Ceknricek.com --Khalifah kedua Umar Ibnu Khattab (ra) pernah menolak ketika ditawari agar menunaikan salat zuhur dalam Gereja Makam Kudus di Al Quds (Yarusalem) oleh pemimpin rumah ibadah tersebut. Namun kini, ratusan – mungkin bahkan ribuan – muslim salat dalam berbagai (bekas) gereja di Australia.
Bagaimana bisa?
Pasalnya, dalam jangka waktu 18 bulan terakhir ini saja sudah lebih dari 300 gereja di Australia yang terpaksa dilego karena kekurangan jemaa’t. Dan di antara yang membelinya adalah masyarakat Muslim yang memang “kewalahan” disebabkan bukan saja kekurangan masjid melainkan juga pertambahan umat.
Lagipula ada pemilik gereja yang mempersyaratkan kepada calon pembelinya agar gereja mereka hanya boleh dijadikan tempat ibadah (agama lain). Tidak semuanya. Ada juga gereja yang oleh pembelinya kemudian dijadikan tempat bermain musik, atau toko atau bahkan tempat tinggal.
Sebagaimana dikemukakan seorang pengamat, “Sekiranya warga Australia tidak lagi beribadah di dalamnya (gereja) maka mereka kini ada yang makan di dalamnya, menikah di dalamnya atau bahkan bergerak badan/berolahraga di dalamnya.” Dan bermain musik di dalamnya.
Sejarah meriwayatkan bahwa adalah dalam abad ke-19 gereja-gereja mulai banyak didirikan di Australia, namun sejak tahun 1960, terjadi penurunan cukup tajam dalam jumlah jema’at yang mendatangi gereja untuk beribadah. Sebenarnya cukup banyak anggota masyarakat Kristiani di Australia yang tersinggung gereja dijadikan tempat kegiatan duniawi.
Foto: Istimewa
Sebaliknya dengan “masjid”. Tidak semua masjid di Australia berbentuk arsitektur tradisional masjid seperti yang kita kenal di Indonesia. Misal saja salah satu (benar! salah satu dari sekian) masjid warga Indonesia di sekitar Melbourne – yang dikenal dengan nama Masjid Westall milik IMCV – Indonesian Muslim Community in Victoria – Masyarakat Muslim Indonesia di Negara Bagian Victoria.
Awalnya “masjid” ini adalah rumah biasa diapit oleh sebuah sekolah dan pusat pertokoan terbatas. Berkat sumbangan keuangan dari berbagai pihak, rumah ini kemudian disulap menjadi masjid. Awalnya ada halaman parkir yang cukup luas di sisi masjid, namun berangsur-angsur sarana ini harus ditutup dan diubah menjadi bagian dari masjid agar jema’ah, khusus di hari Jum’at dapat ditampung. Lama kelamaan jumlah yang ingin salat sudah tidak lagi tertampung, dan timbullah masalah.
Baca Juga : Berburu Immunitas di Markas Artis Legendaris
Ketika Masjid Westall hendak dibangun ada ketentuan dari kotapraja setempat agar mobil jema’ah tidak boleh diparkir sembarangan, khusus di halaman parkir pusat pertokoan terbatas itu. Tapi apa hendak dikata, ketika jema’ah ada yang terlambat datang di hari Jum’at, mereka tergesa-gesa memarkir mobil sembarangan.
Penduduk sekitar protes dan mengadukan hal ini ke kotapraja, dan sesudah berbagai peringatan tidak dihiraukan, akhirnya keluar ketentuan larangan menyelenggarakan salat Jum’at, meski kegiatan-kegiatan ibadah lainnya, seperti pengajian, tarawih dan acara-acara lain masih diperbolehkan.
Apa daya? Dicarilah tempat lain untuk menyelenggarakan salat Jum’at secara sembunyi-sembunyi khusus untuk Muslim Indonesia, dengan menyewa sebuah gedung yang tidak terlalu besar sebagai sarana. Rahasia ini pun bocor dan jema’ah (dari berbagai bangsa) kembali memadati tempat salat.
Akhirnya memang dapat disewa sebuah gedung rekreasi yang terletak di tengah-tengah hamparan taman yang luas dengan tempat parkir yang lebih dari memadai. Alhamdulillah.
Sementara itu berbagai masjid terus dibangun. Sayangnya, sejumlah gereja yang selama bertahun dijadikan masjid akhirnya dirobohkan dan di tempatnya dibangun masjid yang megah.
Misalnya masyarakat Turki di kawasan Dandenong, Melbourne Timur. Selama bertahun-tahun mereka menunaikan salat di sebuah gereja yang disulap menjadi “masjid”. Ketika gereja itu dibeli, panitia membangun serambi di dalam gereja khusus untuk muslimah yang di Australia memang rajin mengikuti salat Jum’at dan tarawih.
Jelas setiap gereja yang dijadikan masjid tidak lagi memiliki lambang salib di bagian atapnya. Namun gereja yang berubah fungsi menjadi masjid itu pada hakikatnya merupakan lambang dari “toleransi” yang diajarkan Islam.
Khalifah Umar Ibnu Khattab (ra) menolak tawaran agar menunaikan salat zuhur di Gereja Makam Kudus di Al Quds (Yarusalem)bukan karena hal itu dilarang dalam Islam, melainkan karena tenggang rasanya. Beliau khawatir kalau sampai melaksanakan salat di gereja tersebut ada kemungkinan umat Islam di Al Quds nantinya juga akan berbondong-bondong melaksanakan salat di gereja tersebut, hingga umat Kristen akan kewalahan. Toleransi yang begitu menyejukkan.
Baca Juga : Ibu Kota Sedang Berduka
Masyarakat muslim dari Bosnia juga pernah membeli bukan saja gereja melainkan juga sekaligus dengan sekolah Katolik, di Noble Park, juga kawasan Timur Melbourne. Dan gereja tersebut diubah fungsinya menjadi masjid, sesudah salib diturunkan, mihrab dan qiblat ditetapkan. Namun kemudian hasrat hendak mengobati rindu akan “Islam” di negeri asal – Bosnia – dengan masjid-masjid mirip arsitektur Turki, akhirnya menjelma menjadi sebuah masjid yang sangat megah dan luas, lengkap dengan sarana-sarana pendukungnya, seperti bangunan-bangunan khusus untuk pertemuan dan kegiatan-kegiatan lain, seperti buka puasa bersama, dengan mengundang tokoh-tokoh dari masyarakat agama lain.
Suatu catatan sejarah menyebutkan bahwa “masjid” pertama di kota Melbourne didirikan oleh masyarakat asal Albania yang membeli dua rumah yang berdempetan tidak jauh dari pusat kota. Dinding pemisah kedua rumah tersebut kemudian dijebol agar terdapat ruang yang lebih lapang untuk jema’ah melakukan salat.
Tidak lama kemudian di sebuah kota perkebunan buah-buahan Sheparton, sekitar 150 kilometer dari Melbourne, masyarakat Albania di sana mendirikan masjid pertama mereka. Ketika suatu kali, dalam rangka tugas sebagai broadcaster Radio Australia, saya berkunjung ke masjid tersebut menjelang maghrib, banyak saya lihat orang tua-tua yang menyabuti rerumputan yang menyembul dari celah-celah beton yang sudah terluka. Ketika saya tanyakan kenapa mereka melakukan hal itu, jawabnya “sebagai bentuk sedekah” untuk masjid.
Ketika seorang Imam asal Afrika yang tuna netra berhasil menghimpun dan menggalang dana untuk mendirikan sebuah masjid di kawasan barat kota Melbourne, ia sempat harus membela diri. Itu dikarenakan ia memberi nama masjidnya itu Masjidil masihah Maryam – Bunda Maria menurut kepercayaan umat Kristen. Umat Kristen setempat tidak terima bahwa masjid itu namanya diambil dari ibu Tuhan mereka (Yesus Kristus) atau ‘Isa (as).
Ketika dijelaskan bahwa Islam bukan saja mengakui dan mengagungkan Sittana Maryam (as) melainkan dalam kitab suci Al Qur’an ada surah yang bernama Maryam (Surah ke-19). Kini banyak masjid di Australia yang setiap tahun menyelenggarakan “open house” mengundang siapa saja yang berminat untuk menjenguknya, agar mereka menjadi lebih tahu tentang Islam (bukankah “tak kenal maka tak sayang”?).
Beberapa waktu silam, masyarakat Muslim di kota Bendigo (sekitar 150 kilometer di utara Melbourne) memutuskan untuk mendirikan masjid. Pihak kotapraja ternyata tidak mempersulit dan Izin Mendirikan Bangunan untuk sebuah rumah ibadah dikeluarkan.
Namun tidak semua non-Muslim menerima kenyataan itu, dan sejumlah anggota haluan kanan garis keras yang dikenal dengan julukan “White Supremacists” (mereka yang merasa lebih mulia karena berkulit putih) dari luar Bendigo berhasil mengajak sejumlah penduduk kota tersebut untuk melancarkan unjukrasa menentang pembangunan masjid yang sudah punya IMB itu.
Menarik adalah keputusan pemilik sebuah bank kecil bernama Bendigo Bank yang cabangnya terdapat di berbagai kawasan di negara bagian Victoria. Bank ini membanggakan dirinya (dalam promosi dan iklannya) sebagai Bank Rakyat Awam. Pemilik bank tersebut, seorang Katolik, menginstruksikan kepada jajarannya agar menutup rekening semua peserta unjukrasa dari kalangan “White Supremacist” tersebut. Ia menunjukkan kesetiakawanannya terhadap umat Islam di Bendigo. Alhamdulillah.
Di Australia ada ketentuan bahwa pembangunan sebuah rumah ibadah (bukan hanya masjid) harus mendapat restu dari mayoritas masyarakat setempat, sebelum IMB dapat dikeluarkan. Namun ada kalanya otorita yang mengeluarkan IMB (Kotapraja) akan menyarankan kepada pihak yang ingin mendirikan rumah ibadah itu tapi ditentang oleh mayoritas masyarakat setempat agar banding.
Foto: Istimewa
Ini terjadi dengan sebuah masjid bernama Isomer, di kawasan perbukitan di bagian timur Melbourne bernama Lysterfield. Meski ditolak mayoritas penduduk setempat yang umumnya adalah petani dan peternak, namun melalui banding akhirnya IMB keluar dan masjid yang mungil terletak di ngarai daerah perbukitan itu, lengkap dengan rumah-rumah jompo dengan kubah khas Islami, akhirnya berdiri, meski sempat terganggu ketika suatu kali para pekerja konstruksi menemukan kepala babi dalam bangunan yang masih belum rampung itu. Namun hanya sekali itulah adanya gangguan. Sampai hari ini segalanya aman tentram.
Suatu kali saya diminta untuk mendampingi menteri besar (sebanding gubernur) Negara Bagian Victoria yang ingin meninjau rumah jompo tersebut. Ia menanyakan berapa banyak penghuninya yang Muslim. Saya jelaskan bahwa umumnya Muslim menganggap tugas mulia kalau mengurus orang tuanya, apalagi yang sudah uzur. Ia sadar dan mengatakan, “Oh seperti di negeri orang tua saya, Libanon,” katanya. Ia adalah Kristen Maronit asal Timur Tengah.
Di sekitaran kediaman saya di kawasan Timur Melbourne ada 4 masjid yang masing-masingnya dapat saya datangi dalam jangka waktu hanya 10 menit dengan mobil. Ada masjid Isomer yang disebutkan tadi, ada masjid masyarakat India yang sangat megah di Hallam, ada masjid Afghanistan, ada masjid Turki.
Bagaimana pun di Australia ini terdapat lebih banyak gereja (13.000) daripada sekolah (9.500). Meskipun menurut hasil cacah jiwa (sensus) paling akhir di Australia, agama terbesar di negara ini adalah Kristen (61,1%), jauh melebihi dua agama terbesar lainnya yakni Islam (2,6% - 604.200 umat, dan Buddhisme (2,5%), namun tidak sampai 1 dari tiap-tiap 7 orang Kristen yang mengaku rajin ke gereja.
Meski di Australia agama yang paling cepat bertumbuh sekarang ini adalah Hindu dan Sikh, namun menurut suatu kajian tahun 2017, Islam dalam abad ke-21 merupakan agama yang paling cepat bertumbuh di dunia dan lambat laun diperkirakan akan menjadi agama terbesar di dunia. Wallahu a’lam.
BACA JUGA: Cek LINGKUNGAN HIDUP, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.