Menempatkan Kembali Polisi ke Koridor Demokrasi (2) | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Istimewa

Menempatkan Kembali Polisi ke Koridor Demokrasi (2)

Ceknricek.com--Di Nigeria dan Kenya, polisi juga tercatat telah menggunakan kekuatan mematikan ketika memberlakukan pembatasan pandemi Covid-19.Padahal, jika kita merujuk pada The UN Code of Conduct for Law Enforcement Officials (Kode Etik PBB untuk Aparat Penegak Hukum), yang telah diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1979, petugas polisi hanya boleh menggunakan kekerasan sebagai upaya terakhir.

Polisi AS secara hukum hanya bisa menggunakan kekuatan mematikan jika mereka dalam posisi terancam atau bahaya. Hukum Kanada juga memiliki ketentuan serupa. Sementara itu, European Convention on Human Rights (ECHR, atau Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia), yang telah diratifikasi oleh empat puluh tujuh negara, juga mengizinkan penggunaan kekuatan hanya ketika “benar-benar diperlukan” saja, di mana pengaturan lebih lanjut mengenai hal itu diatur ketat oleh masing-masing negara.

Misalnya, polisi di sebagian besar negara Eropa dilarang untuk memiting leher.Namun, sebagaimana yang telah disinggung di muka, penggunaan kekerasan dan kekuatan mematikan, kini kian lazim digunakan oleh aparat kepolisian di manapun.

Polisi sebagai Aparat Demokrasi

Masyarakat modern secara umum memerlukan polisi untuk menjaga ketertiban serta mengendalikan tingkat kejahatan. Apalagi di tengah masyarakat yang heterogen, arti polisi jadi kian penting. Dalam posisi itu, maka polisi sebenarnya merupakan elemen sentral, baik di dalam masyarakat demokratis maupun di tengah sistem otoritarian.

Faktor pembeda antara keduanya hanyalah pada bagaimana cara keduanya beroperasi. Dalam sistem demokrasi, cara kerja polisi tunduk kepada tiga prinsip. Pertama, tunduk pada supremasi hukum, bukan tunduk kepada kekuasaan. Kedua, mengintervensi kehidupan warga negara hanya dalam keadaan terbatas dan dikontrol. Dan ketiga, akuntabilitas.

Polisi harus tunduk kepada supremasi hukum karena mereka diberi mandat oleh hukum untuk menggunakan kekerasan secara legal, termasuk untuk merampas kebebasan warga negara. Tanpa ada supremasi hukum dan akuntabilitas, bisa dipastikan akan terjadi penyelewengan.

Kekuasaan polisi untuk menggunakan kekerasan, melakukan pengawasan, menggeledah, atau menangkap warga, dapat digunakan bukan untuk kepentingan hukum, melainkan untuk kepentingan kekuasaan. Itu sebabnya, tiap kali rezim-rezim otoritarian tumbang, tuntutan yang paling mengemuka biasanya adalah penghapusan polisi rahasia. Hal ini menunjukkan jika polisi bisa menjadi instrumen sentral otoritarianisme. (Bersambung)


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait