(Korban Covid- 19 walau sudah dua kali vaksinasi plus booster)
Ceknricek.com--Alhamdulillah, 59 tahun kami hidup sebagai suami istri, tak pernah kami berpisah ranjang, pisah kamar kecuali kalau salah satu tugas keluar kota. Seperti akad nikahnya teman sebelah: “… for better, for worse, for richer, for poorer, in sickness and in health, to love and to cherish…” kami selalu berdua. Dan selama lebih dari dua tahun ini saya bisa menolak rayuan gombal Miss Covid -19 ataupun ancaman dan intimidasi Omicron.
Tapi entah lewat kancing kemeja, celana atau sarung dan sajadah mana dia masuk. Semula saya merasa kerongkongan gatal, perih seperti sariawan. Perkiraanku itu akibat aku minum infuse water nanas dingin langsung dari kulkas di siang bolong. Infuse water nanas itu memang sudah dua malam di kulkas. Saya meminumnya dua hari lalu. Sudah terasa alkoholnya. Nah, infuse water nanas dingin itulah jadi kambing hitam kerongkongan yang sakit seperti sariawan ini.
Istri lantang menolak pendapat saya bahwa sakit kerongkongan ini cuma sariawan akibat minum air es di siang bolong. “Kalau buka puasa dengan air es pun, kan saya selalu sariawan,” jawab saya. Tapi dia mulai merepet. “Itulah kalau tidak dengar kata. Sudah dibilangin jangan ke masjid dulu, jangan ke masjid dulu. Itukan tempatnya banyak orang berkumpul!” Kata istri saya. “Pokoknya sekarang, cek antigen dan PCR!”
Dengan pengalaman 59 tahun serumah-sekamar-setempat tidur, saya tahu betul apa artinya kalau istri saya sudah bilang “pokoknya”. Ketegasannya bisa melebihi KOPKAMTIB dulu. Walau begitu saya jawab juga dengan nada agak tinggi pula: “Jangan salahkan masjid…”
“Bukan salahkan masjid,” sahutnya tak kalah keras. “Tapi sudah tahu kan dilarang berkumpul…!”
Saya tiba-tiba teringat pada petuah Orang Bugis, yang sering diucapkan almarhumah ibu saya, “Coba pahami, nak.” Try put yourself in her shoes, kata Londo Inggris. Maka demi keamanan dan keselamatan dunia yang fana ini, saya mengalah lah.
Dalam perjalanan ke sebuah klinik di bilangan Gondangdia Lama, Menteng, saya duduk di belakang, di kursi sebelah kiri, bak bos besar. Mobil dikemudikan sopir cantik. Tiba-tiba istri saya berkata: “Kalau positif batalkan saja puasamu!”. Saya juga sudah berpikir begitu tapi sedih rasanya membatalkan puasa sunnah Senin ini karena Kamis lalu saya tidak puasa. Ketiduran, terlambat saur. Saya juga merasa berdosa sebab ketika saur tadi saya menikmati betul makanan India kiriman anak sulung saya.
Saya mengiyakan pendek. Demi keselamatan dan keamanan dunia.
Laboratorium itu agak ramai. Istri saya mengambil nomor termasuk untuk dirinya sendiri walau baru empat hari lalu dia test antigen dan PCR di rumah. Saya juga ikut test antigen dan hasilnya negatif. Sejak kedatangan wabah Covid -19 ini hampir setiap dua-tiga pekan kami melakukan test antigen di rumah. Ada perawat dari sebuah laboratorium yang datang secara teratur atau sesuai panggilan. Dari waktu-ke-waktu istri yang melakukan test PCR.
Tak sabar menuggu keterangan gadis berpakaian astronaut yang mengambil sample dari hidung dan tenggorokan saya. Dia menunggu di dalam cubicle sampai muncul garis di lempengan plastik berselaput cairan kimia. “Nah tuh!” katanya ketika ada dua garis kecil tampil di lempengan itu. “Positif kan.” Saya tidak menjawab.
Dalam perjalan pulang dia singgah di sebuah rumah makan di Jalan Gondangdia Lama yang terkenal degan istilah “masakan orang rumah”. Saya tetap duduk di kursi kiri belakang bagaikan bos besar yang supir cantiknya sekarang juga merangkap orang suruhan untuk membeli makanan di warung tua itu.
Saya menikmati mie bakso hangat sepanjang perjalanan sampai tiba-tiba sebuah sepeda motor memotong tajam di depan mobil kami dari sebelah kanan, persis saat mobil menanjak di dalam trowongan jalan Pierre Tendean. Istri saya terkejut, menginjak rem, menekan klakson sambil beteriak “Goblok!”
Pengendara itu pasti tak mendengarnya dan tak hirau. Tapi kuah hangat mie bakso saya tumpah membasahai baju, menembus pantalon dan celana dalam saya sampai ke jok mobil. Hangatnya kuah mie bakso itu terasa sampai ke kepala “pistolino” saya. Saya hanya menggeram, tak berani menyalahkan siapa pun.
Acara menikmati mie bakso terhenti di situ karena saya harus membersihkan baju, celana dan jok mobil yang basah karena kuah dan potongan mie dengan tissue basah yang tersedia di mobil. Saya bersyukur kuah mie itu tumpah sekarang. Sekiranya ia tumpah 40-50 menit lalu, ketika plastik kuah itu saya buka di depan warung di Gondangdia itu, saya khawatir kepala “pistolino” saya pasti sudah belang.
Isolasi di perpustakaan
Sekarang aku harus tidur di sofa kecil di ruang kerja saya, dikelilingi buku-buku perpustakaan pribadi saya. Meja lipat di dapur sekarang masuk ke ruang kerja untuk tempat piring makan, cangkir, sendok-garpu, poci listrik pemanas air, dan buah-buahan. Aku serasa di dalam sel isolasi polisi tanpa jeruji. Makanan diantarkan sampai ke depan pintu. Saya menjemputnya setelah mendengar ketukan atau mendengar pesan: “Ini makanannya.” Aku diasingkan oleh Miss Covid-19 di dalam rumahku sendiri, dipisahkan dari orang yang saya cintai.
Maka aku bersumpah membalaskan dendamku, Miss Covid-19. Demi badai dan hujan lebat, demi topan, kilat dan guntur, dan lampu yang padam di malam Jum’at nanti, jika tiba-tiba kau muncul di dalam kamarku, akan kusambut kau dengan bentakan: Lock the f…ing bloody door. Hurry up and get in under the blanket. My wife is asleep.
Salam sehat. Stay safe stay healthy.
* Penulis wartawan senior dan mantan anggota Dewan Pers
Editor: Ariful Hakim