Ceknricek.com--Pekerjaan dokter adalah berupaya menolong dan menyelamatkan manusia. Untuk menjaga keluhuran dan martabat profesi serta kepercayaan masyarakat penerima layanan, perlu landasan etik dan moral agar jasa dokter itu tidak berubah menjadi upaya dagang atau jual beli yang memanfaatkan orang sakit sebagai objek untuk mencari keuntungan semata (jelas bertolak belakang dengan pekerjaan bankir yang seolah menolong manusia padahal berburu rente). Sumpah dokter dan kepatuhan pada Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) adalah sarana yang diharapkan akan bisa menjaga moral dan etik seorang praktisi medis dalam penyelenggaraan praktik kedokteran.
Hubungan pasien-dokter bersifat unik, yang memfasilitasi pertukaran ilmu pengetahuan dan pengobatan dalam bingkai etika dan kepercayaan. Etika profesi adalah ketentuan tentang benar dan salah, tentang baik dan buruk dalam pelaksanaan profesi, dengan berlandaskan pada nilai-nilai moral. Semua ketentuan dalam etika profesi dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari praktek dokter yang tidak beretika, yang memanfaatkan ketidaktahuan dan kepercayaan pasien demi keuntungan materi semata (melakukan operasi pada kasus yang sebenarnya tidak perlu dioperasi, atau meresepkan ‘obat’ yang seolah bisa mempercepat kesembuhan, bahkan mempraktekkan tindakan/ cara pengobatan yang masih uji coba, belum berdasarkan evidence based (EBM), semata hanya berdasarkan testimoni tokoh/ pejabat).
Pelayanan kesehatan modern telah memunculkan banyak dilema etika yang komplek dengan banyak sisi pandang. Saat World Medical Assembly ke 51 tahun 1999 yang dihadiri oleh utusan yang mewakili 115 Ikatan Dokter dari 115 negara (tentu saja Indonesia diwakili oleh IDI, bukan oleh Kementerian Kesehatan) disepakati perlunya pendidikan etika kedokteran dan hak asasi manusia agar para dokter memiliki kepekaan hati untuk bisa menemukan solusi etik terhadap dilema-dilema tersebut. Jadi etika profesi adalah sebuah kesepakatan para dokter di level dunia.
Peran Sumpah Dokter dan Kode Etik Kedokteran Indonesia
Praktek kedokteran harus berdasar pada kaidah dan landasan sains yang sudah memiliki EBM serta dilaksanakan dengan berpedoman pada Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). Kewajiban untuk mengucap sumpah dan mematuhi pedoman perilaku etik inilah yang membedakan OP dengan ormas biasa. Selain tata krama sosial yang berlaku umum, ormas biasa adalah perkumpulan sosial, tidak bekerja berlandaskan EBM, tidak diawali dengan sumpah dan tidak punya kode etik profesi.
Seorang dokter hanya bisa memulai kerja profesi sebagai praktisi medis setelah mengucap sumpah. Sumpah Dokter adalah sekumpulan janji yang diucapkan atas nama Tuhan (“Demi Allah”, bagi yang beragama Islam) bahwa ybs. akan selalu berpedoman pada etika dan kebenaran dalam menjalankan praktik kedokteran. Isi sumpah dokter ini diambil dari Deklarasi Jenewa tahun 1984 dari World Medical Association yang isinya menyempurnakan Sumpah Hippocrates (https://id.m.wikipedia.org), dan secara resmi memiliki kedudukan hukum dalam PP No.26 tahun 1960. Isi sumpah dokter antara lain “saya akan mentaati dan mengamalkan Kode Etik Kedokteran Indonesia”. Isi dari sumpah dokter ini sudah dipakai di seluruh dunia Kedokteran selama ratusan tahun sebagai pedoman nilai yang amat luhur.
Siapa yang berhak menyusun dan mengatur sanksi terkait etika profesi
Orang lain di luar profesi medis tidak akan pernah tahu apakah keputusan yang diambil dokter masih sesuai atau sudah menyimpang dari etika profesi. Bahkan sesama dokter dengan bidang spesialisasi yang berbeda akan sulit mengenali terjadinya pelanggaran etik profesi dalam bidang spesialisasi yang berbeda. Sebagai spesialis Bedah Saraf, saya tidak pernah tahu kapan seorang pasien dengan penyempitan pembuluh darah koroner Jantung itu perlu dilakukan operasi bypass jantung, atau cukup dengan dipasang ring jantung, atau bahkan hanya perlu pemberian obat-obatan saja. Keputusan terkait dengan etika profesi ini selain bersifat universal, juga dipengaruhi oleh kemajuan iptekdok serta infrastruktur layanan kesehatan bidang ilmu tersebut di suatu wilayah.
Jelas bahwa pedoman terkait etika profesi hanya bisa disusun oleh anggota profesi itu sendiri, bukan oleh orang lain. Disinilah peran penting dari sebuah Organisasi Profesi (OP). Tugas pokok dari OP adalah “Guiding the Profession-Protecting the People”, artinya tanggung jawab terbesar OP adalah menjaga para anggotanya dalam mempraktekkan profesinya demi melindungi masyarakat yang memerlukan layanan profesi tersebut. Adanya kesadaran anggota profesi akan keharusan menjaga kepercayaan masyarakat dan melindungi publik (dari praktek profesi yang menyimpang, yang mencari keuntungan dengan menipu dan memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat), maka setiap OP mengatur dan membatasi perilaku anggotanya dengan sebuah regulasi etik.
Sekali lagi, jangan dicampur adukkan antara kewenangan pemerintah untuk mengatur (government to govern) dengan hak dari organisasi apapun, termasuk OP Kesehatan, untuk menyusun regulasi internal terkait etika profesinya. Dalam profesi apapun (Notaris, Arsitek, Akuntan, Psikolog) semua ketentuan terkait pedoman etika profesi disusun oleh OP itu sendiri, bukan oleh pemerintah ( https://himpsi.or.idi>kode-etik , https://iaiglobal.or.id>files , https://www.ini.id>images , https://iai.or.id>kode_etik ).
Sejauh mana Menkes bisa cawe-cawe urusan internal OP Kesehatan
Jelas bahwa tidak ada campur tangan, atau cawe-cawe Kemenkumham terkait penyusunan maupun penyelesaian pelanggaran Etika Profesi Notaris, atau Kemenkeu terkait Etika Profesi Akuntan, maupun Kementerian PUPR terkait Etika Profesi Arsitek. Bahkan undang-undang (UU) no.23-2022 tentang Psikolog, UU no.6-2017 tentang Arsitek, UU no.2-2014 tentang Notaris, dan UU no.5-2011 tentang Akuntan memastikan hak OP untuk membentuk Majelis Etik/ Komite Etik guna menyelesaikan pelanggaran terhadap kode etik masing-masing profesi. Esensi penting dalam semua UU tsb. adalah ketentuan sebagai OP tunggal, dan mensyaratkan perlunya rekomendasi OP bagi anggotanya sebelum mulai berprofesi. Pedoman etik profesi setiap OP tersebut tertulis jelas dan eksplisit bahwa maksud utamanya adalah untuk melindungi masyarakat banyak dari praktek profesi yang penuh tipu-tipu, yang memanfaatkan kepercayaan dan ketidaktahuan masyarakat demi berburu cuan semata.
Keberadaan pelbagai OP tersebut sebagai bagian dari Civil Society jelas positif bagi negeri dengan 280 juta penduduk yang tersebar di ribuan pulau ini, dengan tingkat kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan yang masih tinggi. Pertanyaannya, apakah keberadaan pelbagai OP diluar medis tersebut nantinya juga akan dirusak dan di humiliasi sebagaimana kepentingan politik sesaat pada UU 17-2023 telah merontokkan keberadaan OP Medis (IDI, PDGI, PPNI, IAI, dan IBI) sebagai OP tunggal dan meniadakan rekomendasi OP sebagai syarat untuk mulai berprofesi.
Rupanya upaya untuk memojokkan dan mengambil alih peran regulasi internal dalam OP Medis ini belum akan berhenti. Pernyataan Menkes yang akan membentuk Majlis Khusus untuk menjaga kode etik dokter (https://www.liputan6.com/health/read/5347036) adalah sebuah campur tangan dalam urusan rumah tangga OP yang yang tidak lazim dan cenderung anti demokrasi. Langkah Menkes tersebut bahkan tidak terjadi di negara otoriarian seperti China (https://www.ncbi.nlm.nih.gov>pmc) dan Kuba (https://journalofethics.ama-assn.org). Pasal 421 UU No.17-2023 menyatakan bahwa Pemerintah dan Pemda mempunyai kewenangan pengawasan disiplin profesi dan etika profesi. Etika profesi dalam spesialis tertentu tidak mungkin bisa dinilai oleh dokter lain diluar profesi spesialis itu. Mana mungkin Pejabat Pemda bisa mampu dan mengerti etika profesi sebagaimana Majelis Etik yang dimiliki oleh perhimpunan spesialis?
IDI adalah bagian dari World Medical Assembly yang beranggotakan 115 OP tunggal yang mewakili 115 negara. Selain OP tunggal yang mewakili negara, salah satu syarat keanggotaan di WMA adalah independensi OP (tidak di bawah atau dalam kooptasi pemerintah). Dengan UU No. 17-2023 yang baru diberlakukan, apakah menkes juga akan bersurat ke WMA terkait keanggotaan IDI, atau berusaha agar posisi IDI bisa digantikan oleh OP jadi-jadian? “Menurut saya, kita sedang susun nih, ada bagusnya meniru Dewan Pers. Jadi masuknya perkara pidana ke sini juga sebelum dia masuk ke ranah hukum. Yang penting kredibilitasnya perlu dijaga,” ucap menkes. Disini terlihat sebuah logical fallacy yang naif bahkan bisa dibilang konyol ketika seorang Menkes tidak bisa memahami perbedaan antara etika profesi dengan disiplin profesi. Hal ini tampak dalam dialog Menkes dengan Rosiana Silalahi (Rosi-Kompas TV, 15 Juni 2023 https://youtu.be/6ZjlKBPhMRg). Menkes menganggap kehadiran lembaga MKEK (Majelis Kehormatan Etika Kedokteran) dan MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) sebagai sebuah duplikasi.
MKEK adalah badan Otonom dalam kepengurusan PB IDI, yang bertugas menjaga dan memantau pelaksanaan kode etik profesi dengan bekerjasama dengan MKEK Wilayah dan Majlis Etik Perhimpunan Dokter Spesialis. Sanksi MKEK adalah sanksi etik, bersifat internal, berupa saran yang harus dilaksanakan/ ditindak lanjuti oleh Pengurus IDI. Sedangkan MKDKI mengurus Disiplin Profesi, yaitu pedoman tatalaksana pelayanan medis, yang biasanya tersusun dalam bentuk standar pelayanan yang spesifik untuk setiap jenis penyakit. MKDKI (yang anggotanya ada dokter, dokter gigi dan ahli hukum) adalah lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), dibentuk berdasarkan UU 29-2004 tentang praktik kedokteran (ada 16 pasal, pasal 55-70), dan bertanggung jawab kepada Konsil Kedokteran. MKDKI merupakan sebuah pengadilan profesi yang berwenang menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmunya, untuk selanjutnya memberikan sanksi. Bila dalam sidang MKDKI ditemukan kasus pelanggaran etika, maka akan diserahkan kepada MKEK untuk ditindak lanjuti.
“Mark Up pengadaan barang di Sektor Kesehatan sampai 5000 persen," demikian ungkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tulis Kompas.com, 24 Agustus 2023 (https://nasional.kompas.com/read/2023/08/24/19072211/kpk-mark-up-). Tentu KPK menyampaikan ini karena adanya fakta. Ini juga mengingatkan kita akan istilah ‘pojok maut’ di Kemkes yang pernah menghantui proses penempatan dokter di seputar tahun 1975-1990 lalu.
Sebagaimana kita sadari bersama, UU No. 17-2023 menjadikan Menkes dan Kemkes sebagai sebuah superbody yang menguasai dan mengkooptasi semua urusan dokter dan nakes dari hulu sampai hilir, sampai cawe-cawe urusan etika profesi. Sebagai bagian dari masyarakat madani kita cuma bisa mengingatkan kata bijak dari Lord Acton “Power tend to Corrupt, Absolute Power Corrupts Absolutely”. “Etika dan moral dokter itu dijaga dengan sumpah Hippocrates, bukan oleh menteri atau Presiden sekalipun. Tugas menkes adalah menjaga moralnya sendiri dan moral pegawai kemenkes supaya jangan korupsi dan jangan bikin hoax, kan pernah ada 2 menkes yang masuk penjara karena korupsi,” demikian ucap prof Djohansjah Marzoeki, Guru Besar dari Universitas Airlangga dalam sebuah unggahannya.
# Zainal Muttaqin, M.D., Ph.D. , Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Editor: Ariful Hakim