Ceknricek.com -- Tiap orang tua tentu saja mengimpikan anaknya sukses, kaya, hebat, berpengaruh, terkenal, dan yang tinggi-tinggi lainnya. Begitu juga Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, Surya Paloh, Hary Tanoesoedibjo dan lainnya. Anak-anak para para kakek ini sejatinya sudah kaya dan hebat. Tapi mereka belum sampai pada level lebih tinggi dari itu.
Belakangan beredar kabar para ketua umum partai politik itu ramai-ramai menyodorkan anaknya ke Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk dijadikan menteri pada Kabinet Kerja II. Tentu saja, mereka tidak menyodorkan sendiri. Sang buah hati diajukan oleh Parpol yang mereka pimpin. Bahasa kerennya, setelah melalui mekanisme dan aturan yang berlaku dalam partai politik.
Foto : Terbit
Dari deretan nama calon menteri yang diajukan, PDI Perjuangan antara lain mengajukan nama Puan Maharani dan Prananda Prabowo. Keduanya adalah putri dan putra Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Partai Demokrat mengajukan Agus Harimurti Yudhoyono, putra Ketua Umum PD, Susilo Bambang Yudhoyono. Sedangkan Partai Nasdem mengajukan Prananda Surya Paloh, putra Ketua Umum Partai Nasdem. Partai Perindo menyorongkan nama Angela Tanoesoedibjo, putri Ketua Umum Perindo, Hary Tanoesoedibjo.

Foto : Beritasatu
Jika benar anak-anak mereka nanti disetujui, lalu oleh Jokowi diangkat menjadi menteri, tentulah buah hati para ketum parpol ini dianggap masuk dari jalur partai. Padahal, lebih dari itu, mereka itu sesungguhnya juga masuk melalui jalur orang tua mereka. Inilah model nepotisme di era kini. Nepotisme yang dulu pada zaman Orde Baru dilekatkan dalam KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). KKN dulu dimusuhi, sedangkan kini bagian dari KKN itu kembali dibudayakan.
Para elite politisi kita tampaknya sangat menikmati dan tanpa rasa malu menjalankan politik dinasti atau dinasti politik. Partai politik sudah dianggap sebagai partai keluarga. Kecenderungan itu paling kental dan menonjol terjadi di tubuh PDI Perjuangan, kemudian dimakmumin Partai Demokrat.
Dinasti Politik
Kehadiran politik dinasti juga mewarnai penyelenggaraan pemilihan legislatif 2019. Sejumlah istri, anak, hingga kerabat kepala daerah, mantan anggota DPR, dan petinggi partai politik lolos menjadi anggota DPR periode 2019-2024. Hubungan kekerabatan antara caleg dan kepala daerah terpantau dalam rekapitulasi suara oleh Komisi Pemilihan Umum.
Sejumlah calon legislator juga putra-putri para petinggi parpol. Keluarga besar Megawati mengisi daftar caleg jadi PDI Perjuangan. Mereka itu adalah Puan Maharani (Dapil Jawa Tengah 5), Puti Guntur Soekarno (Dapil Jawa Timur 1), dan Guruh Soekarnoputra (Dapil Jawa Timur 6). Sedangkan Partai Demokrat ada Edhi Baskoro Yudhoyono (Dapil Jawa Timur 7), lalu Partai Amanat Nasional ada putra Amien Rais, Hanafi Rais.
Munculnya banyak calon legislator berlatar belakang politik dinasti sudah menjadi target partai politik. Tujuannya, agar partai mendapat legislator yang berfungsi sebagai pendulang suara atau vote getter sekaligus sebagai broker politik. Parpol lebih punya concern untuk meletakkan figur yang punya dua peran penting itu.
Foto : Merdeka.com
Selain dinasti politik yang terjadi dalam tubuh parpol, di sejumlah daerah juga muncul dinasti politik dalam pemilihan langsung kepada daerah. Anak, keponakan, adik, kakak, istri, dan kerabat dekat para petahana ikut mencalonkan diri menjadi kepala daerah.
Dinasti politik jelas mencederai prinsip kesetaraan hak politik warga negara dan sangat rentan terhadap perilaku koruptif. Kesempatan dalam mengalokasikan kekuasaan politik menjadi hilang bahkan tidak akan pernah terjadi selama dinasti politik itu berkuasa di tubuh parpol.
Proses rekrutmen jadi tertutup lantaran tidak ada kesetaraan. Kesempatan bagi kader lain menjadi sirna, pendidikan politik juga tidak jalan. Ini muncul lantaran adanya dominasi keluarga dalam politik.
Dalam hal kepala daerah, harapan membatasi dinasti politik secara legal sempat dihadirkan melalui UU No. 8/2015 yang merevisi sejumlah aturan dalam UU No 1/2015 tentang Perppu No 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
Dalam pasal 7 huruf r disebutkan bahwa calon kepala daerah tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Di bagian penjelasan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan konflik kepentingan adalah "tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak dan menantu kecuali telah melewati jeda satu kali masa jabatan".
Foto : Detik.com
Belakangan, melalui proses judicial review, MK memutuskan bahwa aturan pembatasan “dinasti politik” inkonstitusional. Menurut MK, pasal tersebut merupakan aturan diskriminatif karena membatasi hak berpolitik warga negara. Menurut MK persoalan dinasti politik bukan terletak pada aturan pembatasan, melainkan belum efektifnya pengawasan dalam penyelenggaraan pilkada khususnya yang melibatkan petahana.
Larangan dinasti politik dianggap merusak demokrasi karena bisa menutup akses dan kesempatan bagi warga negara lain untuk memperoleh hak politik, terutama hak untuk dipilih.
Indonesia Corruption Watch atau ICW mencatat, sejak otonomi daerah sebanyak enam dari seluruh kepala daerah yang terjerat korupsi, diketahui berkaitan dengan dinasti politik. Sedangkan menurut data ementerian dalam negeri dan LIPI, dinasti politik setidaknya telah menjangkiti sekitar 65 daerah di Indonesia pada 2016.
Dinasti politik bukan kejahatan. Dalam sistem demokrasi, dinasti politik juga tidak dilarang. Ini soal etika saja. Soal moral. Soal rasa malu.