Monolog di Subuh Berhujan | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Sumber: Istimewa

Monolog di Subuh Berhujan

Sketsa Serba-Serbi Sholat Subuh (12)

Ceknricek.com--KALAU kita mau mendapat udara pagi yang segar dan bersih, berangkatlah sholat subuh di masjid.  Begitu kita keluar rumah menuju masjid, langsung terasa udara  bersih dan segar masuk ke hidung kita untuk dikirim ke paru-paru. Bagian tubuh yang lain pun merasakan nikmatnya udara subuh yang segar dan menyehatkan. Sebaliknya, selain mendapat “nikmat” udara yang baik bagi kesehatan, sholat subuh di masjid juga terkadang harus menghadapi berbagai  rintangan cuaca, terutama di musim penghujan.

Ketika kita mau berangkat ke masjid, sering sekali sudah ada hujan lebat, atau tiba-tiba turun hujan lebat. Tidak mungkin kita tidak membawa payung karena jika tidak membawa payung pastilah badan basah kuyup, sehingga justeru tidak memungkinkan atau mempersulit kita untuk  sholat subuh di masjid.

Ketika hujan, baik yang kecil, apalagi yang lebat, sebelumnya  kerap membuat terjadi  “monolog” dalam diri pribadi. Pasti turunnya hujan membuat diri kita sering ragu untuk melangkah ke masjid. Banyak pertimbangan dapat kita jadikan alasan untuk kita tidak berangkat ke masjid. Manusiawi sekali jika dingin-dingin sedang  di luar rumah hujan yang dapat membuat kita repot dan badan juga mungkin kena flu dan sebagainya, membuat kita setengah ragu untuk berangkat.

Pada  bagian lain, keimanan dan ketaqwaan kita justeru menghendaki kita harus berangkat. Adanya  hujan di subuh hari merupakan salah satu faktor penguji yang dapat menjadi ajang pembuktian keimanan dan ketaqwaan kita . Disinilah terjadi monolog dua kubu yang berseberangan pendapat dan sikap dalam diri kita.Sebuah “monolog” yang terkadang begitu tajam:

“Ini hujan  lho. Realistis aja deh. Biar pake payung juga kemungkinan kecipratan air, dan kepala dapat jadi pusing. Gak usah dululah sholat subuh di masjid. Kan  sudah rutin sholat subuh disana. Ini pengecualian. Toh, Allah pun pasti bakal maklum,” kata satu sisi hati yang menganjurkan tak perlu sholat subuh di masjid.

“Nah, ini justeru kesempatan memperoleh pahala dan nikmat yang lebih besar. Karena sholat subuh di masjid tanpa ada rintangan apa-apa , itu sih  biasa saja. Gak ada yang istimewa. Tapi kalau kita menerabas hujan besar ke mesjid, itu baru luar biasa… . Jalan ke masjid manakala hujan  itu merupakan pembuktian diri kita sebagai orang yang beriman dan bertaqwa,” jawab sisi hati lain yang menganjurkan tetap pergi ke masjid.

“Gak  pergi ke masjid dalam situasi semacam ini bukan  berarti kita tidak beriman, atau tidak bertaqwa. Kita kan tidak meninggalkan sholat subuh. Kita tetap sholat subuh kok, tapi di rumah. Dan kita juga bukannya gak berniat pergi ke masjid, tapi kondisi cuaca yang buruk dapat membuat tubuh kita sakit. Selama ini juga sudah selalu ke masjid. Allah juga pasti tahulah. Gak  usah ngotot-ngotot gak  karuan. Jangan emosi. Pikirin matang-matang,” balas hati yang menganjurkan tidak sholat subuh di masjid.

Dibantah lagi oleh hati yang menganjurkan tetap ke masjid. “Hujan itu, segede apapun, kalau untuk menghadap Allah di rumah Allah, cuma perkara kecil. Masak _ cuma karena ada hujan saja kita gentar mau datang dan sholat di rumah Allah. Pencundang _banget. Kalau hanya takut kena hujan kita tak jadi berangkat ke masjid  untuk sholat subuh, bagaimana kita dapat  mengatakan kita mempunyai iman dan taqwa yang kuat. Katanya hidup dan mati kita untuk Allah, eh, giliran ada hujan, kita jadi pengecut. Coba, kalau kita dipanggil pejabat tinggi atau mau mendapat duit, apakah hujan juga menjadi rintangan? Tidak bukan?!  Ayo sana, tetap ke masjid sholat subuh disana.”

Terus terang saja, monolog dalam hati seperti itu sempat terjadi pada diri hamba  berkali-kali. Pergi ke masjid, tidak?  Tapi hal ini terjadi sudah lama sebelum  ada ketetapan hati. Kiwari, hujan tidak hujan, hujan kecil atau besar,  hamba sudah memutuskan bakal berangkat ke masjid.  Baru dicoba secuil itu saja, masak  kecut, sementarara nikmat Allah tiada terkirakan. Malulah hamba kepada Sang Kuasa andai cuma lantaran hujan tak sholat subuh di mesjid.

Walaupun faktanya memang sholat subuh di masjid kala hujan tak gampang. Mau minta “pembantu rumah tangga,” membantu kita, dia sendiri pun belum bangun. Lagipula kasihanlah, dia harus bangun subuh sementara nanti sudah  banyak pekerjaan lainnya, apalagi kalau pembantunya perempuan.

Biasanya  andai hujan besar, diiringi juga angin.  Kalau sudah begini, tidak mungkin kita memakai payung kecil. Selain air hujan bakal mengenai tubuh kita dari samping dan belakang, payung yang kecil sendiri dapat terbang ditiup angin. Jadi, harus payung besar. Memakai payung besar di tengah hujan angin, sejak membuka dan menutup pintu pagar rumah pun tak sesederhana yang dibayangkan orang.

Pagar yang terkunci, harus dibuka. Lantas pintu pagar yang lebih dari dua meter di rumah hamba  harus didorong untuk dibuka. Lantas harus ditutup lagi. Dikunci  lagi. Kalau tidak memegang payung besar, sebenarnya sih amat mudah melakukannya, tapi jika tangan kita sedang memegang payung besar, menimbulkan kesulitan tersendiri.  Payung dapat bertabrakan dengan pagar.

Kalau salah pegang payung, hujan bakal mendera kita. Jadi, memang perlu sedikit “perjuangan.”  Begitu pula waktu pulang harus dilakukan hal sama. Kalau pagar tidak tutup dan dikunci  lagi,  khawatir ada maling masuk.  Situasi seperti ini salah satu yang menjadi incaran maling. Usai sholat, hujan mungkin sudah reda, atau bahkan berhenti. Tapi dapat juga masih tetap masih  besar. Tiap keadaan dapat berbeda-beda.

Pengalaman hamba, pergi ke masjid tidak hujan, tapi waktu kita mau pulang terjadi hujan besar, ini yang merepotkan. Kalau dari rumah sudah hujan, kita pastilah sudah bawa payung. Sebaliknya, jika dari rumah tak ada tanda-tanda hujan, tetapi lantas ketika sholat di masjid mendadak turun hujan yang lebat, kita belum tentu bawa payung.

Jika waktu berangkat sudah mendung, mungkin kita juga bawa payung. Tapi kalau cuaca tidak jelas, apalagi tak ada tanda-tanda ada hujan, kita tidak akan bawa payung.

Maka ketika kita berangkat sholat subuh di masjid turun hujan, dan ketika selesai sholat, hujan tambah lebat, padahal kita tak bawa payung, nah, disini problemnya. Kalau kita mau menunggu hujan reda apalagi berhenti, kita tidak tahu kapan tepatnya.  Kita bisa menunggu sampai siang. Acara-acara kita selanjutnya dapat berantakan.

Mau lari menembus hujan, badan bakal basah kuyup. Pilih mana?

Kenapa tidak  telepon ke rumah minta dianter payung? Biasanya hamba  pergi sholat subuh ke masjid pada umumnya tak  bawa HP. Praktis enggak  dapat menghubungi rumah. Dalam keadaan seperti ini,  hamba  sering beruntung. Istri mengirim orang rumah ke masjid mengantar payung buat hamba. Selamatlah hamba pulang ke rumah tanpa basah.

Tapi tak selamanya istri ingat suaminya sedang menghadapi situasi seperti ini. Nah alternatifnya: kalau hujan nggak terlalu deras, hamba terobos  saja. Basah-basah dikit, tidak apa-apalah. Kalo hujan deras, apa boleh buat, terpaksalah hamba dan jamaah masjid lainnya menunggu hujan reda. Kecuali hamba ada janji di pagi hari, mau tidak mau harus melawan hujan lebat,  supaya tidak terlambat dari janji.

Beberapa kali terjadi, pada diri hamba, waktu berangkat hujan. Makanya hamba  berangkat memakai payung. Setelah selesai sholat subuh, hujan sudah berhenti total. Lantas saya pulang aja lenggang  kangkung jalan kaki begitu saja. Payung yang tadi hamba  bawa, lupa diambil  dan dibawa pulang kembali, dan tertinggal mesjid….

Itu mungkin cermin dari kita yang berada pada strata ekonomi “rata-rata” atau kalangan menengah. Kalau Tuan orang berada, nggak usah repot-repot. Minta saja “ajudan” atau “asisten” untuk mengaturnya buat Tuan. Gak perlu repot-repot…T a b i k *

(Bersambung….)

#Wina Armada Sukardi, wartawan dan advokat senior serta Dewan Pakar Pengurus Pusat Muhammadiyah. Tulisan ini merupakan reportase/opini pribadi yang tidak mewakili organisasi.

 

 


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait