Ceknricek.com -- Sesuai dugaan dan permintaan yang begitu meluap, pembantai 51 orang Muslim, termasuk dari Indonesia, yang sedang melaksanakan ibadah salat Jum’at di dua masjid di kota Christchurch, Selandia Baru, pertengahan Maret tahun lalu, Brenton Tarrant (29) akhirnya memang tidak akan menikmati kebebasan selama hidupnya.
Oleh pengadilan Christchurch, Tarrant dijatuhi hukuman seumur hidup, tanpa ada kemungkinan mendapatkan remisi atau kesempatan memperoleh tahanan luar dengan jaminan.
Ada kalanya yang dinamakan hukuman seumur hidup di negara-negara seperti Selandia Baru dan Australia, tidak selamanya “selagi hayat dikandung badan” melainkan dapat menikmati kebebasan setelah menjalani dua pertiga dari hukuman yang dijatuhkan.
Tarrant masih beruntung, karena kejahatan sangat keji yang dilakukannya terjadi di negara yang telah menghapus hukuman mati, karena dianggap tidak sesuai dengan peri kemanusiaan.
Sekiranya dia hidup sekitar 3000 tahun lalu, di Babilonia di bawah kekuasaan Hammurabi, niscayalah dia tidak akan menikmati kehidupan, karena menurut Hammurabi “mata untuk mata” adalah hukuman yang setimpal.
Hukuman dijatuhkan sesudah 93 sanak keluarga korban, dalam 3 hari sidang, menyampaikan apa yang dikenal di Selandia Baru (dan Australia) sebagai “pengakuan dampak yang diderita sanak keluarga dari akibat perbuatan pidana seseorang – dalam hal ini Tarrant”.
Tarrant sendiri mengakui segala tuduhan; melakukan pembunuhan atas diri 51 orang; melakuan percobaan pembunuhan atas diri 40 lainnya dan satu tuduhan melakukan kejahatan terorisme.
Untung jaksa penuntut umum dalam dakwaannya sama sekali tidak menyebut tentang “kemungkinan bahwa Tarrant tidak sengaja” melakukan pembunuhan.
Baca juga: KBRI Terus Pantau Perkembangan Kasus Penembakan di Masjid Selandia Baru
Menteri Luar Negeri Selandia Baru, Winston Peters, adalah di antara pejabat tinggi pemerintah Selandia Baru yang menyambut hangat hukuman itu dan mengatakan “sebaiknya sang teroris dipulangkan ke negara yang telah membesarkannya (maksudnya Australia)”.
“Sekaranglah saatnya Menteri Dalam Negeri Australia Peter Dutton, menerima dan menjebloskan sang teroris ke dalam penjara di Australia,” katanya lagi.
Tak ayal lagi bagi Selandia Baru sendiri, mengurung seorang narapidana seperti Brenton Tarrant bukanlah perkara kecil, khusus dari segi biaya. Selama ini saja sudah ratusan ribu dolar harus dikeluarkan pemerintah untuk menahannya.
Biaya pengurungan narapidana biasa di Selandia Baru adalah sekitar 3-juta rupiah sehari, namun demi “keselamatannya”, Brenton Tarrant selama ini dikurung terpisah dari narapidana lainnya, yang biayanya mencapai sekitar 40-juta rupiah sehari.
Bayangkan kalau Tarrant seumur hidupnya harus dipisah dari para nara pidana lainnya dengan biaya yang begitu berlipat ganda. Diperkirakan untuk jangka waktu dua tahun ke depan saja, rakyat Selandia Baru harus merelakan sekitar 30-miliar rupiah, untuk pengurusan manusia yang tega menghabisi 51 orang yang sedang beribadah di masjid itu.
Semakin panjang usianya, semakin besar pula biaya pengurungannya. Sekiranya ia mencapai usia rata-rata seorang lelaki di Selandia Baru/Australia, bayangkan berapa biaya yang harus dikeluarkan.
Baca juga: Penembakan Masjid Christchurch Selandia Baru : 40 Tewas, 20 Luka-Luka
Tak ayal lagi puluhan miliar, mungkin juga ratusan miliar, hanya demi mengamankan seorang pembantai dari bantaian narapidana lainnya, yang mungkin saja tidak terima ada manusia yang tega melakukan pembunuhan sedurjana itu.
Soal kemungkinan dipulangkannya terhukum Brenton Tarrant ke negeri asalnya, Australia, memang dapat membasahkan kembali ingatan banyak orang di Selandia Baru yang masih ingat bahwa dalam tahun 1985, dua orang teroris asal Prancis, ditangkap di Selandia Baru sehubungan dengan serangan pemboman terhadap kapal aktivis anti senjata nuklir bernama Rainbow Warrior.
Waktu itu Prancis masih melakukan uji coba senjata nuklirnya di kawasannya di Pasifik.
Dominique Prieur dan Alain Mafart, sebagai pelaku pengeboman itu, tertangkap dan sesudah diadili di Selandia Baru kemudian diserahkan kepada Prancis dalam rangka suatu persetujuan “kerukunan” dengan Prancis.
Namun, pemerintah Prancis tidak buang-buang waktu dan dalam waktu dekat malah melanggar persetujuan tersebut, dan memulangkan kedua warganya itu dari penjara di wilayah Pasifiknya, kembali ke Prancis, di mana mereka kemudian kembali menjalani peri kehidupan normal.
Namun, rasanya, kalau Brenton Tarrant memang sampai dikembalikan ke Australia, mustahil pemerintah Australia mau menanggung malu yang sangat besar kalau sampai membebaskannya, biar pun dengan sekadar pembebasan bersyarat.
BACA JUGA: Cek INTERNASIONAL, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.