Ceknricek.com--Nama lengkapnya Akidi Tio. Almarhum Akidi Tio, karena sudah wafat 2009 lalu.Seminggu belakangan nama Akidi melambung tinggi. Dikutip banyak media. Ditayang beragam program berita. Niat anak bungsunya, Heriyanti, menyumbang duit 2 triliun untuk penanganan Covid-19 di Sumatera Selatan, menuai decak kagum.Banyak tokoh memuji. Pokoknya hebat. Super dermawan. Nggak ada tanding, walau dibanding pemilik pesbuk, Mark Zuckerberg, atau si empunya Microsoft, Bill Gates.
‘Drama’ seminggu, tiba-tiba jatuh ke titik nadir. Semua menghujat. Saat Heriyanti, datang ke Mapolda Sumatera Selatan Senin (2/8/21). Direktur Intelkam Polda Sumatera Selatan Kombes Ratno Kuncuro bilang Heriyanti sudah jadi tersangka. Heriyanti diduga bohong. Dana 2 T cuma pepesan kosong. Seluruh Indonesia, seolah tertawa mengejek. Mantan duta besar Polandia bilang, Akidi Tio ternyata ponakan Mukidi. Begitu ejekan satirnya. Mukidi adalah tokoh imajiner di dunia sosmed yang suka bokis. Panjang hidung bak pinokio. The king of ngibul.
Namun, dalam hitungan jam, usai hujatan beruntun datang, publik tiba-tiba terdiam. Tarik nafas panjang. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Sumatera Selatan Supriadi membantah Heriyanti jadi tersangka. Cuma dipanggil. Karena pencairan duit dari giro bilyet susah. Ya, diajak ngobrol. Apa benar duit ada. Bagaimana cara ambilnya. Konon duitnya disimpan di bank Singapura. Hasil bisnis Akidi Tio dengan mitranya yang orang Singapura. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung, 16 triliun. Supriadi bilang, harap sabar. Ojo kesusu, kata orang Jawa.
Di waktu bersamaan, gegap gempita juga terjadi, saat ganda putri bulu tangkis kita, Greysia Polli dan Apri Rahayu dapat emas Olimpiade Tokyo. Segala linimasa penuh pujian. Fb, WA group, twitter, instagram, tumpah ruah. Hebat. Top. Mantap. Banyak yang nangis. Seorang dokter terkenal yang juga penulis buku hebring mencatat di fbnya, “mengecam” mereka yang membandingkan sikap masyarakat kita dengan Amerika atau China.
“Kenapa Amerika atau China masyarakatnya adem dan kalem waktu atletnya dapat emas? Ya jangan bandingkan, karena kita harus hormati prosesnya. Ditengah keterbatasan kita, badminton dapat emas olimpiade,”catatnya.
Saya iseng saja komen. Lebay pak dokter. Melodrama. Indonesia sejak saya masih pakai celana kodok sudah sering dapat emas cabang bulu tangkis. Jadi kalau nggak dapat emas, ya kebangeten. Kecuali negara kita seperti Zimbabwe, yang tiba tiba dapat emas cabang bulu tangkis. Sejauh ini, saya belum dapat gaplokan dari netizen.
Dulu saya pernah diperlihatkan emas lantakan. Benar-benar diperlihatkan. Lantakan emas itu bahkan saya pegang-pegang. Pemiliknya, seorang politisi yang sekarang jadi menteri, ngaku, itu emas diambil di Istana Batu Tulis, Bogor, Jawa Barat. Berbilang tahun sebelumnya, publik memang geger, setelah menteri agama bilang ada emas di Istana Batu Tulis, yang bisa dipakai untuk melunasi hutang negara. Pujian mengalir deras. Kagum tiada tara. Cerita pemilik emas yang saya temui, dia yang mendahului mengambil, sebelum pak menteri agama ambil.
Namun pengakuan menteri agama terlanjur jadi gegeran. Mirip adegan goro goro di pertunjukan wayang. Hamid Awaluddin menulis, Menko Kesra saat itu, Jusuf Kalla sampai mengundang menteri agama. Tanya tahu tidak, berapa utang luar negeri Indonesia. Menteri Agama tak bisa menjawab. Jusuf Kalla lalu memberi hitungan dengan enteng. Jumlah utang luar negeri kita saat itu, awal tahun 2000, lebih kurang Rp 1.500 triliun. Harga emas setiap gram kala itu adalah Rp 250.000 per gram. Maka, untuk melunasi utang pemerintah, kita butuh sekitar 6.000 ton emas batangan.
Bila emas batangan tersebut kita angkut dengan truk yang berkapasitas 4 ton, dengan asumsi panjang truk adalah 5 meter, kita butuh jejeran truk sepanjang 5 km. Itu artinya, truk-truk tersebut berbaris mulai dari Kebayoran Baru hingga Bundaran Hotel Indonesia. "Kira-kira ada tidak emas batangan sebanyak itu di Batu tulis?" tanya Jusuf Kalla. Menteri Agama terdiam lesu.
Faktanya, menurut pengakuan sang pemilik berambut jambul itu, yang menyimpan emas di rumahnya di bilangan Jakarta Selatan, jumlahnya cuma 7 ton. Jauh dari kebutuhan 6.000 ton seperti kata Jusuf Kalla. Soal asli tidaknya emas itu, meneketehe. Saya pusing kalau bahas emas. Cuma, ya itu tadi. Gegernya sudah sampai planet Pluto. Persis seperti gegeran duit 2 Triliun. Beritanya mengalahkan perpanjangan PPKM Level 4, yang justru semakin menambah panjang daftar perusahaan sekarat. Rakyat melarat.
Masyarakat kita, memang sedikit sedikit senang. Sedikit sedikit takjub. Sedikit sedikit kagum. Biasanya, begitu tahu diprank, sedih tak berkesudahan. Masih ingat politisi yang dengan gagah bilang kita punya duit 11 ribu triliun, dan tinggal ambil kalau jadi presiden? Begitu jadi presiden, duit itu sayup terbawa angin malam. Dengan psikologis masyarakat yang baperan, tak heran politisi suka 'nyamar'. Dulu ada mantan menko polhukam, yang bikin iklan partainya jadi kernet kopaja. Lengkap dengan handuk di leher. Lucu bikin geleng geleng kepala.
Saya selalu ingat pesan Pak Harto. Mungkin karena ini, negara selalu adem. Ojo dumeh, ojo kagetan, ojo gumunan. Artinya, jangan mentang-mentang (saat berkuasa), jangan apa apa kagetan dan jangan cepat kagum (gumunan). Hidup itu seperti kumpulan gambar puzzle. Bila belum lengkap, ya seperti the smilling general itu. Menunggu semuanya terang benderang, baru bertindak dan berucap. Kalau dalam tuntunan agama, bersikaplah adil. Dalam konteks menghadapi kebahagiaan atau kegetiran hidup, jika senang ya sewajarnya, jika sedih juga begitu. Sewajarnya saja. Ngono yo ngono ning ojo ngono...
Editor: Ariful Hakim