Nyanyi Sunyi Penyair Amir Hamzah | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto : Tirto

Nyanyi Sunyi Penyair Amir Hamzah

Ceknricek.com Hari ini 28 Februari, 108 tahun yang lalu di Tanjung Pura, Langkat, lahir seorang sastrawan besar. Namanya, Tengkoe Amir Hamzah Pangeran Indra Poetera. Ia lebih dikenal sebagai Amir Hamzah, penyair Angkatan Pujangga Baru lewat Nyanyi Sunyi-nya.

Lahir dari keluarga bangsawan Melayu Kesultanan Langkat Sumatera Utara, Tengku Busu  (Tengku yang Bungsu- panggilan akrab teman kecil Amir Hamzah) sosok Amir Hamzah digambarkan sebagai anak manis kesayangan semua orang. Hamzah kecil dididik dalam prinsip-prinsip keteguhan Islam seperti, fiqh, dan tauhid, selain itu ia juga belajar mengaji di Masjid Azizi.

Di usianya yang ke-7 Amir masuk sekolah dasar berbahasa Belanda, Langkatsche School. Ia lalu melanjutkan sekolahnya di HIS Pura (Hollandsch-Inlandsche) sekolah Belanda untuk bumiputera, dan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) Sekolah Menengah Pertama pada zaman kolonial Belanda di Indonesia. Tahun 1928, Amir melanjutkan sekolah ke Jakarta, di Christelijke Mulo “Manjangan”. Setahun kemudian, Amir hijrah ke Solo, melanjutkan sekolah di AMS mengambil jurusan Sastra.


Tonggak Sastrawan Pujangga Baru

Sutan Takdir Alisjahbana (STA), redaktur "Memadjoekan Sastera" (bagian sastra dalam koran Pandji Poestaka) sejak pembentukannya pada bulan Maret 1932, berkenalan dengan Armijn Pane saat penulis keturunan Batak tersebut mengirim beberapa butir puisi. Aktivis pembaharuan sastra, pada surat yang dikirim pada bulan September 1932 STA meminta kritikus sastra baru (letterkundigen) serta minta Armijn mengundang penyair Amir Hamzah untuk membantu membentuk kelompok sastra.

Di situlah, menurut Paus Sastra Indonesia HB. Jassin, disebut tonggak awal berdirinya angkatan Pujangga Baru. Angkatan yang diambil namanya dari majalah sastra bersama Poedjangga Baroe. Majalah yang dikhususkan untuk mendukung kebudayaan modern dan nasionalisme melalui sastra, yang pada saat itu belum pernah dilakukan di Nusantara.

Dirangkum dari berbagai sumber, ada tiga hasil penting dari majalah yang terbit selama sembilan tahun (1933-1942) itu. Dua karena nilai historisnya : esai-esai pemikiran kebudayaan yang di kemudian hari dirangkum Achdiat K. Mihardja dalam buku Polemik Kebudayaan dan novel Belenggu karya Armijn Pane yang menyimpang dari ketetapan moral Balai Pustaka. Dan yang terakhir, karena keunggulan mutu sastrawinya, ialah sajak-sajak Amir Hamzah.

Kisah Cinta dan Karya

Di Solo Amir aktif dalam berbagai pergerakan dan organisasi. Ia aktif di Kongres I Indonesia Muda (30 April - 2 Mei 1926). Ia juga menjadi pengurus Indonesia Muda cabang Jogya. Di sana ia sempat menjalin asmara dengan gadis solo bernama Ilik Sundari. Namun kisah cinta mereka kandas. Amir dipanggil pamannya untuk pulang ke Langkat. Ia lalu menikah dengan Kamaliah pada 1937. Pernikahan itu menjadikannya menantu sultan dan mendapat gelar Tengku Pangeran Indera Pura. Dari perkawinan tersebut lahir anak semata wayangnya, Tengkoe Tahoera.


Sumber : Haripuisi.com

Secara keseluruhan Amir telah menulis lima puluh puisi, 18 potongan puisi prosa, 12 artikel, empat cerita pendek, tiga koleksi puisi, dan satu buku karya. Dia juga menerjemahkan empat puluh empat puisi, satu bagian dari puisi prosa, dan satu buku (HB. Jassin Amir Hamzah: Radja Penjair Pudjangga Baru 1962). Di antaranya karya-karyanya tersebut terkumpul dalam Nyanyi Sunyi dan Buah Rindu. Jassin juga mernyebut Amir Hamzah sebagai Raja Penyair Zaman Pujangga Baru.

"... Amir bukanlah seorang pemimpin bersuara lantang mengerahkan rakjat, baik dalam puisi maupun prosanja. Ia adalah seorang perasa dan seorang pengagum, djiwanja mudah tergetar oleh keindahan alam, sendu gembira silih berganti, seluruh sadjaknja bernafaskan kasih : kepada alam, kampung halaman, kepada kembang, kepada kekasih…” (A.Teeuw; Sastra Baru Indonesia 1980).


Tragedi Bangsa dan Kematian
 

Pasca revolusi kemerdekaan seluruh pulau Sumatra dinyatakan secara de facto menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia yang baru lahir. Teuku Muhammad Hasan diangkat sebagai gubernur pertama Pulau Sumatera, dan ia memilih Amir Hamzah sebagai Wakil Pemerintah Republik Indonesia di Langkat (setara dengan Bupati).

Amir Hamzah menerima jabatan tersebut dengan siap sedia. Ia kemudian menangani berbagai tugas yang ditetapkan pemerintah, diantaranya meresmikan divisi lokal Tentara Keamanan Rakyat (kelak menjadi TNI), membuka pertemuan berbagai cabang lokal dari partai politik nasional dan mempromosikan pendidikan (terutama kaksaraan alfabet latin).


Sumber : SINDOnews


Revolusi sosial yang berlangsung di Sumatera Timur
  dipicu gerakan kaum komunis yang hendak menghapuskan kerajaan, kebangsawanan, dan anti feodalisme membuat Amir Hamzah terbunuh. Ia wafat di Kuala Begumit dan dimakamkan di pemakaman Mesjid Azizi, Tanjung Pura, Langkat. Revolusi itu terjadi pada tahun 1946. Inilah potongan tulisan Amir terakhir, sebuah fragmen dari puisi Buah Rindu.

Wahai maut, datanglah engkau

Lepaskan aku dari nestapa

Padamu lagi tempatku berpaut

Disaat ini gelap gulita..



Berita Terkait