Ceknricek.com -- Kairo, Mesir, 10 April 1947. Empat orang lelaki berpakaian lusuh dicegat petugas imigrasi Mesir ketika memasuki bandara. Petugas itu mengernyitkan dahi ketika ia menerima paspor secarik kertas lusuh dengan sejumlah keterangan yang menyebutkan keempat orang itu berasal dari sebuah Republik bernama Indonesia.
“Mission diplomatique, dari Indonesia, sebuah negara baru di Asia,” ujar lelaki kecil kurus berkopiah pemimpin rombongan tersebut dalam bahasa Arab. Ia adalah Agus Salim, pemimpin delegasi kunjungan balasan terhadap pemerintahan Mesir pada bulan sebelumnya di Yogyakarta oleh Konsul Jenderal Mesir di Bombay, India, ke Yogyakarta.
Agus Salim tidak sendirian dalam upaya diplomasi penandatanganan perjanjian persahabatan yang menandai pengakuan Mesir secara legal terhadap kedaulatan Republik Indonesia itu. Ia ditemani oleh AR Baswedan, Mr. Nazir Pamoentjak dan Prof. Dr Rasjidi.
Sumber: Goodnews
Singkat cerita, misi itu kemudian berhasil. Secara de facto dan de jure persyaratan pengakuan dari negara lain atas eksistensi Republik Indonesia tercapai dengan kesepakatan tersebut. Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kedaulatan dan kemerdekaan Republik Indonesia.
Pengakuan negara Mesir terhadap kemerdekaan Indonesia itu tentu saja tidak lepas dari perjuangan empat tokoh tersebut, terutama Agus Salim yang menjabat sebagai Menteri Luar Negeri. Lelaki yang meninggal 4 November 1954, tepat hari ini 65 tahun yang lalu itu memiliki teladan yang patut disimak, berikut kisahnya.
Polyglot Ulung dari Tanah Minang
“Haji Agus Salim seorang ulama dan intelek. The Grand Old Man,” ujar Sukarno.
Sumber: Google
Ungkapan yang ditunjukkan pada lelaki kelahiran Kota Gadang, 8 Oktober 1884 dengan nama asli Masyudul Haq (bermakna; pembela kebenaran) itu benar adanya. Semasa hidup Agus Salim memang seorang intelek dan polyglot (orang yang menguasai berbagai bahasa) 9 bahasa asing di dunia.
Mengenai asal-usul nama Agus Salim sendiri jika dirunut sudah dimulai sejak Masyudul haq kecil masih berada di Kota Gadang, Sumatera Barat. Begitu penjelasan Asvi Warman Adam dalam H. Agus Salim (1884-1954) Tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme.
Baca Juga: Kasman Singodimedjo, Buku Terbuka Dalam Sejarah Indonesia
Ketika Masyudul kecil, dia diasuh oleh seorang pembantu asal Jawa yang memanggil anak majikannya “Den Bagus” yang kemudian dipendekan menjadi “Gus.” Kemudian teman sekolah dan guru-gurunya pun ikut memanggilnya “Agus”.
Karena ayahnya bernama Sutan Muhammad Salim, maka nama Salim ditambahkan di belakang panggilannya yang akhirnya menjadi Agus Salim. Di sekolah pertamanya Eeuropeesche Lagere School (ELS), sekolah paling bergengsi di era kolonial, Masyudul Haq terdaftar sebagai August Salim.
Sumber: Faisal Basri
Sejak kecil, bakat istimewa Agus Salim memang sudah terlihat. ia sangat menyukai bahasa-bahasa asing dan dengan cepat menguasainya dengan mudah karena logika berpikirnya yang sangat tajam. Begitu lulus pendidikan pada 1897, ia melanjutkan studinya di Hogere Burger School (HBS) di Batavia dan lulus dengan nilai tertinggi saat berumur 19 tahun.
Namanya kemudian terkenal di seantero Hindia Belanda, baik di kalangan kolonial maupun terpelajar. Raden Ajeng Kartini pun sampai menghibahkan beasiswa kepadanya sebesar 48.000 gulden setelah beasiswa kedokteran yang diajukan Agus Salim ditolak oleh pemerintah Belanda. Namun, Agus Salim memilih untuk bekerja setelah penolakan pertamanya diajukan.
Tahun 1905, Agus Salim mendapatkan pekerjaan sebagai penerjemah dan pengurus urusan haji di Konsulat Belanda di Jeddah. Pada periode inilah, ia memperdalam agama Islam dengan berguru pada pamannya, Syech Ahmad Khatib.
Sumber: Google
Sepulang ke Tanah Air pada 1911, Agus Salim sempat bekerja di Bureau voor Openbare Werken (BOW) atau dinas pekerjaan umum selama satu tahun. Ia juga menyempatkan diri untuk pulang ke Minang dan menikahi Zainatun Nahar Almatsier, yang kemudian memberinya delapan orang anak.
Pada 1917, Agus Salim terjun ke dunia media massa dengan mendirikan harian Neratja, Hindia Baroe, Fadjar Asia, dan Moestika. Ia bertindak sebagai pemimpin redaksi. Bersamaan dengan itu, Agus Salim terjun ke dunia politik pergerakan melalui Sarekat Islam.
Tahun 1921-1924, Agus Salim menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) mewakili Sarekat Islam. Meskipun poliglot, dia justru yang pertama kali berpidato dalam bahasa Melayu/Indonesia di sidang Volksraad.
Hidup Sederhana Ala Agus Salim
Setelah menikah dengan Zainatun Nahar, Agus Salim kemudian memboyong istrinya kembali ke Jakarta. Dari sinilah kehidupan dan keadaan rumah tangganya ia jalani dengan sederhana dengan beberapa kali pindah rumah kontrakan di sekitaran Jakarta.
“la pernah tinggal di rumah kontrakan di Tanah Tinggi yang jalannya berlumpur di musim hujan, atau menumpang di rumah seorang kawannya,” tulis Amrin Imran dalam Perintis Kemerdekaan: Perjuangan dan Pengorbanannya (1991).
Padahal sebagai seorang pemimpin sebuah organisasi besar seperti Sarekat Islam, Agus Salim dapat hidup serba berkecukupan di zaman kolonial tersebut. Namun Ia lebih mengedepankan motto hidupnya sebagaimana pernah disampaikan oleh Mohammad Roem dan Kasman Singodimedjo dalam tulisan di Prisma No.8 Agustus 1977 dengan tajuk “Haji Agus Salim, Memimpin Adalah Menderita.”
Sumber: Intisari
“Jalan pemimpin bukan jalan yang mudah. Memimpin adalah jalan yang menderita. Seperti bunyi pepatah kuno Belanda: leiden is lijde—memimpin adalah menderita." Simpulan Muhammad Roem dan Kasman setelah mereka berkunjung ke rumah kontrakan Agus Salim pada tahun 1920-an.
Di Jakarta, pasangan ini Agus Salim dan Zainatun Nahar memang seringkali berpindah-pindah tempat tinggal. Ia, misalnya, pernah tinggal daerah Tanah Abang, Karet, Petamburan, Jatinegara, di gang Kernolong, Tuapekong, gang Listrik dan masih banyak lagi.
Baca Juga: Djamin Ginting, Sang Loyalis Dari Tanah Karo
Khusus ketika tinggal di Gang Listrik inilah menjadi kenangan tersendiri bagi keluarga Agus Salim. Di Gang Listrik, justru Haji Agus Salim dan istri bahkan pernah hidup tanpa listrik gara-gara tak sanggup membayar iuran listrik.
Dalam cita-cita kemerdekaan Indonesia, kiprah Agus Salim pernah menjadi anggota dari Panitia Sembilan yang bertugas untuk merumuskan dasar Negara Indonesia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Terbentuknya panitia sembilan bermula ketika Jepang telah berjanji untuk memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Kemudian dibentuklah Badan Penyelidik Usaha Persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 29 April 1945.
Sumber: Istimewa
Anggota-anggota BPUPKI dilantik pada tanggal 28 Mei 1945. Persidangan pertama dilakukan keesokan harinya sampai dengan 1 Juni 1945. Setelah itu dibentuk panitia kecil berjumlah 9 orang yang bertujuan untuk merumuskan gagasan-gagasan tentang dasar-dasar negara.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Agus Salim pernah menjabat sebagai anggota di Dewan pertimbangan Agung( DPA) dan bergabung di Kabinet Sjahrir II dan II sebagai Menteri. Dari sinilah misi Agus Salim sebagaimana dituliskan di awal datang ke Mesir bersama tiga rekan sejawatnya untuk memperoleh pengakuan atas kemerdekaan Indonesia dari negara lainnya dimulai.
Setelah mengundurkan diri dari dunia politik, pada 1953 Agus Salim sempat juga menulis sejumlah buku. Antara lain, Bagaimana Takdir, Tawakal dan Tauchid harus dipahamkan? yang kemudian diperbaiki menjadi Keterangan Filsafat Tentang Tauchid, Takdir dan Tawakal.
Setelah dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata pada 4 November 1954, namanya diabadikan sebagai nama Jalan dan stadion di kota Padang, Sumatera Barat.
BACA JUGA: Cek SEJARAH, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.
Editor: Farid R Iskandar