RNI (Rangkaian Ngopi Imajiner) Bersama Gus Dur
Ceknricek.com-- “Jangan remehkan kekuatan orang-orang tolol dalam jumlah besar”(George Carlin, comedian Amerika).
DALAM Pidato Kenegaraan 16 Agustus 2023 kali ini, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) banyak disorot media dan public gegara nuansa ‘curhat’ yang tidak biasa dimunculkan dalam suasana formal kenegaraan selama 78 tahun usia kemerdekaan bumi pertiwi. Kali ini Presiden Jokowi menyoroti soal ramainya istilah ‘lurah’ dalam konteks perpolitikan nasional yang makin hangat-hangat kuku menurut beliau, termasuk munculnya istilah tolol yang ditujukan salah satu akademisi kepada Presiden belum lama ini dan berbuntut ke ranah hukum.
Dalam nuansa tirakatan malam menjelang 17 Agustus, tiba-tiba saja Gus Dur muncul dan berujar: ‘’Satu orang tolol saja sudah menyusahkan banyak orang…apalagi jika orang-orang tolol itu berkumpul, dan menyuarakan ketololannya? Itu pasti menjadi bencana besar. Patut diingat, orang-orang tolol ini bisa amat cerdas secara akademik. Namun, karena miskin pemikiran kritis dan reflektif, mereka terjebak dalam ketololan yang destruktif.
Dalam konteks filosofis, dapatlah digaris-bawahi bahwa ketololan adalah kebodohan yang keras kepala, artinya orang yang tolol sungguh tak sadar, bahwa ia berpikir dengan pola yang salah, tetapi tetap ngotot merasa benar. Tidak hanya itu, ia bahkan menjadi kasar terhadap orang lain, guna membela kesalahan berpikirnya tersebut. Hal ini menampar kita sekalian warga bangsa dalam mengarungi dirgahayu ke-78 republik ini: siapakah sejatinya yang tolol???
Filsafat adalah hamparan tanah tak bertuan diantara entah dan mengapa, yang membawa kita pada kenyataan bahwa filsafat tidak seharusnya menjadi minyak pada air dalam hidup keseharian. Sekali lagi, dalam konteks filosofis dan historis, ketololan amatlah patut diwaspadai bersama.
Pertama, dikarenakan ketololan itu sejatinya bersifat merusak dan mencipta konflik serta perang di dalam sejarah manusia. Mereka bisa saja berpendidikan tinggi. Namun, pikiran mereka lemah, dan sama sekali tidak kritis, sehingga tak mampu menata hasrat-hasrat agresif yang bercokol di dalam batinnya. Alhasil, mereka tak mampu menyelesaikan masalah dengan jalan-jalan damai, lalu kerap jatuh ke dalam konflik.
Kedua, ketololan itu membuat semua hal yang sederhana malah menjadi rumit. Orang-orang tolol hidup dengan semboyan, ‘’jika bisa sulit, mengapa harus dibuat mudah?“ Orang-orang yang berurusan dengan birokrasi pemerintah kerap kali mengalami langsung arti dari semboyan ini. Di banyak negara, birokrasi pemerintahlah yang justru menjadi penghalang kemajuan, dan pencipta kemiskinan terbesar.Inilah ketololan yang harus diperangi bersama demi menggapai puncak kejayaan bangsa di usia emas Nusantara nanti.
Ketiga, ketololan menutup semua jalan dialog. Secara umum, orang-orang tolol amat sensitive, dimana perbedaan pendapat mengancam kepercayaan diri mereka, sehingga mereka menjadi marah dan kecewa. Jika sudah begitu, mereka dengan mudah menyerang rekan dialognya dengan kata-kata kasar, atau bahkan kekerasan fisik. Ketololan mungkin merupakan masalah terbesar di politik Indonesia sekarang ini.
Selain itu, ketololan itu acap kali menolak untuk berubah. Di dalamnya bercokol ketakutan dan kemarahan yang amat dalam. Argumen yang dibangun dengan akal sehat, serta data-data terbaru, diabaikannya dengan begitu mudah, sambil terus tenggelam kedalam arus ketololan yang ada.
Inilah hakikat tantangan kita sebagai bangsa yang sesungguhnya, terlebih dalam mengarungi riak gelombang tahun Pemilu 2024 mendatang dalam pekatnya nuansa teknologi digital yang amat mudah memunculkan hoax serta kepalsuan dan kebohongan. Di sisi lain, ironisnya, orang-orang tolol ini cenderung menjadi korban dari kepentingan politik dan ekonomi kotor yang lebih besar.
Mereka sering disewa menjadi preman bayaran untuk menyebarkan rasa takut dan ketidakpastian di dalam masyarakat. Memang, jadi orang tolol itu banyak ruginya.
Sebagai usulan solusi atas kondisi tersebut, pada titik ini kita perlu bersama memahami apa yang diajarkan oleh Lurah Semar dalam filsafat jawa. Tiga sikap mental tersebut adalah tadah, pradah dan ora wegah. Tadah adalah sikap di mana kita menerima segala bentuk dan apapun pemberian dari Yang Maha Kuasa. Mau diberi banyak, sedikit atau bahkan tidak mendapat apa-apa pun tidak masalah, tidak komplain, tidak mengeluh dan selalu bersyukur.
Dalam perspektif Islam, hal ini mungkin biasa disebut dengan qona’ah. Di mana orang yang memiliki sifat ini akan senantiasa bersyukur dan merasa cukup dengan segala kenikmatan yang diberikan oleh Allah, sehingga bagi orang yang memiliki sikap ini tidak ada hal yang tidak bisa disyukuri.
Sikap mental yang kedua adalah pradah atau gemar memberi dan berbagi dengan penuh keikhlasan.Sikap pradah ini perlu kita miliki dalam kaitannya dengan lingkungan sekitar, di mana kita mau berbagi segala potensi yang kita punya untuk kemaslahatan bersama, baik itu ilmu, pikiran, tenaga maupun harta tanpa pamrih. Jika tadah berkaitan dengan hubungan kita dengan Yang Maha Kuasa (vertikal), maka pradah lebih kepada hubungan horizontal dengan sesama manusia.
Sikap mental terakhir menurut pitutur Lurah Semar adalah ora wegah yang berarti jangan malas dan tidak pilih-pilih. Tidak bisa dipungkiri bahwa sifat malas adalah sumber masalah dalam hal apapun di dunia ini. Oleh karena itu, sebisa mungkin kita perlu menjadi pribadi yang tangkas, cekatan dan tidak pilih-pilih dalam urusan kebaikan. Merdeka…’’ Gus Dur memekik dan hilang lenyap kembali.
Tersisalah diri ini yang masih berusaha mencerna segenap paparan beliau sambil terus menekuri malam tirakatan menjelang puncak perayaan 17 Agustus ini.
*)Greg Teguh Santoso, pemikir bebas, sedang menyelesaikan program doktoral dan terus berbagi gagasan.
Editor: Ariful Hakim