Ceknricek.com -- Perasaan Firman Soetjahja masih tak menentu ketika malam itu ia menghadari resepsi para eksekutif Standard Chartered Bank (SCB). Hatinya diliputi kebimbangan. Sampai malam itu, belum jelas benar status mengenai kelanjutan rencana kemitraan SCB-Bank Bali. Di sisi lain, batas waktu due diligence SCB di Bank Bali sudah berakhir.
Sebagai Wakil Dirut Bank Bali, Firman harus datang mewakili manajemen bank tersebut, karena Rudy Ramli sebagai Dirut sedang menghadiri pelantikan Kepala Staf Angkatan laut (KSAL) yang baru di Surabaya.
Lebih dari itu, ia juga diminta oleh salah seorang pemegang saham pengendali Bank Bali, Herman Ramli, untuk melaporkan situasi terakhir. Herman sendiri, tidak begitu antusias dengan undangan resepsi.
Malam itu, 22 Juli 1999, Firman pun mendatangi Ballroom Hotel Shangri-La tempat resepsi untuk menyambut kedatangan Grup CEO SCB Rana Talwar. Ia tiba di tempat itu sebelum acara dimulai pada pukul 18.30 WIB.
Memasuki ruangan resepsi, Firman melihat seluruh petinggi SCB di Indonesia datang. Ratusan manajer senior baik yang berasal dari SCB maupun Bank Bali pun diundang. “Saya mendampingi bos saya, Komisaris Utama Bank Bali Pak J.B. Sumarlin. Kami ditempatkan di sebuah meja khusus bersama dengan Mr. Rana Talwar,” ujar Firman mengenang. Para direktur dan para manajer Bank Bali ada di meja yang lain. Mereka duduk berbaur dengan para eksekutif senior lainnya dari SCB.
Cerita Firman ini dituangkan dalam buku berjudul “Menggugat Pengambilalihan Bank Bali” yang ditulis Ichsanuddin Noorsy dan Haryo Prasetyo. Menurut Firman, tema utama yang disampaikan SCB dalam resepsi, adalah penyampaian pernyataan bahwa SCB akan menjadi pemimpin dalam pengelolaan Bank Bali setelah SCB resmi masuk. Namun tidak dinyatakan bentuk konkrit dan rinci mengenai hal tersebut.

Sumber: KPK
Tidak ada pernyataan apa-apa tentang bentuk dari kemitraan yang semestinya sudah harus dikonkretkan. Mr. Rana Talwar dalam acara resepsi hanya mengatakan bahwa seluruh karyawan Bank Bali akan sangat difungsikan untuk memajukan Bank Bali. Yang ditegaskan adalah bahwa malam itu merupakan malam perayaan, celebration. Artinya, sebuah malam perayaan setelah dua organisasi, SCB dan Bank Bali, berhasil bergabung, kemudian setelah itu ke depan akan bersama-sama memajukan Bank Bali.
Mendengar pernyataan itu, Firman pun sejenak terlepas dari perasaan galau akibat ketidakpastian status kemitraan investasi SCB di Bank Bali. Ia pun berupaya ikut melarutkan diri dalam suasana resepsi.
Setelah Rana Talwar berpidato, acara dilanjutkan dengan makan-makan dan minum-minum sambil berbincang-bincang di antara para hadirin dalam resepsi tersebut. Firman mengikuti irama resepsi dengan berbaur, mencicipi hidangan serta minuman yang tersaji.
Suasana meriah mendominasi Ballrom Hotel Shangri La. Gelak tawa terdengar mengikuti dentingan gelas-gelas yang berpadu setelah toastminuman dilakukan. Kekakuan suasana mencair dan ekspresi kegembiraan pun mulai terbangun.
Bank Bali Dinyatakan BTO
Di tengah suasana resepsi, sebuah telepon berdering. Kala itu Firman tengah menikmati hidangan makan malam.
“Saya dipanggil keluar oleh staf saya untuk menerima telepon. Setelah saya angkat ternyata telepon itu berasal dari staf saya yang sengaja saya minta stand by di kantor untuk berjaga-jaga bila ada perkembangan di menit-menit terakhir. Hartati Salim, kepala bagian accounting Bank Bali ketika itu yang saya tugaskan,” turur Firman.
Di balik telepon, sebuah suara dengan nada panik melapor. “Pak, baru saja orang BI (Bank Indonesia) menelepon. Mereka bilang Bank Bali dinyatakan BTO (Bank Take Over).”
Ibarat disambar petir yang meledak di siang bolong, Firman syok. Ia tidak memercayai apa yang dilaporkan stafnya itu, namun Hartati terus berbicara. “Bukan hanya kabar BTO yang mendadak, Hartati juga menyampaikan bahwa berita itu disampaikan dengan cara yang sangat kasar. Antara lain adalah bahwa saya beserta jajaran manajemen dan pemegang saham dilarang masuk kantor mulai hari itu juga," papar Firman.
“Saya juga dilarang mengambil barang-barang apa pun di kantor saya sendiri. Ibarat penyidikan polisi, ruangan kantor saya sudah diberi garis pita kuning. Nggak ada orang yang boleh masuk ke ruangan itu lagi. Coba bayangkan pada waktu itu bagaimana perasaan saya. Sejak itulah, saya benar-benar tidak pernah masuk kantor Bank Bali lagi hingga hari ini.”
Selain syok, Firman juga dilanda rasa marah dan sakit hati yang hebat. “Saya bertanya-tanya dalam hati, apakah keputusan Bank Indonesia malam itu sudah diketahui oleh orang-orang SCB yang mengundang resepsi ini? Perasaan saya, mereka semua pasti sudah tahu. Orang-orang ini bajingan. Perasaan saya waktu itu, saya ingin 'bunuh' orang-orang ini. Ibaratnya begitu, saking marahnya.”
Setelah menerima telepon itu, Firman kembali masuk ke ruangan resepsi. Seleranya sudah hancur. “Sebenarnya saya ingin meninggalkan resepsi dan bergegas pulang. Namun, karena memandang muka bos saya Pak Sumarlin, dengan perasan remuk, saya tetap berada di mangan pesta.”
Dengan berbisik, Firman pun memberitahukan kabar pem-BTO-an Bank Bali itu kepada Sumarlin. Mendengar kabar dari Firman, Sumarlin tidak bereaksi. "Saya kasih tahu beliau. Namun, wajah beliau tidak menunjukkan perubahan apa pun. Padahal saya sudah merasa tidak tahan. Mungkin, karena beliau politikus yang ulung, sudah berpengalaman menghadapi situasi sulit seperti itu,” kata Firman. Bisa juga karena Sumarlin sudah mengetahui sebelumnya.
Firman juga melaporkan kabar itu kepada Herman Ramli melalui telepon. Bahwa keputusan dari Bank Indonesia adalah seperti itu. Pembicaraannya dengan Herman berlangsung cukup panjang, tetapi itu tidak mampu menghapus kemarahannya yang demikian mendalam.
Ia pun menyimpan perasaan itu berbulan-bulan lamanya hingga suatu hari, ketika ia merasa telah menemukan waktu dan momentum yang tepat untuk mengekspresikannya dalam sebuah surat kepada pihak SCB, yaitu Patrick Gillian, Komisaris Standard Chartered Bank, London.
Surat BTO dari BI
Tanggal 13 Juli 1999 menjadi momentum paling kelabu bagi jajaran direksi, Dewan Komisaris, dan pemegang saham pengendali, serta seluruh karyawan Bank Bali lama. Itu adalah hari yang sangat mengejutkan sekaligus menyakitkan.
Sesuai dengan undangan yang diterima melalui telepon pada hari sebelumnya, Firman yang mewakili manajemen beserta para pemegang saham Bank Bali pun memenuhi undangan Bank Indonesia dengan agenda pembahasan program rekapitalisasi bank tersebut.
Setelah mengetahui bahwa Bank Bali telah di-BTO-kan oleh BI, Firman sudah tidak bersemangat untuk menghadiri pertemuan itu. Namun, ia tetap datang untuk mewakili Manajemen Bank Bali.
Di ruang rapat Deputi Gubernur Bank Indonesia Subarjo Joyosumarto keputusan penting tentang masa depan Bank Bali itu kembali dipertegas. Menurut Rudy Ramli, Subarjo adalah salah satu tokoh pemeran pembantu dalam “drama” Bank Bali.
Agenda pertemuan di ruang Deputi Gubernur BI tersebut semata untuk menekankan status baru Bank Bali. Dalam rapat tidak ada lagi agenda untuk membahas rencana penandatanganan kesepakatan Rekapitalisasi Bank Bali dengan SCB dan BPPN. Yang ada hanyalah pemberitahuan resmi.
Adalah Subarjo Joyosumarto yang memimpin rapat itu. Dokumentasi karyawan Bank Bali yang tidak terkonfirmasi menyebut Subarjo membuka rapat dengan sikap enteng dan tertawa-tawa. “Kabar gembira! Bank anda telah di-BTO,” katanya.
Menyusul pemberitahuan lisan tersebut, sebuah surat resmi yang ditandatangani oleh Gubernur BI, ketika itu, Syahril Sabirin pun diterbitkan. Bersamaan itu, kendali Bank Bali pun beralih dari manajemen dan pemegang saham pengendali bank tersebut kepada BPPN. Untuk menjalankan kepengurusan Bank Bali, BPPN kemudian membentuk Tim Pengelola untuk melaksanakan fungsi pengurusan atas PT Bank Bali Tbk.
Hal yang mengejutkan, BPPN menunjuk para ekspatriat SCB sebagai Tim Pengelola Bank Bali. Tim tersebut mulai bekerja 26 Juli 1999.