Ceknricek.com--Baru-baru ini muncul lagi berbagai tulisan yang intisarinya adalah kekhawatiran bakalan terjadinya “Arabisasi” di Bali. Di antaranya yang ditulis oleh seseorang bernama Denny Siregar (tidak jelas apakah beliau masih dapat menggunakan marga Siregar, mengingat telah adanya putusan yang mencabut kembali marga itu dari Denny. Sebagaimana baru-baru ini luas diberitakan oleh media di Indonesia, “ Kini beredar maklumat dari persatuan Marga Siregar Tapanuli Selatan yang tidak mengakui Denny Siregar sebagai salah satu saudara semarga.)
Menurut Denny kalau “wisata halal” sampai menjadi kenyataan maka niscaya itu akan merusak Bali antara lain (dan terutama) karena wisata halal niscaya akan menjurus ke “Arabisasi”.
Tidak jelas di mana kaitannya antara wisata halal dengan Arabisasi. Kecuali kalau yang dimaksudkan dengan Arabisasi adalah menyebarnya ajaran orang Arab (Islam?) yang diselipkan dalam wisata halal.
Semudah itukah rakyat Bali dijadikan “korban” Arabisasi?
Dalam buku “The Abacus and The Cross” tulisan penulis terkenal Nancy Marie Brown, diriwayatkan bahwa “hanya sekitar separuh dari penduduk Cordoba (Spanyol) ketika berada di bawah penguasa Muslim, yang beragama Islam, selebihnya adalah penganut ajaran Kristiani. Dan di antara penduduk yang beragama Kristen itu ada yang dengan sukarela berdinas dalam ketentaraan (Muslim).”
Bukan itu saja, melainkan juga begitu kuatnya pengaruh Arab, hingga banyak penyair Kristiani yang menulis kisah-kisah erotis dalam bahasa Arab. Bahkan misa di gereja pun diselenggarakan dalam bahasa Arab. (The Abacus and The Cross hal. 50-51). Namun mereka tetap pada anutan Kristiani mereka, sampai kini.
Patut diingat bahwa Spanyol pernah berada di bawah penguasa Muslim selama ratusan tahun. Namun demikian bangsa Spanyol sampai sekarang masih berpegang pada ajaran Gereja Katolik/Kristen. Apakah rakyat Bali tidak sekukuh bangsa Spanyol dalam mempertahankan anutan mereka? Meski Belanda pernah menjajah ratusan tahun di Indonesia, namun rakyat Bali tidak mengikuti agama penjajah Belanda.
Jadi tidak adil kalau ada yang menganggap rakyat Bali dapat dengan mudah diumbang-ambingkan oleh ajaran agama lain, lewat, misalnya, wisata halal.
Soal wisata halal ini juga pernah menimbulkan perdebatan dan penolakan sengit ketika ada wacana oleh Gubernur Sumatera Utara tentang hal ini. Tokoh-tokoh asal kawasan-kawasan wisata di Sumut, seperti Danau Toba, menentang keras maksud Gubsu tadi.
Soalnya halal itu sebenarnya tidak berarti Islamisasi, meski tidak sedikit bahkan di Indonesia yang suka menyamakan halal dengan Arabisasi. Apa pun, sebagaimana pernah dilaporkan oleh CNN Indonesia, sebelum pandemic Covid-19 angka pengunjung/wisata dari negara sekitar Indonesia adalah yang terbanyak, seperti Malaysia, yakni berkisar 55 persen.
Jadi konsep wisata halal itu pada hakikatnya dimaksudkan untuk mengambil pasar yang sedang bertumbuh saat ini, yakni wisata halal. Pada tahun 2018 saja jumlah wisatawan muslim mancanegara berjumlah 140 juta.
Berdasarkan data Global Muslim Travel Index 2019 pada tahun 2026 diperkirakan angka tersebut akan bertambah lebih besar menjadi 230 juta. Diperkirakan juga, pemasukan dari wisatawan muslim mencapai US$ 300 juta pada ekonomi global.
Pada tahun 2019, Indonesia berada di posisi pertama sebagai negara muslim tujuan wisata halal dunia dengan skor 78. Sementara untuk negara non-muslim, Singapura berada di peringkat pertama, disusul Thailand, Inggris, dan Jepang.
Dari segi “fulus” (maaf, maksudnya uang) memang cukup menggiurkan. Namun menurut seorang pemuka masyarakat Batak di kawasan Toba, “Orang Batak, penduduk asli setempat, memperlakukan pendatang sebagai "Tondong" (saudara) ataupun "Dongan" (sahabat). Di sana-sini, berkeliaran ternak babi dan anjing.”
Dalam Islam babi memang haram, kecuali dalam keadaan darurat, sementara anjing dianggap najis, dan haram dimakan.
Memang dalam kitab suci Umat Islam, Al Qur’an, ada firman yang menyuruh “sekalian manusia” agar memakan bukan saja yang halal, melainkan juga berkhasiat.” (QS 2:168).
Dan kata halal punya makna: membebaskan, memecahkan, melepaskan, membubarkan dan juga dapat pula diartikan membolehkan.
Dalam hal daging disebut halal apabila disembelih dengan nama Allah. Dari segi kesehatan, paling tidak di Australia, daging dianggap aman untuk dimakan manusia apabila telah disembelih dan darahnya dialirkan keluar.
Ketika masih bertugas di Radio Australia penulis sempat beberapa kali meliput rumah pemotongan hewan di negara ini. Dan biasanya pihak rumah pemotongan hewan akan menjelaskan bahwa apabila seekor sapi, misalnya, ketika dipingsankan sebelum disembelih, mati, maka dagingnya dianggap tidak layak untuk dimakan manusia. Dan daging dari sapi atau domba yang mati sebelum disembelih (darahnya tidak sempat dialirkan) akan dijadikan bahan untuk makanan binatang peliharaan seperti anjing dan kucing.
Harus diakui, di Australia, Inggris dan sejumlah negara mayoritas non-Muslim, memang terkesan ada “alergi” terhadap perkataan halal.
Otorita Serfifikasi Halal Australia, Mohamed El-Mouelhy mengatakan pasar ekspor halal Australia bernilai lebih dari 10-miliar dolar (sepertiga dari ekspor bahan makanan dari Australia ke negara-negara Muslim). Dan ekspor ini memang sedang tumbuh pesat. Berbagai perusahaan bahan makanan di Australia telah melakukan “penghalalan” dari produk mereka.
Perusahaan keju Bega, misalnya, harus menambah karyawan/watinya dari sebelumnya hanya 100 orang menjadi 500 karena besarnya permintaan akan keju halal. Jelas yang diuntungkan dalam “penghalalan” ini bukan saja para karyawan/watinya melainkan juga hulu dan hilir dari produsen susu.
Meski kampanye anti halal memang cukup menggebu, namun, begitu kata Mohamed El-Mouelhy, pihaknya tidak perlu menjajakan sertifikat halal kepada para pengelola bisnis di Australia. “Mereka yang mendatangi kami,” katanya.
Dia juga sempat berkelakar ketika salah seorang pimpinan kampanye anti makanan halal di Australia menentang ekspor coklat halal. Katanya “Sekadar makan yang halal tidak akan menjadikan anda Muslim.”
Dan pihak pabrik coklat itu mengatakan tidak ingin membatalkan sertifikat halalnya karena usahanya itu menyangkut kesejahteraan hidup cukup banyak karyawan/watinya, yang umumnya adalah non-Muslim.
Ketika di Inggris terjadi kegemparan karena sejumlah warung siap saji menghidangkan makanan halal (seperti KFC, Pizza, Subway dan lain-lain) seorang dokter hewan negara itu (bukan Muslim) menyarankan kepada para pemrotes agar mengalihkan perhatian dan “perjuangan” mereka untuk menyelamatkan babi betina di negara itu.
Kenapa babi betina di Inggris perlu diselamatkan?
Sebagaimana dilaporkan berbagai media di Inggrris,”Kehidupan babi-babi betina yang dijadikan induk di Inggris, dan 90 persen negara Eropah, sungguh sangat berat dan teruk.”
Babi-babi betina ini hidup terus menerus dalam kurungan yang sempit dan berulang-ulang dihamilkan secara artifisial mulai dari usia enam sampai dengan delapan bulan. Akibatnya seekor babi betina seperti itu akan melahirkan sampai 10 ekor anak babi, bukan empat atau lima seperti di habitat alamiahnya.
Seminggu sebelum waktu akan melahirkan seekor babi betina akan dikerangkeng dalam kurungan sempit dan akan terus di sana selama sebulan, dalam keadaan tidak dapat maju atau mundur, atau beralih ke kiri atau kanan. Anak-anaknya kemudian “dipaksa” menyusu dari kurungan di dekat induknya. Anak-anak babi itu dipisahkan karena khawatir akan terinjak oleh induknya.
Meski masa sapih babi biasanya terjadi setelah dua atau tiga bulan, namun “pabrik-pabrik” babi di Inggris dan Eropa memisahkan anak-anak babi itu setelah tiga atau empat minggu, agar induknya bisa dihamili lagi, lebih cepat daripada secara alamiah. Dan anak-anak babi itu dalam waktu dekat akan menjadi santapan manusia, antara lain, sebagai babi guling.
Snowing in Bali
Barangkali yang lebih “menyeramkan” dari wisata halal bagi Bali adalah apa yang tertuang dalam buku tulisan wartawati terkenal Australia, Kathryn Bonella, berjudul “Snowing in Bali” arti harfiahnya “Jatuhnya Salju di Bali”.
Dalam buku yang dikatakannya sepenuhnya berdasarkan pengakuan mereka-mereka yang terlibat dalam perdagangan dan penyaluran narkoba, terutama yang berasal dari Amerika Selatan, Bali merupakan basis distribusi narkoba ke negara-negara lain, seperti Australia.
Buku ini menggambarkan peri kehidupan yang jelas-jelas berlawanan bukan saja dengan agama-agama yang dianut oleh bangsa Indonesia, melainkan juga bahkan dengan budaya-budaya bangsa Indonesia.
Kalau apa yang tertuang dalam buku “Snowing in Bali” 50% saja benar alias sesuai keadaan yang sesungguhnya, kita sebagai bangsa Indonesia yang dibimbing oleh “Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” patut cemas dan marah, dan wajib melakukan pembersihan, sedangkan kalau buku ini hanyalah isapan jempol belaka, maka pihak berwenang patut mempertimbangkan langkah hukum untuk menggugat penulis dan penerbitnya.
Mungkin ini merupakan tantangan bagi Denny untuk membersihkan Bali dari kemaksiatan yang dilakukan orang-orang asing yang numpang hidup sambil memperkaya diri dan terlibat dalam gelimangan maksiat yang berlawanan dengan Pancasila.
Bab pertama buku “Snowing in Bali” berjudul: “Island of the Sex Gods” – Pulau Para Dewa Seks.
Ayo Denny, silahkan singsing lengan baju anda!
Baca Juga : Benarkah Orba Pernah Memanfaatkan Arief Budiman?
Baca Juga : Di Australia Ada Pemda Bikin UU OMNIBUS