Ceknricek.com--Baru- baru ini secara berulang menkes bukan dokter dan tidak pernah tahu tentang Pendidikan Dokter dan Dokter Spesialis ini, mencoba membual dan membual lagi, berdasarklan info yang tidak lengkap dan terbatas, sepotong- sepotong, kata orang-lah, di luar negeri-lah, dsb. Baik di depan DPR (terkait sekolah PPDS hanya untuk orang kaya), maupun pada acara Rosi Kompas TV (terkait kompetensi operasi Sesar dan mutasi mendadak dokter spesialis), semuanya adalah narasi kosong, minim literasi, penuh kebohongan, dan manipulatif, serta disampaikan secara sepihak tanpa ada pihak lain yang diberikan kesempatan untuk mendebat. Jadilah narasi menkes tersebut sebuah pertunjukan monolog kebohongan yang seolah jadi alat pembenaran terhadap semua kebijakan yang penuh kontroversi terkait Dokter dan Pendidikan Dokter.
Saat acara Rosi Kompas TV (https://youtu.be/J4whti56CLs?si=kRyn5WZRFvjn1RU), Rosi mempertanyakan soal mutasi mendadak yang dilakukan menkes terhadap beberapa dokter spesialis, tenaga fungsional/ Pendidik Klinis. Mutasi ini ditengarai sebagai upaya intimidasi dan pembungkaman bagi kalangan akademisi dan dokter spesialis yang bekerja di RS Kemenkes. Yang dipertanyakan adalah Mutasi terhadap Dokter Spesialis sebagai tenaga fungsional, Akademisi dan Dokter Pendidik Klinis. Sama sekali menkes tidak menjawab pertanyaan ini, tapi secara sepihak dia malah bercerita tentang pemindahan Pejabat Struktural, Direktur RS Vertikal/ RS Kemenkes, sebagai upaya untuk membangun Teamwork.
Kami dokter Indonesia sama sekali tidak pernah mempersoalkan, apalagi mempertanyakan hal pengangkatan, pemutasian, bahkan pemecatan pejabat struktural di lingkungan Kemenkes. Sebagai pejabat struktural, mereka bisa dipindah kemanapun sesuai kehendak menkes sebagai majikan/ juragan, layaknya pejabat struktural lain di bawah Kementerian apapun, atau kepala cabang bahkan direktur BUMN. Saudara menkes telah memanipulasi pertanyaan Rosi serta gagal menjawab pertanyaan ‘mengapa terjadi mutasi paksa dan mendadak’ terhadap para dokter spesialis pendidik klinis dan akademisi, serta ‘pemutusan hubungan kerja kemitraan secara sepihak’ kepada para Spesialis/ Guru Besar non-kemenkes. Fakta membuktikan bahwa mereka yang dimutasi dan diberhentikan secara sepihak adalah para dokter yang secara vokal dan penuh integritas, secara konsisten memberikan kritik dan pendapat yang berbeda terhadap berbagai kebijakan menkes yang banyak dilandasi oleh Pikiran Sesat alias Logical Fallacy.
Sebagai Tenaga Fungsional, Pendidik Klinis, dan Akademisi, Dokter Spesialis adalah bagian dari sebuah Teamwork yang dibangun bertahun-tahun
Dokter Spesialis tidak pernah bekerja sendiri melainkan bagian dari tim yang terbentuk di atas landasan Etika dan Trust demi memberikan yang terbaik bagi para pasiennya. Trust dalam sebuah teamwork ini tidak terjadi seketika, tapi dibangun dalam waktu bertahun bahkan berpuluh tahun. Seorang Piprim, dokter Spesialis Anak, Subspesialis Jantung Anak, tidak pernah dan tidak bisa bekerja sendiri dalam membangun Layanan Kardiologi Anak Terpadu di RSCM, maupun dalam kaitan penyelenggaraan Program Pendidikan Subspesialis Kardiologi Anak di FKUI. Piprim adalah bagian penting, atau mungkin yang terpenting dalam sebuah teamwork, yang tanpa alasan jelas telah dipindah-tugaskan sehingga berakibat hancurnya teamwork yang sudah terbangun selama ini.
Selain prosedur yang bertentangan dan melanggar berbagai aturan terkait mutasi ASN (Aturan BKN No. 5/2019; SE Menpan-RB No. 21/2022; PP No. 17/2020; dan UU No. 5/2014 tentang ASN), terlihat jelas menkes benar-benar Buta, Tuli, dan Bodoh ketika menjelaskan pada publik bahwa mutasi Dr. Piprim untuk memenuhi kebutuhan mendesak RS Fatmawati yang dokter Spesialis Jantung Anak-nya akan segera pensiun, padahal dokter yang dimaksud baru akan pensiun 7 (tujuh) tahun lagi. Langkah mutasi Dr Piprim dkk. selain jadi bukti arogansi kekuasaan dan abuse of power menkes, juga sekaligus sebuah pertunjukan kebohongan dan kebodohan menkes selaku pejabat publik.
Selain itu dokter juga membangun ‘Trust’ dengan para pasiennya atas dasar etika dan moral melayani, bukan jual beli mencari cuan bak seorang bankir. Praktek kedokteran, bidang spesialis apapun, tidak satupun yang menjanjikan suatu kepastian kesembuhan melainkan sebagai upaya atau ikhtiar medis berlandaskan evidence based medicine, sebagai upaya terbaik dengan persentase kesembuhan yang tertinggi untuk waktu itu. Upaya pengobatan terbaik dengan standar tertinggi ini, selain sebagai pelaksanaan isi sumpah dokter dan kode etik dokter Indonesia (KODEKI), juga bagian dari upaya untuk membangun ‘Trust’ atau kepercayaan dari pasien, keluarganya, serta dari sejawat dokter lainnya. Arogansi kekuasaaan menkes lewat mutasi mendadak tersebut telah merusak ‘Trust’ antara pasien-dokter sehingga turun ke titik nadir.
Arogansi Kekuasaan yang merusak Tim Kerja Spesialistik, Merugikan Layanan pasien JKN, dan Menghambat Pendidikan Subspesialis
Saat diberhentikan sebagai Spesialis Mitra di RS Dr. Kariadi pada bulan April 2023, Prof. Zainal adalah perintis dan berperan penting dalam Tim Bedah Epilepsi, dan RS Kariadi adalah satu-satunya RS Kemenkes yang memiliki Unit Monitoring Epilepsi dan Program Bedah Epilepsi Terpadu dan Terstruktur. RS Dr Kariadi menerima rujukan pasien epilepsi kebal obat dari seluruh wilayah Indonesia, bahkan banyak pasien yang sebelumnya sudah pernah berobat ke Penang, Singapura, Thailand, dan Melbourne. Sebelum 2023, selama lebih dari 17 tahun, tim ini telah melakukan bedah epilepsi terhadap 50-70 pasien/ tahun. Tetapi semenjak Prof. Zainal diberhentikan secara paksa, kerja tim jadi terganggu dan jumlah pasien bedah epilepsi turun drastis jadi 5-7 pasien/ tahun selama 2023-2024 (tinggal 10% dari sebelumnya). Jelas bahwa korban terbesar dari arogansi kekuasaan menkes adalah para pasien, terutama pasien JKN yang umumnya tidak punya pilihan RS Rujukan selain RS Kemenkes. RS kemenkes adalah Badan Publik yang didanai negara untuk melayani publik, bukan milik menkes/ kemenkes.
Dr Fitri Hartanto, spesialis anak subspesialis Pediatri Sosial, adalah satu-satunya yang dimiliki RS Kariadi. Dia dimutasi ke RS Sardjito yang sudah memiliki 3 (tiga) orang Subspesialis Pediatri Sosial. Sebagai Pendidik Klinis, Dr Fitri bertanggung-jawab memberikan pengetahuan terkait stunting kepada para calon Spesialis Anak di RS Kariadi. Bersamaan dengan Dr Fitri ada Dr Hikari, spesialis anak subspesialis Hemato-Onkologi (Kanker) Anak.
Terkait layanan spesialistik, apakah prof Zainal dirugikan? Mungkin malah, karena pasien yang mampu tetap bisa menjangkau layanan berbayar di RS Swasta. Situasi serupa juga terjadi akibat mutasi Dr. Piprim dkk., serta pemberhentian Dr Rizky Adriansyah dari RSU Adam Malik di Medan. Mengapa ketidakhadiran dokter spesialis senior seperti Prof Zainal, Dr Piprim, dan Dr Rizky bisa menurunkan jumlah pasien secara drastis sampai tinggal 10%? Tentu bukan karena jumlah orang sakit yang tiba-tiba turun, tapi ini terjadi akibat runtuhnya ‘Trust’ Dokter-Pasien dan Rusaknya Tim Medis Spesialistik.
Korban kolateral (collateral damage) akibat arogansi kekuasaan menkes ini adalah terganggunya proses transfer ilmu subspesialistik di RS Pendidikan. Jumlah kasus Bedah Epilepsi yang banyak (70 kasus/ tahun) adalah sarana transfer Ilmu dan Kompetensi bagi setidaknya 7-10 orang calon dokter subspesialis setiap tahun. Turunnya jumlah pasien, akibat runtuhnya Trust ini langsung akan berimbas pada jumlah calon subspesialis yang bisa belajar menjadi hanya 1 orang saja.
Mutasi Dr Spesialis Senior adalah ujud arogansi dan kekuasaan yang Buta, Tuli, dan Bodoh, yang menganggap dokter dan pasien sekedar alat untuk menghasilkan cuan di RS Kemenkes. Semua narasi menkes atas pertanyaan Rosi ‘mengapa dokter spesialis dimutasi’ sama sekali tidak menjawab pertanyaan Rosi alias Zonk.
Mutasi Dokter Spesialis, Langkah Sistematis dan Terstruktur untuk Membungkam Penolakan atas Kolegium Idol yang diisi para Pesuruh menkes
Masyarakat perlu tahu bahwa Bulan Oktober 2024, di Semarang berlangsung Kongres Nasional IDAI. Kongres, sebagai forum legislatif tertinggi dalam IDAI, dihadiri hampir 5000 peserta dan salah satu keputusannya, selain memilih Dr Piprim sebagai Ketua Umum, juga menolak segala bentuk intervensi kemenkes terhadap IDAI, khususnya terkait Kolegium Kesehatan Anak. Sebagai Ketua dan Sekjen PP-IDAI, Dr Piprim dan Dr Hikari memegang teguh Amanah Konas yaitu mempertahankan keberadaan kolegium IDAI hasil Konas. Saat itu, Dr Fitri yang menjabat ketua IDAI Jateng.
Pada Desember 2024 dimulailah kejadian mutasi mendadak kepada Dr Fitri Hartanto dan Dr. Hikari, tentu terkait sikap dan integritasnya mempertahankan hasil Konas IDAI yang berbeda dengan kehendak menkes. Ini jelas bukan mutasi biasa, melainkan upaya pembungkaman perbedaan pendapat dengan instrumen kekuasaan. Mutasi terhadap kedua orang pengurus IDAI ini juga adalah bentuk peringatan ancaman kepada Dr Piprim selaku Ketua IDAI. Kemudian, awal Mei 2025, gelombang mutasi berikutnya terjadi, yang menyasar suara vokal di antara para dokter spesialis dan pendidik klinis yang kebanyakan sedang tiarap dan bungkam akibat berbagai Langkah Intimidasi menkes.
Intimidasi melalui stafsus menkes (inisial R, yang bukan dokter) dan lewat pemanggilan oleh dirut di RS Kemenkes. Tentu saja disertai beberapa ‘orang biasa’ sebagai korban kolateral untuk menyamarkan kejahatan kekuasaan ini. Seperti yang sudah diperkirakan, Dr Piprim jadi sasaran tembak utama kali ini. Ternyata keberanian Piprim, dengan argumentasi yang etis, logis, dan empiris, membangkitkan kesadaran banyak orang akan bahaya besar gurita kekuasaan menkes terhadap masa depan Pendidikan Dokter, Pelayanan Kesehatan untuk Rakyat Miskin, dan bahkan berbahaya bagi Ilmu Kedokteran itu sendiri.
Tepat sehari setelah membuat pernyataan publik membela Piprim, turunlah surat pemberhentian dan pemutusan kemitraan terhadap Dr Rizky Adriansyah, spesialis anak subspesialis kardiologi intervensi anak. Dr Rizky adalah Ketua IDAI Sumatera Utara, dan bukan kaleng kosong. Sejak 2021, jabatan fungsionalnya cukup keren, Ketua Tim Penanganan Pemisahan Bayi Kembar FK USU/ RSU H Adam Malik. Jadi jelas tidak mungkin bila pemberhentian ini kehendak RSU HAM, sudah pasti ini ulah tangan kotor sang Juragan.
Kolegium versi menkes: Produk Cacat terbungkus Legalitas, Tanpa Ruh Keilmuan, Bukan dari Komunitas Akademik tapi Rekayasa Politik, akan Merusak Sistem Pendidikan Kedokteran yang terbangun selama 175 tahun.
Penggunaan instrumen kekuasaan secara ugal-ugalan ini gambaran kegugupan seorang pejabat publik yang telah kehabisan dalih, apalagi di kemenkes hanya seorang yang boleh bersuara, sang Juragan, sisanya cukup jadi penjilat dan pembebek. Pembungkaman atas kritik dan perbedaan pendapat yang pernah dialami oleh Prof. Zainal dan Prof Menaldi Rasmin kini berulang kembali dan menyasar siapapun yang berdiri tegak mempertahankan nurani profesi.
Kolegium kemenkes tidak dibentuk oleh komunitas ilmiah, melainkan kumpulan orang-orang yang terikat dibawah ketiak menkes, lewat proses yang tidak transparan dan tidak partisipatif, sehingga tidak memiliki legitimasi keilmuan. Kolegium Kesehatan Indonesia layaknya sebuah produk cacat yang terbungkus legalitas yang dipaksakan, tapi tanpa ruh keilmuan, tidak lahir dari komunitas akademik, melainkan hasil rekayasa politik penguasa, demi menyempurnakan kontrol atas seluruh tatakelola tenaga medis dan tenaga kesehatan.
Berangkat dari ketinggian etik dan keilmuan, patut kita renungi suara jernih Prof Menaldi Rasmin, Guru Besar FKUI yang disegani dan salah seorang arsitek terbentuknya Konsil Kedokteran tahun 2004 : “ Tidak ada Argumentasi Akademik yang mampu menjelaskan, mengapa negara boleh mengambil alih dan mendikte sebuah lembaga ilmiah, Academic Body, yang seharusnya independent, berbasis kebenaran sains, dan tanpa konflik kepentingan”. “Kehadiran Kolegium versi menkes adalah bentuk kerusakan/ penyakit sistemik yang akan berujung pada degradasi Sistem Pendidikan Kedokteran, yang selama 175 tahun dibangun oleh para founding father bangsa ini”. “Kolegium harus lahir dari Profesi, tidak ada satupun di atasnya yang boleh mengatur apalagi menguasai”.
Kedokteran bukanlah sekedar pekerjaan teknis, apalagi bagian dari alat produksi industri kesehatan. Kedokteran adalah panggilan jiwa yang menuntut perpaduan antara Ilmu dan Nurani. Kegelisahan prof Menaldi Rasmin adalah kegelisahan kita bersama, para dokter dan tenaga medis, yang kali ini diwakili oleh Piprim Basarah Yuniarso, Ketua Umum IDAI, Dr Fitri Hartanto, Dr Hikari, dan Dr Rizky Adriansyah, yang menjadi korban pembungkaman sebuah kekuasaan yang arogan dan ugal-ugalan. Mutasi dan pemecatan mereka adalah konsekuensi atas keberanian IDAI mempertahankan independensi kolegiumnya dan menolak tunduk pada kolegium palsu hasil rekayasa menkes.
“Sikap Piprim dkk. bukan sebuah perlawanan reaktif, tapi mencerminkan konsistensi terhadap profesi dan integritas ilmiah. Maka ketika birokrasi dipakai sebaga alat represi Nurani Ilmiah, dan kekuasaan membungkam suara mereka dengan mutasi dan pemecatan, publik-pun tak perlu lagi mencari-cari motif tersembunyi. Kekuasaan sedang Panik, dan dalam kepanikannya, ia menghukum siapapun yang tegak berdiri di atas nilai," demikian catatan bijak dari seorang Sutan Rajo Mudo.
#Zainal Muttaqin, Pengampu Pendidikan Spesialis, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Clinical Professor at Faculty of Medicine, Kagoshima University
Editor: Ariful Hakim