Mengenang Kiai Ali Yafie | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Istimewa

Mengenang Kiai Ali Yafie

Ceknricek.com -- PENGUASAAN ilmu fiqh nya yang mumpuni kerap disejajarkan dengan tokoh seangkatannya: Alm.Kiai Sahal Machfudz, mantan Rais Am dan Ketua Umum MUI Pusat dari Kajen, Pati, Jawa Tengah. Keduanya punya passion yang kuat dan menggagas fiqh sosial--yang tidak kaku, tidak formalistik tapi mengakomodasi realitas sosial yg dinamis.

Ini boleh dikata pendekatan baru fiqh, menyusul ide pembaruan fiqh ala Indonesia yg dipopulerkan Prof.Hasby Asshiddiqie pada 1960-an; tapi benihnya ada yg bilang muncul sejak menjelang kemerdekaan. Gagasan ini diteruskan Prof.Hazairin dengan ide fikih mazhab nasional pada 1960-an. Lalu muncul KH Abdurrahman Wahid pada 1975, yang menawarkan hukum Islam sebagai penunjang pembangunan--belakangan dipopulerkan istilah pribumisasi Islam. Sejalan dengan itu Dr.Nurcholish Majid tampil dengan Islam, Kemoderenan dan Keindonesiaan, Dr.Munawir Sjadzali lewat Reaktualisasi Ajaran Islam; Agama Keadilan ala Masdar F.Mas'udi pada 1990an, Kompilasi Hukum Islam sebagai hasil ijma' (kesepakatan) ulama RI atas instruksi Presiden Soeharto. Barulah kemudian muncul ide fiqh sosial pada 1994, gagasan duo Kiai Sahal dan Kiai Ali Yafie. Duo karena pada periode yang sama keduanya menjadi Rais Am dan wakilnya di PBNU dan memimpin MUI.

Karakter Kiai Ali, meski kelihatan kalem, sejatinya sangat kuat. Ia digolongkan kiai politik, karena dulunya aktif di NU dan PPP dengan sang patron yang melegenda: KH Idham Chalid. Bagi saya, yang kala menjadi reporter Majalah TEMPO kerap ditugasi mewawancarai kiai berperawakan ramping dengan rambut keperakan yang bersahaja dengan raut wajah serius ini, selain mumpuni dalam fiqh, kiai Ali juga teguh dalam sikap dan pendirian.

Kiai kelahiran Donggala, dan mengasuh pesantren Dar Al Dakwah wa Al Irsyad di Pare-Pare, Sulawesi Selatan ini bulat menyatakan mundur dari Wakil Rais Am ketika PBNU di bawah kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid menerima dana hibah dari yayasan pengelola lotere SDSB, yang dinilainya judi. Sikap mufarraqah (menyempal dari pimpinan) serupa, mengingatkan pada keputusan KH.As'ad Syamsul Arifin, dari Ponpes Salafiyah Syafi'iyah, Situbondo, Jawa Timur tatkala keluar dari kepengurusan NU.

Sikap berbeda (yang berarti juga perlawanan) ini menandai betapa jam'iyah kaum nahdliyin begitu dinamis dan demokratis: tak harus seragam dan seirama, namun membuka ruang bagi siapa saja menyatakan perbedaan sikap dan pendapatnya. Dalam lingkup mikro-internal, debat ini kerap terjadi di forum bahtsul masa'il diniyah khususy (pembahasan masalah agama yg khusus), yang lazim mewarnai muktamar NU.

Kiai Ali Yafie berperan penting menciptakan atmosfir yang mahal ini, bagi organisasi, juga negeri ini..


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait