Megawati akhirnya keluar juga dari "sarangnya", setelah sekian lama berdiam diri. Ia bicara soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang membuat Gibran lolos jadi cawapres Prabowo. Sambil membaca teks (kelihatan dari intonasi dan raut mukanya yang kaku), Mega menuduh manipulasi hukum sudah mulai terjadi untuk kepentingan penguasa. Mega juga menyuruh pendukungnya untuk mengawal pemilu agar tidak curang.
Bisa dibilang inilah "gong"nya. Alur ceritanya terlihat rapi jali. Di mulai dari Ganjar yang memilih baju hitam daripada baju garis garis hitam putih usulan Jokowi, sebagai identitasnya. Berikutnya Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, yang mengaku prihatin, sedih, tidak menyangka bakal dikhianati oleh Jokowi, yang sudah diberi karpet merah oleh PDIP.
Adian Napitupulu bahkan lebih blak blakan. Ia merinci, PDIP sudah memberikan banyak rekomendasi ke Jokowi, anak dan menantunya. Dari mulai jadi walikota Solo, Gubernur Jakarta hingga kursi presiden. Begitu pula pada Gibran dan Bobby, anak dan mantu Jokowi, yang menjabat walikota Solo dan Medan.
"Semuanya kita kasih. Cuma pas dia (Jokowi) minta tiga periode saja kita tolak. Ini menyangkut konstitusi negara,"kata Adian.
Menariknya, dalam sebuah tayangan video tiktok, begitu Adian ngomong "kita tolak", bersambung kemudian video ia dengan suara keras membela Jokowi, saat ada tuduhan Jokowi ingin jabatannya diperpanjang.
"Tidak benar Pak Jokowi minta 3 periode. Nggak ada dia bilang begitu. Dia bahkan bilang taat pada konstitusi,"ujar Adian.
Sesepuh PDIP Panda Nababan bahkan "main fisik" untuk mengungkap kejengkelannya pada Jokowi. Ia menyebut "si kurus" (merujuk pada tubuh Jokowi yang kurus) yang disosialisasikan PDIP, sebelumnya tidak dikenal masyarakat. Kata Panda, tanpa PDIP yang mengenalkan ke masyarakat, "si kurus" tidak bakal jadi presiden.
Calon Presiden Ganjar Pranowo lebih miris lagi. Jika sebelumnya puja dan puji setinggi Gunung Himalaya seperti tidak ada cela pada Jokowi, sekarang apapun hasil karya Jokowi, dikritik. Sikapnya berubah 360 derajat. Ganjar seolah ingin "mengambil" ceruk pemilih yang selama ini disasar Anies Baswedan, sebagai antitesa Jokowi.
Dari semua orkestrasi yang kemudian ditutup dengan pidato Megawati, ada kecenderungan mereka sedang bermain playing victim -ingin kelihatan jadi korban agar simpati masyarakat nongol. Mereka tidak sadar (atau sengaja lupa), dulu ketika Anies bicara soal netralitas, kubu Ganjar cs kerap membully-nya. Sekarang PDIP berulang ulang minta supaya Jokowi netral.
Kasus pencopotan spanduk PDIP oleh satpol PP jelang kedatangan Jokowi ke Bali misalnya, diprotes keras. Begitu juga kasus serupa di Sumatera Utara. Di Jawa Timur, ada tuduhan oknum aparat ikut memasang bendera Prabowo dan Gibran. Patroli polisi di kantor PDIP Solo pun, dikeluhkan sebagai intervensi dan "tekanan".
Melihat semua ratapan itu, anak muda zaman sekarang mungkin akan bilang,"Capek deh".Tapi apakah semua strategi playing victim itu berhasil menarik simpati masyarakat pada pasangan Ganjar-Mahfud? Inilah yang mesti kita cermati dari hasil survei.
Pendiri lembaga survei Indo Barometer, Mohamad Khudori, mencoba membedah trend ini dalam sebuah podcast baru baru ini. Dari 7 lembaga survei terakhir, hanya Charta Politika yang menempatkan Ganjar-Mahfud diurutan pertama. Itu pun selisihnya dengan Prabowo-Gibran masih di angka margin of error alias belum bisa dipastikan siapa yang unggul. Charta Politika adalah lembaga konsultan Ganjar. Enam lembaga survei lain, Ganjar-Mahfud kalah.
Survei Lembaga Survei Indikator Politik hari Minggu, 12 November 2023, jarak antara Prabowo-Gibran dan Ganjar-Mahfud semakin jauh. Jika pilpres berlangsung dua putaran, pasangan Ganjar-Mahfud bahkan bakal berebut tempat untuk lolos ke putaran kedua dengan pasangan Anies-Cak Imin. Sabtu (11/11/23) sebelumnya, Indo Barometer merilis hasil survei hampir serupa. Ganjar tercecer dari Prabowo.
Jika melihat rekam jejak Charta Politika di ajang pilkada DKI Jakarta 2017, seminggu sebelum hari H pencoblosan, memprediksi Ahok-Djarot bakal menang melawan Anies-Sandi, semua faham lembaga survei ini memang sudah jadi alat penggalangan opini. Beda dengan Saiful Mujani Research Center (SMRC) yang juga konsultan politik Ganjar, lebih hati hati bermain angka.
Melihat angka angka itu, ditambah pilpres yang sudah dekat, Mega tampaknya sedang panik. Indikator Politik menyebut, pendukung Jokowi di 2019, kini mayoritas beralih dukungan ke Prabowo, membuat suara Ganjar makin gembos. Bayang bayang kekalahan yang sebelumnya ditepis dengan kampanye "menang satu putaran" inilah, yang membuat kubu PDIP seolah menjilat ludah sendiri.
Apalagi, serangan gencar PDIP terhadap Jokowi, dari hasil survei, selain menguntungkan Prabowo, juga membuat suara Anies-Cak Imin malah naik. Dari sini, bisa diduga, strategi "playing victim" itu sudah gagal. Meski PDIP menurut survei bisa memenangkan pemilu, jika paslon Ganjar-Mahfud keok, akankah Megawati bakal mengambil peran sebagai oposisi, seperti saat SBY 10 tahun berkuasa? Kita lihat nanti...!
Meruya, 13 November 2023
Editor: Ariful Hakim