Mengantung Nasib Militan ISIS  | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Sumber: Istimewa

Mengantung Nasib Militan ISIS 

Ceknricek.com -- Hampir setahun, nasib ratusan orang eks militan Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS) asal Indonesia terkatung-katung. Mereka ingin kembali ke Tanah Air, namun tak bisa. Sebagian mereka adalah perempuan yang mengikuti suaminya, juga anak-anak yang ikut kedua orang tuanya. Mereka hidup di kamp-kamp tahanan sejak benteng terakhir kekhalifahan ISIS di Baghouz, Suriah, jatuh. 

Pada pertengahan tahun lalu, Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) nyaris memutuskan akan memulangkan mereka ke Tanah Air. Politik lalu berubah. KIB bubar digantikan Kabinet Indonesia Maju atau KIM. Kini mereka menanti kelanjutan nasibnya.

Kecenderungan sikap pemerintah sudah mulai tampak. Pemerintah Indonesia akan membiarkan mereka tanpa warga negara. Siapa suruh jadi tentara ISIS. "Kalau Anda tanya ke saya, Mahfud, saya enggak setuju dipulangkan. Itu ngaco!" sergah Mahfud MD kepada kepada wartawan di kantor Kemenko Polhukam, Rabu (5/2). Itu pendapat pribadi Mahfud. Sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud berujar dirinya akan mendengar pendapat pihak lain.

Sumber: Antaranews

Mahfud mengatakan pemerintah tak mau terburu-buru memutuskan memulangkan mereka. Perlu kajian mendalam sebelum memutuskan, termasuk untung dan ruginya. "Pilihannya dipulangkan atau tidak karena ada mudaratnya juga," katanya. Dia menyebut ada 660 orang eks ISIS asal Indonesia.

Pada awal Juni 2019 lalu, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko sudah mengatakan hal yang tak jauh berbeda. "Harus dirapatkan pasti dari berbagai sisi. Dari sisi Kemenko Polhukam, dari sisi ketenagakerjaan, dari sisi kementerian sosial dan seterusnya. Belum dirumuskan," jelas Moeldoko, kala itu. Rupanya sampai saat ini posisi belum bergerak: masih dari rapat ke rapat. 

Baca juga: MPR Dukung Pemulangan WNI Mantan Anggota ISIS

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Sumber: Istimewa

Tidak Menarik

Sebelumnya, sejumlah pihak menyatakan tidak keberatan mereka kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi dengan syarat penting: mereka harus meninggalkan ideologi radikal yang mendorong mereka ke Suriah dan Irak. Penyaringan akan dilakukan di Suriah sebelum mereka diizinkan pulang.

Sikap “waspada” pemerintah terhadap eks pejuang ISIS wajar adanya. Soalnya, sudah menyangkut masalah keamanan dalam negeri. Sejumlah negara Barat seperti Prancis, Inggris, dan Belanda bahkan menolak warganya kembali ke negerinya juga dengan dalih risiko keamanan. Hanya saja, negara lainnya macam Turki, Kosovo, Rusia dan negara-negara Asia Tengah di Kazakhstan, Uzbekistan dan Tajikistan, telah menerima mereka kembali.

Sumber: Istimewa

Sampai kini, setidaknya ada 1.000 militan asing yang ditahan oleh Pasukan Demokratik Suriah (SDF) di kamp pengungsi Al Hol dekat perbatasan Suriah-Turki. Para tawanan itu dibawa dari kota Baghouz, Suriah Timur, tempat ISIS melakukan perlawanan terakhir terhadap SDF pimpinan Kurdi pada Maret 2019 lalu. 

Hanya saja, soal jumlah WNI yang angkat senjata di negeri orang itu belum jelas benar. BNPT tidak memiliki data soal itu. Mahfud menyebut ada 660 orang. Mereka tersebar di beberapa negara, seperti Suriah, Irak dan Afghanistan.

Laporan intelijen menunjukkan bahwa sebanyak 500 orang Indonesia mungkin masih berada di Suriah. Mereka yang tidak ingin kembali ke Indonesia menyeberang ke Afghanistan. Di sana mereka bergabung dengan ISIS di Khorasan (ISIS-K) yang sedang berkembang.

Ilustrasi wni. Sumber: istimewa

Data lainnya menyebut, lebih dari 120 militan Indonesia tewas dalam konflik di seluruh Irak dan Suriah sejak tahun 2014. Lalu, Direktur Institut Analisis Kebijakan Konflik (IPAC) yang berpusat di Jakarta, Sidney Jones, menduga ada 200 WNI lain --tidak semuanya pejuang-- mendekam di penjara Kurdi.

Salah satu tahanan penting adalah Munawar Kholil. Pria 33 tahun ini bertindak sebagai perekrut utama sebelum ia pergi ke Suriah seorang diri pada tahun 2012. Munawar ditahan bersama dengan para pemimpin ISIS lainnya di Penjara Al-Malikiyah di daerah perbatasan Suriah, Turki dan Irak.

Ada yang menyebut sampai Juli 2015, ada sekitar 700 pejuang asal Indonesia yang ikut perang di Irak dan Suriah. Hanya saja, banyak pihak menganggap angka itu dilebih-lebihkan. Pejuang ISIS asal Indonesia tidaklah seberapa jika dibanding negara lain. Perkiraan resmi menyebut, Prancis tercatat 1.700 orang, Rusia 2.400 orang, Amerika Serikat 150 orang dan Tunisia 6.000 orang.

Baca juga: ISIS Kembali Tunjukkan Kebiadabannya dengan Eksekusi 11 Tawanan

Menurut penelitian USAID di Prancis, 18 orang per satu juta warga muslim diperkirakan berperang di Suriah dan Irak. Di Tunisia, angka itu mencapai 280. Sedangkan di Indonesia, hanya beberapa orang saja.

Sean Jones. Sumber: USAID

Jones berpendapat Indonesia adalah negara yang tidak memiliki pemerintahan yang represif, tidak berada di bawah pendudukan, stabil secara politik, sehingga tidak ada kerusuhan sosial atau konflik dan kaum muslim bukanlah minoritas yang dianiaya. “Jadi ketika Anda menggabungkan semua faktor itu, tidak terlalu mengejutkan jika hanya sebagian kecil dari populasi aktivis yang berangkat ke Suriah,” ujarnya.

Memang, negara-negara yang memiliki jumlah terbanyak pejuang asing yang bergabung dengan ISIS di Suriah dan Irak, baik secara absolut atau berdasarkan per kapita, cenderung bersifat represif secara politik (Arab Saudi, 2.500 pejuang), tidak stabil secara politis (Tunisia, 6.000 pejuang), diskriminatif terhadap minoritas muslim (Rusia, 2.400 pejuang), atau kombinasi dari itu.

Ketidakstabilan negara menjadi alat rekrutmen terbaik yang pernah dimiliki kelompok radikal. Mereka tidak bisa mendapat level ketertarikan semacam itu, karena tidak ada pendorong lokal untuk radikalisasi dalam demokrasi muda.

Deradikalisasi

Pada 2017, Indonesia telah memulangkan 17 WNI yang pernah bergabung dengan ISIS di Suriah. Mereka berada dalam pengawasan BNPT dan otoritas keamanan lainnya. BNPT sudah melakukan program deradikalisasi seperti memberikan paham kebangsaan, agama, serta kemandirian agar mereka bisa bertahan hidup.

Wni mantan ISIS. Sumber: Merdeka.com

Melalui program deradikalisasi ini, mereka akan dikumpulkan menjadi satu terlebih dahulu kemudian tahap selanjutnya akan dipilah-pilah sesuai dengan hasil identifikasi sejauh mana mereka terpapar radikalisme.

Langkah berikutnya BNPT akan melakukan edukasi, rehabilitasi dan selanjutnya dikembalikan ke tempat domisili masing-masing, berkoordinasi dengan pemerintah daerah. 

Aneh rasanya, jika kini semua kembali ke nol. Pemerintah memang sudah menugaskan tim khusus yang dipimpin Kepala BNPT, Suhardi Alius, untuk mengkaji dua opsi kebijakan. 

Baca juga: Dihina Sebagai SPG, PM Finlandia Malah Ingin Pulangkan Anak-anak ISIS

Kepala BNPT, Suhardi Alius. Sumber: Istimewa

Opsi pertama adalah memulangkan 660 orang itu karena alasan warga negara. Sementara opsi kedua adalah tidak memulangkan mereka karena dinilai telah melanggar hukum terkait terorisme. 

Nantinya, dua opsi tersebut bakal dibahas bersama Wakil Presiden RI, Ma'ruf Amin. Nah, sesudah dengan Wapres dapat masukan, terakhir akan dibawa kepada Presiden Joko Widodo untuk didiskusikan secara lebih mendalam. Selanjutnya akan diambil keputusan, apakah akan dipulangkan atau tidak. “Itu nanti kira-kira bulan Mei atau Juni sudah akan diputuskan," kata Mahfud.

Menurut Mahfud, diperlukan dasar hukum yang kuat untuk memulangkan mereka. Indonesia memiliki UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Dalam Pasal 23, dijelaskan bahwa WNI yang mengikrarkan diri untuk setia terhadap negara lain akan kehilangan kewarganegaraannya. Para jihadis itu sudah dianggap mengikrarkan diri dengan ISIS.

Sumber: Inews

Hanya saja, ada hal-hal yang harus diperhitungkan pemerintah dalam mengambil sikap seperti itu. Indonesia merupakan bagian dari Geneva Convention. Negeri ini menjadi bagian dari masyarakat dunia. Orang tidak boleh menjadi stateless. WNI eks ISIS itu boleh jadi dianggap telah mengambil sikap, melepaskan kewarganegaraannya dan memilih hijrah ke Suriah. Namun di sana, mereka tinggal di daerah yang tak bertuan dan bukan menjadi warga negara resmi Suriah. Di sisi lain, bagaimanapun mereka lahir dan besar di Indonesia.

BACA JUGA: Cek INTERNASIONAL, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.



Berita Terkait