Menyemai Dinasti Politik Jokowi | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Sumber: Istimewa

Menyemai Dinasti Politik Jokowi

Ceknricek.com -- Hans Morgenthau dalam Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace (1948), menyebut bahwa terdapat tiga hal mendasar dalam motif tindakan politik yakni mempertahankan kekuasaan, menambah kekuasaan, atau memperlihatkan kekuasaan. Lazimnya, untuk mencapai tiga hal itu, segala cara dilakukan, persis apa yang pernah disampaikan Machiavelli.

Pada Senin (23/9), Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), mengurus pembuatan kartu tanda anggota (KTA) PDI Perjuangan atau PDIP di Solo. Ini adalah bagian dari persiapan pedagang martabak tersebut untuk mencalonkan diri sebagai Wali Kota Solo, Jawa Tengah. Jabatan politik perdana sang Ayah yang mengantarkan dirinya menjadi Presiden RI.

Sumber: Detik

Selain Gibran, anak menantu Jokowi juga mempersiapkan hal yang sama. Suami Kahiyang Ayu, Bobby Nasution, akan maju dalam Pilkada serentak 2020. Bobby mencalonkan diri sebagai Wali Kota Medan, Sumatera Utara. Pengusaha properti ini mengaku sudah berkomunikasi dengan Jokowi soal rencana tersebut. "Kalau Bapak itu tergantung keinginan anak-anaknya dan tidak pernah mengatur. Kalau mau politik, ya terjun ke politik. Kalau mau bisnis ya, bisnis. Yang penting kerja mesti sungguh-sungguh dan betul-betul," ungkapnya, beberapa waktu lalu.

Baca Juga: Putra Jokowi, Gibran, Daftar Calon Wali Kota Solo Lewat PDIP

Majunya Gibran dan Bobby ke politik meneguhkan bahwa politik klan di Indonesia semakin subur. Pada periode pertama jabatan presiden, Jokowi seakan tidak mempersiapkan apa-apa. Gibran juga asyik dengan bisnis martabak sampai es doger. Kini publik menyadari semua itu hanya batu loncatan belaka. Setelah Gibran dan Bobby, nanti akan muncul juga Kaesang, anak kedua Jokowi. Politik dinasti Jokowi kini telah bersemai.

Adalah hak politik Gibran, Bobby, Kaesang, dan putra putri, menantu Jokowi lainnya untuk terjun ke politik. Selama undang-undang tidak melarang, maka semua itu sah-sah saja. Hanya saja, sah juga bila publik mencurigai ada upaya menjalankan “aji mumpung” bagi Jokowi. Tapi itulah politik. Apapun bisa terjadi. Dan dinasti politik sudah terjadi sejak dulu kala dan di banyak daerah saat reformasi.

Sumber: Detik.com

Jokowi tentu sudah belajar dari pemimpin terdahulu.

Harap maklum. Dinasti politik bukan barang baru dalam kancah perpolitikan nasional. Praktik politik dinasti sudah lumrah dilakukan. Politik dinasti diartikan sebagai kekuasaan politik yang dijalankan sekelompok orang yang masih dalam hubungan keluarga, baik karena garis keturunan, hubungan darah, atau karena ada ikatan perkawinan.

Putra dan putri Presiden Indonesia selalu mendapat modal besar untuk berpolitik, terutama dari segi popularitas. Soalnya, anak-anak presiden jauh lebih mudah menjangkau dan membangun basis massa. Para presiden sebelumnya sudah memberi contoh soal itu. Ada klan Soeharto, klan Megawati Soekarnoputri, ada klan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), klan Gus Dur, dan kini ada klan Jokowi.

Mega dan SBY melibatkan anak-anaknya di panggung politik saat keduanya masih berkuasa dan memimpin parpol. Megawati memiliki Puan Maharani yang dapat meneruskan langkahnya di PDIP, sementara SBY membangun jalan bagi Agus Harimurti Yudhoyono dan Edhie Baskoro Yudhoyono di Partai Demokrat.

Sumber: Wartaekonomi

Baca Juga: "Mega” Politik

Massifnya praktik dinasti politik adalah sebagai konsekuensi logis dari proses otonomi daerah yang menuntut demokratisasi lokal. Dalam konteks ini, pemilihan kepala daerah secara langsung menjadi tolak ukur kemajuan demokrasi suatu negara.

Sumber: tempo

Sayangnya, tujuan itu tak serta merta berakhir baik. Ada potensi kemunculan kondisi sebaliknya yakni oligarki yang menjadi musuh demokrasi. Kekuasaan cuma dipegang segelintir orang dan dipakai untuk keuntungan kelompoknya. Kesempatan dan hak untuk dipilih dalam pemilu lokal seringkali disalahgunakan, terutama untuk mengejar kekuasaan bersama seluruh anggota keluarga lainnya.

Politik dinasti muncul di banyak wilayah. Publik sudah mencatat ada Dinasti Limpo di Sulawesi Selatan, Dinasti Narang di Kalimantan Tengah, Dinasti Sjahroeddin di Lampung, ataupun Dinasti Fuad di Bangkalan (Madura). Lalu, yang paling massif adalah Dinasti Chasan Sochib (Kelompok Ratu) di Banten. Dalam satu periode yang sama, hampir seluruh anggota keluarga dinasti ini memegang jabatan penting dalam politik di provinsi tersebut

Sayangnya, para penikmat dinasti politik ini banyak yang terlibat dalam banyak kasus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka yang berada di lingkaran dinasti politik sering menyalahgunakan kekuasaan, menyelewengkan amanah jabatan. Bahkan, saat tak lagi menjabat, mereka yang pernah menjadi kepala daerah itu tetap bisa leluasa mengendalikan pemerintahan lantaran suksesornya berasal dari keluarga sendiri.

Situasi itu seperti menegaskan pernyataan populer Lord Acton (1834-1902) yang menyebut bahwa kekuasaan cenderung korup. Acton menulis, "Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely.”

Pintu Masuk Politik Dinasti

Politik “darah biru” sudah tumbuh sejak dulu kala. Kalangan eksekutif dan legislatif sudah merasakan dampak buruk politik dinasti. Lalu, lahirlah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Pada Pasal 7 huruf (r) disebutkan bahwa syarat calon Kepala Daerah (Gubernur, Bupati atau Walikota) tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Hal itu berarti tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana (ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu).

Sayangnya, pada 8 Juli 2015, Mahkamah Kostitusi atau MK membatalkan pasal ini. MK menilai pasal ini akan menghalangi hak konstitusional seseorang untuk berpartisipasi dalam pemilu. Keputusan MK ini menjadi pintu dinasti politik.

Sumber: The Converstion

Pencegahan via hukum positif sudah tertutup. Mereka yang masih optimistis memberi saran perlunya meningkatkan literasi politik masyarakat agar memilih calon sesuai kompetensinya dan bukan hanya karena populer. Populer adalah modal awal para calon dinasti politik.

Selain itu, perlu juga menghapus politik uang dalam pemilu, agar lebih banyak orang bisa berpartisipasi dalam ajang pilkada. Selama ini, calon yang muncul berasal dari kelompok dinasti yang notabene telah memiliki sumber daya ekonomi yang banyak sehingga memungkinkan untuk melakukan money politics untuk membuat mereka terpilih. Dalam survei LIPI 2019, terlihat bahwa 47% responden bersifat permisif terhadap politik uang.

Persoalannya, jika presiden yang berkuasa saja permisif terhadap bahaya dinasti politik, siapa yang diharapkan mengubah semua ini?

BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini. 



Berita Terkait