Ceknricek.com -- Nama Hannah Arendt mungkin terdengar kurang familiar di telinga masyarakat Indonesia. Namun, tahukah Anda perempuan kelahiran Jerman, tepat hari ini, 113 tahun yang lalu itu merupakan salah satu ahli teori politik paling cerdas di abad ke-20?
Hannah Arendt juga dikenal sebagai tokoh sekaligus filsuf yang berani berteriak lantang mengecam segala bentuk totalitarianisme. Lewat salah satu quote "berbahayanya" ia bisa menjadi panutan para pemuda kiwari sekarang. Lantas siapakah Hannah Arendt?
Perempuan itu Bernama Arendt
Tidak ada pemikiran yang berbahaya, sebab berpikir sendiri sudah merupakan sesuatu yang berbahaya - Hannah Arendt.
Hannah Arendt dilahirkan di Hanover, Jerman pada 1906. Ia dikenal jenius sejak masih kecil. Arendt sudah dapat membaca dengan baik sebelum masuk ke taman kanak-kanak.
Arendt kemudian tumbuh dan besar di kota Konigsberg, Jerman yang sangat disukai olehnya kerena merupakan tempat kelahiran salah satu filsuf agung dari Jerman, Immanuel Kant yang dikenal sebagai pencetus filsafat pencerahan.
Foto: Istimewa
Tahun 1924, Arendt mulai belajar filsafat di Universitas Marbu. Di sinilah ia bertemu dengan Martin Heidegger (salah satu filsuf besar dalam sejarah filsafat) yang pada waktu itu menjadi dosennya.
Perjumpaan Arendt dengan Heidgger meskipun hanya sebentar, cukup mempengaruhi pemikiran Arendt. Hubungan dan kisah cinta antara mereka berdua pun menjadi cerita yang legendaris di kalangan cendekia hingga saat ini.
Baca Juga: Florence Nightingale, "The Lady With The Lamp"
Kisah mereka juga dituliskan dengan apik oleh Elzbieta Ettinger ke dalam buku Hannah Arrendt, Martin Heideger (1955) dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Selingkuh Dua Pemikir Raksasa (2005).
Sumber: Barbadillo
Seusai menempuh pendidikan di Malburg, Arendt kemudian melanjutkan pendidikan di Heidelberg di bawah bimbingan filsuf Karl Jasper. Tahun 1929, Arendt pun mendapatkan gelar doktornya dengan desertasi mengenai konsep cinta menurut pandangan Santo Agustinus.
Pandangan Hannah Arendt dalam desertasinya ini juga sangat dipengaruhi oleh Martin Heidegger dan Karl Jasper. Selepas itu, Ia pun mulai memiliki minat terhadap eksistensialisme dalam filsafat.
Baca Juga: Mengenang Goethe: Sastrawan Terbesar Jerman
Tahun 1933, Hitler memperoleh kekuasaan politik tertinggi di Jerman. Arendt pun terpaksa meninggalkan Jerman hingga akhirnya tiba di Paris setelah sebelumnya membuat sebuah biografi tentang Rachel Vernhagen. Seorang nyonya rumah kebangsaan Yahudi pada sebuah salon di Berlin pada abad ke-18.
Di saat yang bersamaan Arendt sempat mengumpulkan berbagai materi mengenai anti-Semitisme Jerman bagi para penganut paham Zionis. Aktivitasnya itu telah membahayakan dirinya, hingga ia sempat ditangkap oleh Gestapu.
Menjadi Editor dan Dosen
Arendt pergi ke Paris bersama suaminya, Heinrich Blucher yang ia nikahi pada 1940. Di jantung dunianya mode ini Arendt sempat menjadi relawan bagi kaum muda Aliyah, mengatur emigrasi anak-anak yatim piatu Eropa yang tidak memiliki tempat tinggal ke Palestina.
Caption
Tahun 1941, Arendt dipaksa untuk keluar dari Paris dan pindah ke New York, Amerika Serikat bersama keluarganya. Di New York ia langsung terlibat di dalam dunia intelektual di sana, dan berpartisipasi di dalam pembuatan jurnal ilmu-ilmu sosial yang amat berpengaruh pada masa itu, yakni Partisan Review dan The Nation.
Setelah perang dunia kedua berakhir, ia menjadi dosen, dan mengajar di beberapa universitas di Amerika. Di antaranya adalah Princeton, Berkeley, dan Chicago. Namun Arendt sendiri lebih dikenal sebagai salah satu pemikir New School of Social Research. Ia menjadi professor filsafat politik di sana sampai pada 1975.
Dekade 1950-an, Hannah Arendt kemudian menjadi warga negara Amerika Serikat. Beberapa tahun setelahnya ia menerbitkan buku The Origins of Totalitarianism (1951), yang mengukuhkan statusnya sebagai seorang pemikir, dan sejarawan politik yang diakui oleh semua orang. Dalam bukunya itu, Hannah Arendt menelusuri asal-usul teori-teori Nazi dan komunis.
Selain itu, ia pun menjelaskan mengenai latar belakang runtuhnya negara-negara Eropa abad ke-18, dengan munculnya imperialisme, nasionalisme, dan anti-Semitisme. Bukunya itu menjadi penelitian pertama pasca-perang yang sangat berpengaruh besar terhadap penulisan-penulisan sejarah.
Karya besar Hannah Arendt lainnya adalah The Human Condition (1958) yang berisikan informasi mendalam mengenai pergeseran sejarah dalam perpolitikan umat manusia dari yang sebelumnya bersifat pribadi dengan segala kepentingannya, menjadi sosial liberal.
Banalitas Kejahatan di Mata Arendt
Pada 11 Mei 1960, seorang anggota Intel Israel menangkap Adolf Eichmann, seorang Tentara Nazi yang melarikan diri ke Argentina pasca PD II berlangsung. Eichman kemudian diadili terkait pembunuhan orang-orang Yahudi di kamp konsentrasi buatan Nazi.
David Ben- Gurion, Perdana Menteri Israeel, dalam sidang terbuka mengenai Eichman berpendapat bahwa sidang terbuka itu untuk menarik perhatian dunia pada “peristiwa tragis di dalam sejarah kami, fakta paling tragis dalam sejarah manusia”.
Baca Juga: Adam Smith, Pelopor Sistem Ekonomi Kapitalis
Harapan dari pengadilan itu sendiri adalah agar muncul diskusi-diskusi publik yang lebih luas atas holocause yang terjadi pada masa perang dunia kedua. Hannah Arendt yang mendengar berita itu pun mengajukan diri sebagai reporter kepada editor kepalanya di The New Yorker untuk meliput sidang tersebut.
Sesampainya di Yerusalem, Arendt cukup kaget karena Eichman hanyalah orang biasa yang taat hukum dan tidak ada tanda-tanda kejahatan atas dirinya. Ia kemudian menyebut Eichmann sebagai "boneka" yang menjadi sarana birokrasi bagi kejahatan Nazi, bukan seseorang yang memiliki sifat keji.
Pandangannya ini pun ditulisnya di dalam publikasi hasil laporan terhadap sidang tersebut yang diterbitkan pada 1963 dengan judul Eichmann in Jerusalam, A Report on the Banality of Evil.
Sumber: getty images
Bahkan Hannah Arendt menyebut bahwa para pemimpin Yahudi terlibat dalam serangkaian kehancuran orang-orang Yahudi Eropa. Pernyataannya itu menjadi perbincangan global, dan menyulut kemarahan banyak orang Yahudi.
Argumen Arendt di dalam buku disebutnya sebagai banalitas dari kejahatan, yakni suatu situasi, dimana kejahatan tidak lagi dirasa sebagai kejahatan, tetapi sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja, sesuatu yang wajar. Kisah tentang Arendt di Yerusalem ini pun digambarkan dengan apik dalam film Hannah Arendt (2012) besutan sutradara Margarethe Von Trotta.
Karya Arendt itu sebelumnya sempat juga dikomentari oleh Hans J. Morgenthau yang menganggap bahwa tulisannya hanya disusun untuk menggangu hati nurani atau bahkan merusak hati nurani [masyarakat]. Namun, terlepas dari itu semua, Arendt merupakan salah satu filsuf di abad 20. Ia pun menjadio wanita pertama yang diberi gelar profesor di Universitas Princeton pada tahun 1959.
Berbelas tahun kemudian, pada 14 Desember 1975, Arendt meninggal dunia di New York pada umur 69 tahun. Ia dikebumikan di Bard College di Annandale-on-Hudson, New York, tempat suaminya mengajar selama bertahun-tahun.
BACA JUGA: Cek BUKU & LITERATUR, BeritaTerkini Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.