itu. Orang-orang di seluruh penjuru tanah air dan daerah-daerah terpencil dapat menyimak apa yang terjadi di belahan bumi yang lain. Mereka bisa mendengarkan ketika Presiden Sukarno berpidato berapi-api mengobarkan semangat kebangsaan. Inilah alat dan saluran komunikasi satu-satunya yang bisa menyampaikan pesan-pesan ke seluruh penjuru Indonesia pada saat itu. Termasuk ke kampung saya.
Kata Cawang sendiri, ketika saya hijrah ke Jakarta, baru tahu bahwa itu nama Kawasan di Jakarta Timur tempat Perusahaan Gobel Group berkantor. Apakah merek Cawang itu ada kaitan dengan Kawasan Cawang? Tapi rupanya kata Cawang itu tidak ada hubungan dengan Kawasan di Jakarta Timur itu. Cawang itu singkatan dari “cari uang”.
Pada tahun 1970 Thayeb Gobel, melalui PT National Gobel, melakukan kerjasama dengan Perusahaan Jepang yaitu Matsushita Electric Industrial .co. Dari sinilah produk-produk National Gobel pun berkembang ke berbagai kebutuhan elektronik lain seperti yang kita kenal sekarang ini. Mereknya pun berubah menjadi Panasonic.
Belakangan saya, sebagai wartawan, mengenal pendiri Gobel itu yang sudah diganti oleh anaknya yaitu Rachmat Gobel. Beberapa kali saya mendapatkan kehormatan untuk berkunjung ke Jepang bahkan beberapa negara atas undangan Pak Rachmat Gobel. Jadi ketika Nasihin Masha mengundang saya via whatsApp untuk peluncuran buku tentang pengamalan Pancasila di perusahan Group Gobel. Saya jadi teringat Radio Cawang kami.
Ingin rasanya mengucapkan terima kasih kepada keluarga Gobel yang telah menjadi juru penerang masa kecil saya sehingga bisa menjadi wartawan. RRI menjadi layak sebagai pemersatu bangsa setelah ada Radio Cawang ini. Kalau tidak ada Radio Cawang siapa yang akan mendengarkan siarannya. Inilah peran strategis Radio Cawang sebagai pemersatu bangsa. Bukankah ini nilai pancasilais dari Radio Cawang. Bravo Gobel dan Bravo Radio Cawang.
#Nurjaman Mochtar/ Wartawan Senior/ Dewan Pakar PWI Pusat
Editor: Ariful Hakim