Ceknricek.com--Lima belas tahun lalu saya pernah terlibat perdebatan di Dewan Pers. Waktu itu kita harus menentukan berapa sih jumlah minimal karyawan atau wartawan Perusahaan pers (tafsir dari UU Pers). Sebagian besar teman-teman masih menyebut angka di atas lima belas orang. Saya ngotot minimal lima orang saja. Tentu saja saya kalah. Akhirnya Dewan Pers menetapkan bahwa Perusahaan pers harus memiliki minimal 10 orang karyawan termasuk reporter.
Waktu itu mengapa saya ngotot di angka lima orang karena perkembangan beberapa fakta akhir-akhir ini. Pertama, survey mengatakan bahwa sumber berita media konvensional, minimal 70%, berasal dari media sosial. Kedua, Sumber berita banyak yang sudah membuat konten sendiri dan menyimpannya di media sosial. Ketiga, jadi ke depan fungsi jurnalistik lebih banyak menjadi tukang verifikasi dan pertanggungjawaban ke Dewan Pers.
Sederhananya media konvensional bisa dilakukan hanya bertiga orang saja. Duduk bertiga di newsroom. Follow sana follow sini, subcribe sani sini, dan like itu ini, maka halaman penuh. Bisa kita lihat orang-orang berseteru melalui media sosial. Ketika yang berseteru itu publik figure maka jadilah berita. Ketika yang berseteru itu seorang tokoh atau pejabat maka tinggal menulis atau mendownload saja. Bagaimana Donald Trump menyampaikan ancaman kiri kanan hanya melalui instagramnya.
Ketika sebuah konten penting berseliweran, baik vidio, audio atau teks, di media sosial. Maka masyarakat akan mengatakan detik.com belum muat. Liputan6.com, kumparan.com atau Idntimes.com belum menayangkannya. Artinya masyarakat meminta tolong media konvensional itu untuk memverifikasi konten yang sedang beredar itu. Mengapa masyarakat menyandarkan kepercayaannya ke media konvensional. Karena media konvensional diwajibkan verifikasi dan diawasi Dewan Pers.
Begitu juga sebaliknya. Fakta mengatakan tidak lebih dari 10% saja masyarakat yang mengakses media konvensional direk ke alamat domainnya. Artinya langsung ke alamat portal itu dengan menulis “portal.com”. Pasti di atas 90% masyarakat mengakses media konvensional melalui media sosial. Karena itu setiap media konvensional memiliki etalase di media sosial. Bahkan lebih sering pengaduan terhadap media konvensional ke Dewan Pers karena postingan di media sosialnya.
Ketika saya bikin pendidikan bersama Persatuan Wartawan Indonesia di berbagai daerah. Sebelum memulai acara saya pasti tanya dua hal dulu kepada peserta. Siapa yang menonton televisi pagi ini dan siapa yang membaca koran pagi ini. Tidak satu pun peserta, yang terdiri dari para wartawan, itu mengangkat tangan. Tentu saja mereka membaca informasi tetapi melalui gawai. Artinya penonton televisi pun sudah jauh berkurang. Mungkin tinggal penonton sinetron dan dangdutan.
Jaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY kita masih dibikin kaget. Ketika pihak Sekneg mengatakan bahwa Presiden SBY memberikan keterangan pers melalui Youtube. Lah berarti tidak memerlukan reporter. Mereka shooting sendiri. Tidak usah repot repot mengundang dan mengatur wartawan. Setelah beres langsung hasilnya di upload ke Youtube. Memang waktu itu untuk platform video baru Youtube yang paling mumpuni. Sekarang sih menjadi biasa saja.
Kedengarannya sih sederhana. Bagaimana sumber berita memposting kontennya cukup di media sosial saja. Tapi dampaknya, terutama, ke media televisi. Berapa alat siaran langsung yang harus masuk kotak. Berapa ratus bahkan ribu orang crew siaran televisi yang akan kehilangan pekerjaan. Makanya ketika beberapa stasiun televisi melakukan pengurangan karyawan saya tidak kaget. Kodrat desrupsinya memang begitu.
Ketika tvOne membeli alat siaran langsung portabel, pertama di Indonesia, itu sudah tanda-tanda. Siaran langsung peristiwa biasanya harus mengerahkan belasan orang crew. Maka dengan alat ini cukup berdua saja. Dan dapat bersiaran dari mana saja. Ketika tvOne, tahun 2008, bersiaran dari studio di beberapa kota hanya menggunakan kabel telepon saja. Jadi mainnya di software tidak pakai setelit. Ini juga sudah tanda-tanda.
Jadi bagaimana nasib Perusahaan pers ke depan di berbagai platform. Memang tidak bisa dipungkiri harus melakukan dua strategi agar tetap eksis. Pertama harus melakukan resizing the business. Artinya ukuran bisnisnya harus ditinjau kembali. Tidak bisa sebesar sekarang. Kalau tidak pasti tidak kompetitif. Tentu saja jumlah orang dan peralatan yang dipergunakan harus diperkecil. Reporter lapangan tidak bisa semewah dulu lagi karena reportasenya sudah banyak diganti media sosial. Belum lagi bantuan kecerdasan buatan (AI) yang hanya tinggal perintah saja berita sudah tersusun rapih. Tinggal memanusiakan saja alur berita buatan AI ini.
Kedua harus melakukan remodeling the business. Artinya model bisnisnya harus diubah. Tidak bisa lagi berjualan iklan hanya menggunakan satu etalase saja. Diperlukan etalase lain seperti media sosial, portal-portal dan berjualan event-event. Beberapa perusahaan media membuat awarding-awarding atau lomba-lomba yang relevan dengan tema medianya. Bahkan saya dengar ada perusahaan media yang memiliki awarding 24 event dalam setahun. Artinya tiap bulan ada 2 event awarding. Jadi medianya hanya menjadi brand saja. Tentu saja media-media dengan rangking cukup bagus bisa mendapatkan uang lebih banyak.
Untuk group-group besar menambah etalase selain di media sosial. Group Emtek, misalnya, membuat vidio.com dan Liputan6.com. Group Transcorps membeli portal pelopor detikcom. Sedangkan MNC Group membuat okezone.com dan lain-lain. Sedang Group Antv membuat Vivanews.com dan tvonenews.co.id. Selain menambah etalase group-group besar juga membuat sharing konten antar sesama portal dan stasiun televisi. Memang repot perusahaan yang berdiri sendiri.
Walaupun mengalami desrupsi yang sangat berat. Media konvensional akan tetap menjadi rujukan kepercayaan publik. Hal ini karena publik percaya berita yang tersaji di media konvensional telah melalui verifikasi yang benar. Dan kalau media konvensoinal melakukan kesalahan bisa diadukan ke Dewan Pers. Jadi kata kuncinya kepercayaan atau trust. Kalau media konvensional sudah melupakan verifikasi artinya sedang menggali kuburnya sendiri. Jadi bagaimana titik equilibrium Perusahaan media pasca diserupsi ini. Hanya yang disiplin dengan verifikkasi saja yang akan dianggap media pers.
#Nurjaman Mochtar/ Wartawan Senior
Editor: Ariful Hakim