Mengenang Penyair Seribu Tahun, Chairil Anwar | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Pos Indonesia via Wikimedia

Mengenang Penyair Seribu Tahun, Chairil Anwar

Ceknricek.com -- Chairil Anwar adalah salah satu eksponen penting dalam generasi sastrawan angkatan 45. Ia menulis puisi dalam bahasa Indonesia modern dengan bentuk bebas, yang kelak mempengaruhi penyair-penyair setelahnya.

Penyair seribu tahun sekaligus pendobrak sastra yang melampaui zaman itu, mati muda tepat pada tanggal hari ini, 28 April 1949, 70 tahun silam. Ia meninggal akibat komplikasi Infeksi paru, tifus, luka usus, hingga raja singa (menurut banyak orang) akibat kehidupan bohemiannya yang liar.

Chairil Anwar. Dunia Hukum Budaya

Kepergian Chairil Anawar di usia 26 tahun, seolah mengekalkan imaji dirinya selaku pemberontak adat-istiadat, nilai, dan kemapanan sastra pujangga baru. Ia telah menegaskan ungkapan dalam sajaknya yang terkenal, Diponegoro : "Sekali berarti, sudah itu mati."

Kiprah Sang Binatang Jalang

Chairil Anwar dilahirkan di Medan, Sumatera Utara pada 26 Juli 1922. Ia anak kedua dari pasangan Toeloes dan Saleha. Ayahnya seorang controleur dan pegawai tinggi di era kolonial Belanda. Ibunya, Saleha, putri Bangsawan Koto Gadang, Sumatera Barat, yang memiliki pertalian saudara dengan Ayah Soetan Sjahrir, Perdana Menteri Pertama Indonesia.

Sumber : Merah Putih

Semenjak kecil, Chairil selalu dimanjakan oleh orang tuanya. Ia bersekolah di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi pada masa penjajahan Belanda. Selepas itu ia meneruskan pendidikan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah menengah pertama Hindia Belanda, tetapi dia keluar sebelum lulus.

Meskipun tidak menyelesaikan sekolahnya, tetapi ia tidak membuang waktunya sia-sia. Chairil mengisi waktu dengan membaca karya-karya pengarang Internasional ternama. Ia memang memiliki kegemaran membaca buku sejak kecil, lewat penguasannya dalam memahami bahasa asing seperti Inggris, Belanda, dan Jerman. Ia telah melahap karya-karya W.H. Auden, Steinbeck, Ernest Hemingway, Andre Gide, Marie Rilke, Nitsche, H. Marsman, Edgar du Peroon, J. Slauerhoff, dan banyak lagi.

Pada saat berusia 19 tahun, setelah perceraian ayah dan ibunya yang menolak dimadu, ia pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) bersama dengan ibunya pada 1940. Sejak itu ia makin serius menggeluti dunia sastra.

Nama Chairil mulai dikenal di kalangan seniman pada 1943. Dilansir dari 100 tahun HB Jassin,  pada suatu siang, tahun 1943, seorang pemuda kurus, bermata merah, dan berambut kusut memasuki kantor Balai Pustaka, tempat Jassin bekerja sejak 1 Februari 1940.

“Nih, sajak saya,” kata Chairil dengan suara lantang, kepada Jassin, sambil menyerahkan 20 buah sajak. Jassin membacanya. “Bagus sekali,” kata Jassin, lalu mereka membicarakan sajak berjudul Nisan yang ditulis Chairil pada Oktober 1942.

Meski tidak berhasil dimuat apalagi dibukukan karena sajak Chairil dianggap Arjmin Pane keterlaluan dan individualistik, Jassin tetap mengetik 20 sajak itu rangkap enam. Ia ingin menguji apa benar penilaian orang lain tidak sama dengan penilaiannya yang penuh kekaguman atas pembaharuan sajak Chairil.

Jassin kemudian menyebarkan hasil ketikannya agar dibaca Sutan Takdir Alisjahbana, Mohammad Said, Soetan Sjahrir (paman Chairil yang disegani kritiknya), dan teman-teman yang lain. Semenjak itulah Chairil terus menulis berbagai puisi. Puisinya memiliki berbagai macam tema, mulai dari pemberontakan, kematian, individualisme, dan eksistensialisme.

Perempuan dan Pernikahan

Kendati penampilannya urakan, namun Chairil dikenal sebagai pemuda yang banyak penggemarnya, terutama di kalangan gadis-gadis. Dia digemari karena rupanya bagus, kulitnya putih dan wajahnya menyerupai Indo. Chairil juga dikenal “pintar” memikat gadis-gadis. Ia mudah berkenalan dengan siapa saja, lelaki maupun perempuan.

Chairil pernah tertarik pada beberapa perempuan. “Di antara gadis yang pernah menarik perhatian Chairil ialah Karinah Moorjono, Dien Tamaela, Gadis Rasid, Sri Arjati, Ida, dan Sumirat,” tulis Pamusuk Eneste dalam Mengenal Chairil Anwar.

Itulah sebabnya, nama-nama gadis itu diabadikan dalam sejumlah sajak Chairil. Paling sedikit, nama-nama gadis itu disebut dengan tiga cara: disebut dalam baris-baris sajak (Ida); dijadikan judul sajak (Sumirat, Dien Tamaela, Gadis Rasid, dan Tuti); dan dijadikan sebagai sajak persembahan (Sumirat, Sri Ajati, dan Karinah Moordjono).

Namun, di antara gadis-gadis tersebut, nasib telah menggariskan Chairil untuk menikah dengan Hapsah Wiriaredja pada 6 September 1946. Pernikahan berlangsung  setelah Chairil  berkenalan lebih selama tiga bulan dalam perjalanannya ke Karawang.

Chairil dan Hapsah Sumber : Historia

Pertemuan mereka ibarat cinta pandang pertama, karena Chairil sanggup menunggu kehadiran Hapsah pada tempat yang sama sehari setelah bertemu dengan Hapsah (Sjumandjaya, 1987). Sayang, pernikahan dengan Hapsah tidak berlangsung lama, karena Chairil tidak punya mata pencaharian yang tetap untuk menghidupi istrinya.

Perjalanan rumah tangga Chairil dengan Hapsah bubar dan berpisah. Dari hasil perkawinan tersebut, Chairil dianugerahi seorang anak perempuan bernama Evawani Alissa yang lahir pada 4 Oktober 1947.

Kematian

Berkesenian telah membuat Chairil miskin, termasuk menanggung sakit ragawi akibat kemiskinannya yang akhirnya berujung kematian. Meskipun begitu Chairil tetap berkesenian dengan sepenuh hati.

Sumber : Romantis

“Jassin, dalam kalangan kita sifat setengah-setengah bersimaharajalela benar. Kau tentu tahu ini. Aku memasuki kesenian dengan sepenuh hati,” kata Chairil pada Jassin suatu ketika.

Jassin pernah menulis surat atas permintaan Chairil kepada Ibundanya, Saleha, 4 hari sebelum ia meninggal. Dalam surat tersebut Jassin mengabarkan bahwa Chairil masuk rumah sakit CBZ (sekarang Cipto Mangunkusumo).

“Ibunda yang mulia. Dengan ini saya mengabarkan bahwa Chairil masuk Rumah Sakit CBZ (sekarang RS Cipto Mangunkusumo). Penyakitnya dada. Dia masuk rumah sakit sudah dua hari dengan ini. Dia minta tolong kepada saya, supaya menulis surat kepada ibu. Katanya ia ingin pulang ke Medan, supaya bisa dapat perawatan yang baik di sana. Di Jakarta sini perawatan di CBZ tidak begitu sempurna.”

Namun, penyair yang ingin hidup seribu tahun lagi itu tetap kalah secara ragawi. Pada 28 April 1949, Chairil meninggal dengan berani dan tidak lupa kepada Tuhan. "Sang Binatang Jalang" menyerah. Ia pergi meninggalkan bermacam kesan. Ia dikuburkan keesokan harinya dan diangkut dari CBZ ke Karet, oleh banyak pemuda dan orang-orang terkemuka.

Dalam catatan H.B Jassin, sepanjang hidupnya, Chairil telah membuat 94 tulisan, terdiri dari 70 sajak asli, 4 saduran, 10 sajak terjemahan, 6 prosa asli dan 4 prosa terjemahan.



Berita Terkait