Menghadirkan Dokter Asing, Ada Kepentingan (Si)apa, Kok Menkes Begitu Ngeyel | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto: Istimewa

Menghadirkan Dokter Asing, Ada Kepentingan (Si)apa, Kok Menkes Begitu Ngeyel

Ceknricek.com -- Menteri adalah sebuah jabatan politik yang berperan penting dalam menentukan arah kebijakan publik terkait program kerja kementerian terkait. Sebagai bagian dari pemerintahan, tugas pokok kementerian kesehatan adalah merealisasikan pasal 28 H ayat 1 UUD 1945 yaitu “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin…….serta berhak memperoleh layanan kesehatan”. Selanjutnya, pada pasal 34 ayat 3 dinyatakan “negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.

Landasan berfikir seorang menkes, yang menjadi dasar semua kebijakan kesehatan, sudah seharusnya mengutamakan kepentingan rakyat banyak, bukan kepentingan lain yang seolah-olah mengatasnamakan rakyat banyak. Sebagaimana diketahui bersama, di dalam UU 17-2023 kesehatan rakyat telah dijadikan obyek bisnis negara kepada rakyatnya, melalui liberalisasi dan industrialisasi layanan kesehatan. Hal ini terbukti dengan dihilangkannya keharusan negara menyediakan anggaran wajib (mandatory spending) kesehatan minimal sebesar 5% dari APBN dan 10% dari APBD (Tap MPR No.10-2001). Tapi di sisi lain menkes menggelar karpet merah bagi masuknya modal asing dan dokter/ nakes asing dalam bisnis layanan kesehatan.

Sehari setelah UU 17-2023 disahkan, di Chengdu-RRC, menkes menandatangani rencana pembangunan 30 RS Tiongkok di Indonesia (https://youtu.be/sNYnt_NxdPY). Sebelum itu menkes juga meresmikan pembangunan beberapa RS Asing nan mewah bak hotel bintang 5 seperti RS Aspen di Depok (Depok.tribunenews.com, 20-6-2023) dan Sanur Medical International Complex di Bali. Apakah kehadiran RS Asing nan mewah ini untuk membantu menyelesaikan masalah layanan kesehatan rakyat kebanyakan ? Tentu jauh panggang dari api.

Kebijakan kesehatan yang salah dan menimbulkan kontroversi paling sering disebabkan oleh landasan berfikir yang sesat atau Logical Fallacy seorang menkes. “Dokter asing itu sudah diputus di UU, kalau ada yang bilang tidak setuju dokter asing, itu sama saja kalau UU sudah bilang kita merdeka, tidak setuju kita merdeka. Menurut saya agak aneh juga," ujar Budi G. Sadikin saat Raker bersama Komisi IX DPR RI, Senin tanggal 8/7/2024 (https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-7428583/pro-kontra-praktik-dokter-asing-ramai-lagi-menkes-angkat-bicara). Tersirat dari pernyataan menkes ini bahwa terlepas dari apapun alasan mendatangkan dokter asing, serta apapun dampak yang akan timbul dari kebijakan aneh dan krusial ini, setelah jadi UU maka tak seorangpun boleh berbeda pendapat terkait masuknya dokter asing. Bahkan seorang Gurubesar dan Dekan FK-pun layak dan pantas untuk dipecat karena tidak setuju dengan kebijakan sang menteri.

Hadirnya UU 17-2023 yang dipaksakan untuk legalisasi Impor Dokter Asing

Kita semua tidak boleh lupa bahwa sebelum disahkan, RUU Kesehatan Omnibus ini dibuat dengan meniadakan partisipasi publik yang bermakna sebagaimana diamanatkan UU dan Keputusan MK No. 91/PUUXVIII/2020. Berbagai suara penolakan yang disampaikan oleh Koalisi Sipil (mewakili 44 Ormas/NGO) (https://laporcovid19.org/post/tolak-ruu-kesehatan-omnibus-law-hasil-permufakatan-jahat-pemerPintah-dengan-dpr-yang-merampas-hak-rakyat), bahkan Petisi oleh lebih dari 200 Guru Besar Lintas Profesi juga tidak digubris. Suara masyarakat agar pemerintah dan DPR menghentikan pembahasan RUU dan memperbaiki prosesnya dengan melibatkan partisipasi segenap komponen masyarakat secara bermakna sama sekali tidak didengarkan.

Jauh hari sebelum UU 17-2023 ini disahkan, menkes bahkan telah memberlakukan Permenkes No.6-2023 yang isinya penuh dengan pikiran sesat terkait karpet merah kepada dokter asing (TK-WNA). Dokter Asing hadir untuk mengisi daerah 3T (terjauh, terluar, dan termiskin) yang tidak diminati oleh tenaga kesehatan WNI, jelas ini sebuah alasan bodoh yang sulit diterima akal sehat. Dokter Asing tidak diharuskan untuk terlebih dahulu bisa berbahasa Indonesia (Pasal 10 ayat 4: “….juga memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang dapat dipenuhi setelah TK-WNA didayagunakan”). Di negara manapun, syarat pertama seorang dokter asing boleh berpraktek adalah harus menguasai bahasa lokal masyarakat setempat.

Logika dasar seorang dokter yang diajarkan dalam pendidikan dokter di dunia manapun, diagnosa bisa diketahui mulai dari anamnesa, yaitu tanya jawab (komunikasi dua arah) antara dokter dan pasien terkait keluhan dan riwayat sakitnya, lalu diikuti dengan pemeriksaan fisik yang baik. Dengan anamnesa dan pemeriksaan fisik yang baik dan benar 80% sudah mengarah pada diagnose yang benar. Ketentuan yang membolehkan dokter asing bekerja tanpa harus bisa berbahasa Indonesia ini berangkat dari pikiran sesat menkes (yang bukan dokter) bahwa semua penyakit akan bisa diketahui dengan pemeriksaan menggunakan alat-alat canggih (MRI, PET Scan, Genomik, bahkan AI).

RS Vertikal dikelola sebagai BUMN Kesehatan, dijadikan Revenue Center seperti BUMN Tambang dan Perbankan.

Program menghadirkan dokter asing di semua RS Vertikal milik Kemenkes (tertuang dalam SE Kemenkes No. DG.03.02/D.IV/1483/2024) jelas sekali arahnya dalam rangka meningkatkan kapasitas RS Vertikal untuk bisa berperan sebagai BUMN Kesehatan, menjadikan semua RS Vertikal sebagai Revenue Center Pemerintah, sebagaimana banyak Pemda yang menjadikan RSUD sebagai sumber PAD (karena takut dipecat, tentu saja tak seorangpun dirut RS vertikal yang mau buka mulut terkait perintah menkes agar target penghasilan RS terus ditingkatkan). Sebagaimana BUMN lain, selain menambah jumlah layanan dan meningkatkan utilisasi alat-alat pemeriksaan canggih, upaya menaikkan revenue ini dilakukan dengan menekan ‘cost’ antara lain jasa medis yang mesti dibayarkan kepada para dokter dan nakes dengan berbagai langkah efisiensi yang seringkali menganggap dokter sebagai pekerja vokasi, bukan profesi.

UU 17-2023 ini mengeliminasi peran Organisasi Profesi (OP) sebagai lembaga pemantau dan penjaga Etika Profesi dokter, dan menjadikan menkes dan jajarannya seolah bagai ‘Tuhan’ dalam menilai, mengawasi, dan menghukum pelanggaran etika dokter ( pasal 421: Pemerintah Pusat dan Pemda melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan etika dan disiplin profesi, dan Pasal 737 ayat 1 RPP: Menteri membentuk majelis untuk penegakan etika dan disiplin profesi ). Hal ini akan memuluskan jalan agar dokter mau memanfaatkan berbagai alat-alat canggih yang disediakan RS agar utilisasinya meningkat, demi bisnis RS/ pemilik modal, meski pemeriksaan itu sebenarnya tidak dibutuhkan atau bertentangan/ tidak sesuai dengan etika profesi dokter. Etika profesi dokter tidak akan dilihat dari benar atau salah secara moral, melainkan benar atau salah menurut kepentingan pemilik modal RS. Jadi dokter hanya dijadikan bagian kecil dari sebuah bisnis besar lndustri RS yang harus berorientasi bukan pada kepentingan pasien, melainkan untuk kepentingan bisnis pemilik modal RS.

Narasi Dokter Asing untuk menyelesaikan 6000 anak Sakit Jantung Bawaan

Narasi lain yang terus berulang disampaikan menkes dan jubirnya adalah, mendatangkan dokter asing terkait dengan 12.000 anak yang lahir dengan Penyakit Jantung Bawaan (PJB) dan hanya 6000 anak saja yang bisa dilakukan operasi oleh dokter di Indonesia (https://bisnis.tempo.co/read/1887389/dokter-medan-tolak-tim-medis-saudi-kemenkes-kecemburuan-profesi). Kita mesti telaah baik-baik apapun yang dinarasikan oleh menkes mengingat riwayat dia yang terlalu sering membuat narasi sumir dan merendahkan profesi dokter dan pendidikan dokter, bahkan ilmu kedokteran (yang terakhir adalah menganggap penggunaan stetoskop sebagai ‘sangat tidak ilmiah’). Dengan bukti-bukti jejak digital yang ada-pun menkes masih berkelit dan tidak mau mengakui bahwa pernyataannya salah. Sekali Lancung Keujian, Seumur Hidup Orang Tidak Percaya, demikian peribahasa yang paling pas buat menkes.

Betul bahwa saat ini hanya 6000 dari 12.000 anak PJB yang bisa mendapatkan layanan tindakan bedah jantung, tapi benarkah itu hanya dikarenakan jumlah dokter bedah jantung yang kurang? Mari kita lihat situasi yang ada di RS Vertikal rujukan nasional di Semarang (situasi yang hampir sama juga dihadapi oleh RS Vertikal pada umumnya). Antrean panjang yang lamanya 6-12 bulan untuk bisa dirawat inap (guna penanganan penyakitnya) dihadapi oleh pasien dengan penyakit yang ‘tidak emergensi’, khususnya pasien BPJS kelas 3 (yang jumlahnya 70% dari seluruh peserta BPJS, alias sekitar 180 juta orang). Pasien dengan Tumor Otak harus menunggu sekitar 6 bulan, dan pasien epilepsi kebal obat (yang terus kejang 4-5 kali sebulan) harus menunggu sekitar 12 bulan untuk penanganan penyakitnya.

Dokter Asing Bukan Solusi untuk mengatasi masalah Layanan Kesehatan Rakyat

Lamanya antrean tersebut samasekali bukan karena jumlah dokter spesialis yang kurang, tapi disebabkan oleh ketersediaan bed/ tempat tidur rawat inap yang tidak ada dan fasilitas kamar bedah yang sudah beroperasi hampir 20 jam setiap hari kerja, bahkan juga hari libur. Dengan kata lain, penambahan jumlah spesialis sebanyak apapun, termasuk dokter WNA, tidak akan pernah bisa memperpendek waktu tunggu atau lamanya antrean untuk penanganan penyakit pasien, sebelum masalah infrastruktur layanan di RS Vertikal, dan sistem rujukan ini diperbaiki.

Belum lagi bila bicara tentang masalah pembiayaan/ ketersediaan alat/ barang habis pakai untuk operasi-operasi khusus yang dibatasi oleh pimpinan RS (baca: kemenkes). Pasien stroke akibat pecah aneurisma otak, yang berjumlah 60 orang setahun (di Semarang) dan lebih dari separoh-nya perlu tindakan intervensi vaskular (coiling), hanya 3-4 orang yang benar-benar bisa dilakukan coiling, karena RS hanya menyediakan maksimum 12 coil setahun (diperlukan 3-5 coil untuk seorang pasien). Di sebuah RS Vertikal lain di Sumatera, jumlah operasi pemasangan coil dibatasi maksimum sebanyak 2 (dua) pasien setiap bulan. Jadi bagi masyarakat umum yang bakal kena stroke akibat pecah aneurisma otak, dianjurkan untuk merencanakan serangan stroke nya di awal bulan atau di awal tahun anggaran, betapa lucu dan konyolnya kebijakan seperti ini.

Terkait dengan kehadiran tim bedah jantung dari King Salman Relief Charity Foundation ke Medan, adalah untuk melakukan kegiatan Baksos Bedah Jantung (sebagaimana Perdami melakukan Baksos Operasi Katarak, atau Perapi melakukan Baksos Operasi Bibir Sumbing). Tim Baksos Arab Saudi ini datang sendiri dengan membawa semua alat dan barang habis pakai sendiri, untuk menolong pasien yang biaya operasinya tidak tercukupi dari BPJS-nya, sehingga bisa terlaksana dengan baik tanpa menambah beban anggaran bagi RS Vertikal yang jadi lokasi Baksos. Betapa memalukan bila untuk selanjutnya kemenkes masih terus berharap ada lagi kegiatan Baksos seperti ini, dari Arab Saudi atau dari negara donatur lain, demi menyelesaikan masalah kesehatan rakyat, di usia kemerdekaan kita yang hampir 80 tahun.

Dari semua informasi yang diuraikan di atas, pembaca bisa menyimpulkan sendiri, apakah program menkes impor dokter asing akan bisa menyelesaikan persoalan 6000 anak PJB yang selama ini tidak tertangani? Apakah kehadiran Dokter Spesialis Asing di RS Vertikal akan bisa mempercepat antrean penanganan berbagai macam penyakit kronik seperti Tumor Otak dan Epilepsi Kebal Obat yang harus menunggu 6-12 bulan untuk penanganan penyakitnya? Atau kehadiran Spesialis Bedah Saraf Intervensi Vaskular Asing akan bisa menambah jumlah pasien Stroke akibat Pecah Aneurisma Otak yang bisa dilakukan coiling? Jadi kita masih harus terus menelisik alasan yang sesungguhnya, kenapa menkes begitu ngebet banget untuk mengimpor dokter spesialis asing bak pemain bola naturalisasi, untuk kepentingan apa dan untuk kepentingan siapa ?

#Zainal Muttaqin, Praktisi medis, Pengampu Pendidikan Spesialis, Gurubesar FK Undip


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait