Ceknricek.com -- Para kiai Nahdlatul Ulama (NU) tentu saja kebanyakan istiqomah. Apalagi mereka yang tidak ikut-ikutan berpolitik praktis. Hanya saja, di antara mereka ada sebagian kecil yang asyik berselancar masuk dalam pusaran politik. Mereka inilah yang belakangan bersuara lantang meminta jatah kursi menteri. Sepertinya, tingkah seperti itu sudah keluar dari tradisi selama ini. Biasanya, tanpa meminta pun kader-kader ormas Islam terkemuka macam NU dan Muhammadiyah akan diberi tempat istimewa oleh presiden terpilih.
Ini yang mengundang sejumlah pihak menasihati NU. Ada yang bilang menuntut jabatan adalah perbuatan tidak istiqomah dan bisa menodai NU. Cara demikian, bisa merendahkan martabat ormas keagamaan yang sangat disegani di dalam maupun di luar negeri ini.
Tak ada yang memungkiri bahwa NU memang ikut memenangkan pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin dalam Pilpres 2019. Meskipun bukan parpol, NU berperan besar dalam mengawal pasangan ini.
Rupanya itulah yang menjadi dasar NU menuntut jerih payahnya. "Penghargaan itu bisa berupa menteri, terserah presiden dan wakil presiden terpilih," kata Wakil Ketua PBNU Marsudi Syuhud di Jakarta, Jumat (5/7). Marsudi lalu menyebut kesiapan NU mengirim kadernya untuk jabatan menteri. "Berapa pun jumlahnya, sepuluh, lima belas, seratus, sampai seribu pun NU siap," tambahnya.
Publik mungkin heran dengan celotehan Marsudi itu. Soalnya, wapres yang diperjuangkan NU adalah kader tulen NU. Logikanya, diminta atau tidak, diberi imbalan atau tidak, NU tetap akan berjuang sekuat tenaga untuk memenangkan kadernya itu.

Sumber: Okezone
Marsudi berkilah orang NU ada yang duduk di kabinet, tapi tidak mempresentasikan NU. Namun terhadap Ma’ruf Amin, jika tidak dianggap merepresentasikan NU, ya, kebangetan.

Sumber: Tempo
Itu pula yang membuat Sekjen PPP, Asrul Sani, merasa heran. Wakil Presiden terpilih Ma'ruf Amin adalah dari struktural NU sebagai Rais Am PBNU. "Kalau NU masih minta jatah menteri lagi, lalu partai politik pengusung Jokowi-Ma'ruf dapat apa," tanya Asrul yang merangkap Tim Kampanye Nasional (TKN) 01.

Sumber: Kompas
Apa yang dikatakan Asrul tidak berlebihan. Pada Kabinet Kerja saat ini juga banyak menteri dari NU. Sebut saja Menaker Hanif Dakiri, Menpora Imam Nahrowi, Menristek Dikti Mohamad Nasir, dan Menag Lukman Hakim. Mereka adalah orang NU tulen. Mereka dari PKB dan PPP.
Kutukan
Tak bisa dipungkiri bahwa pemerintah membutuhkan dukungan parpol dan ormas. Ormas akan dapat mengisi ruang kesejahteraan rakyat, pendidikan, dan keagamaan. NU juga Muhammadiyah punya kekuatan di semua yang disebutkan itu. Selama ini, NU dikenal kuat dalam pendidikan pondok pesantren. Sementara, Muhammadiyah dikenal berkonsentrasi pada dunia pendidikan dan kesehatan.
Jadi, tak heran dari dua ormas itu lahir tokoh-tokoh penting yang berkiprah di pemerintahan dan swasta. Sekretaris Jenderal PBNU Helmi Faisal Zaini mengungkapkan kader NU punya beragam kemampuan. “Ahli apa pun, kami siap. Ahli agama, ekonomi, pendidikan, dan teknologi (ada),” tutur mantan Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal era SBY itu.
Arsul Sani mengakui NU mempunyai peran vital dalam menghadapi meningkatnya paham radikal. Namun, menurut dia, kader NU sudah mendapatkan tempat istimewa yang melebihi jabatan menteri, yakni wapres. Masuk-tidaknya kader NU, di luar jalur parpol, bergantung pada komunikasi Jokowi dengan para petinggi ormas yang didirikan Hasyim Asy’ari itu.
Itu baru suara PBNU, tokoh-tokoh NU lain masih mungkin masuk kabinet lewat PKB. Ketum PKB Muhaimin Iskandar menginginkan partainya mendapatkan jatah kursi yang lebih banyak dari sekarang. “Semoga sepuluh menteri dari PKB,” ucapnya. Sebuah angka yang fantastis.
Hak Prerogatif Presiden
Jika NU minta jatah kursi menteri, bagaimana dengan Muhammadiyah? Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir mengatakan, Muhammadiyah tidak akan menuntut jabatan menteri kepada presiden. "Kalau dalam konteks pemerintahan semuanya itu menjadi hak prerogatif presiden, dan kita tidak pernah menuntut, kita tidak pernah mencampuri, kita tidak pernah masuk seperti kekuatan-kekuatan politik," ujar Haedar Nashir, Sabtu (6/7).
Muhammadiyah tetap istiqomah, tidak mau ikut berebut jatah menteri. Muhamadiyah yakin pemerintah Jokowi paham dinamika kehidupan berbangsa. Ia juga yakin presiden mengerti peran sebuah partai politik dan organisasi kemasyarakatan di bidang keagamaan seperti Muhammadiyah.
Kiprah Muhammadiyah selama ini lebih banyak berkutat di bidang pendidikan, pelayanan sosial, kesehatan, pemberdayaan masyarakat dan menyebarkan nilai keagamaan. Orientasi Muhammadiyah adalah memajukan bangsa. “Muhammadiyah tidak pernah lelah untuk berkiprah," tegas Haedar.

Haedar. Sumber: Suara Muhammadiyah
Muhammadiyah tidak pernah menuntut kekuasaan kepada pemerintah. Namun, pihaknya tidak mempermasalahkan apabila kader terbaik Muhammadiyah diminta untuk mengabdi kepada negara.
Dalam sejarahnya, Muhammadiyah maupun NU merupakan ormas berbasis Islam yang punya tempat khusus bagi presiden terpilih. Tanpa mengecilkan ormas lainnya, kenyataannya memang seperti itu. Bukan saat ini saja, tokoh-tokoh NU dan Muhammadiyah sudah duduk di kabinet sejak era Orde Lama. Siapa pun presidennya, mereka seakan mendapatkan “jalur khusus” untuk masuk kabinet.
Sekretaris Umum Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, mengingatkan di negeri ini, parpol adalah lokomotif utama sebagai syarat maju dalam pilpres. Muhammadiyah, kata Mu’ti, mengharapkan pemimpin terpilih tidak “terbelenggu” oleh parpol-parpol dan pendukungnya. “Walaupun dalam konteks politik, itu bagian dari akomodasi. Siapa yang menanam, dia yang mengetam,” terangnya.
Sejak era reformasi, kata Mu’ti, selalu ada permintaan dari presiden kepada ormas yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan itu. Sebagian besar, Ketua Umum PP Muhammadiyah hanya menyorongkan satu kadernya. Semuanya diterima. Ada kasus pula ketika Muhammadiyah diminta mengirimkan dua kader untuk dipilih salah satu. Itu terjadi ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjabat pada periode pertama. Saat itu, kader pertama yang disorongkan untuk menjadi Menteri Kesehatan Indonesia dianggap terlalu tua. Alhasil, Muhammadiyah memberikan alternatif, yakni Siti Fadillah Supari. Akhirnya, SBY pun memilih orang kedua yang disodorkan.
Setali tiga uang dengan Muhammadiyah, kader NU juga kerap mengisi pos menteri. Namun, sedikit berbeda dengan Muhammadiyah, tokoh-tokoh NU sepertinya lebih banyak masuk lewat jalur parpol, terutama PKB dan PPP.
Sekjen Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDI-P) Hasto Kristiyanto mengungkapkan Ketum PDI-P Megawati pernah menyarankan agar posisi Menteri Perdagangan diberikan kepada kader Muhammadiyah. Cerita Hasto itu dibenarkan Mu’ti. “Kalau kita lihat, kultur kesaudagaran dan kewirausahaannya sangat kuat,” ujarnya.
Selama ini, kader Muhammadiyah lebih identik dengan pos Kementerian Pendidikan. Bahkan, dua Menteri Kesehatan, Siti Fadillah dan Nila F. Moeloek, masuk kabinet atas rekomendasi PP Muhammadiyah. Memang tidak pernah baku di dua pos itu. Kader lebih acak dalam mengisi pos menteri. Tak identik dengan satu posisi tersebut.
Hanya saja, sejauh ini, Muhammadiyah tampaknya lebih kalem dan tak banyak bersuara dalam tarik-ulur penyusunan kabinet ini. “Namun, kalau aspirasi itu ada. Aspirasi itu bukan (dari) organisasi, tetapi pribadi,” ujar Mu’ti.