Pemberangusan Peran Masyarakat Terpelajar oleh Kemenkes: Gaya Komunis yang Berbahaya bagi Demokrasi dan Masa Depan Kehidupan Bangsa | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto: Istimewa

Pemberangusan Peran Masyarakat Terpelajar oleh Kemenkes: Gaya Komunis yang Berbahaya bagi Demokrasi dan Masa Depan Kehidupan Bangsa

Ceknricek.com--Pada masa penjajahan di awal abad 19, pendidikan adalah sebuah barang mewah yang tidak mungkin dinikmati oleh masyarakat pada umumnya. Diantara masyarakat pribumi, hanya para keluarga bangsawan dan keluarga kerajaan saja yang memperoleh kesempatan untuk masuk pendidikan tinggi sampai universitas bahkan bisa melanjutkan studi sampai ke negeri Belanda. Berawal dari kelompok masyarakat/ pemuda yang terdidik inilah kemudian muncul kesadaran tentang cita-cita membangun kehidupan berbangsa dan bertanah air.

Upaya untuk membangkitkan kesadaran seluruh rakyat biasa tentang nilai-nilai kebangsaan pun dimulai oleh para founding fathers bangsa ini, a.l. Dr Soetomo, Dr. Wahidin Sudirohusodo, Dr Tjipto Mangunkusumo, Haji Samanhudi, HOS Tjokroaminoto, dll. Sarana untuk berkomunikasi serta memberi edukasi kepada berbagai lapisan masyarakat dilakukan dengan mendirikan organisasi atau perkumpulan mulai dari Boedi Oetomo, Sarekat Dagang Islam, sampai Sarekat Islam (SI).

Walaupun dalam anggaran dasarnya tidak ada unsur politik, tapi dalam kegiatannya SI memberi perhatian dan edukasi politik kepada masyarakat dan menentang ketidakadilan serta penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Pada bulan Maret 1916, saat diakui sebagai Badan Hukum, SI punya 181 cabang di seluruh Indonesia dengan 700.000 anggota. Pada tahun 1919 jumlah anggotanya meningkat drastis mencapai 2 juta orang, dan jumlah anggota yang banyak ini menimbulkan kekhawatiran bagi Pemerintah Penjajah.

SI merupakan kawah candradimuka banyak tokoh pemikir Indonesia kelas dunia, seperti HOS Tjokroaminoto, Agus Salim, Soekarno, sampai Tan Malaka, Musso dan Semaun. Tokoh-tokoh ini memiliki andil yang besar dalam proses menuju kemerdekaan Bangsa Indonesia. Oleh karena itu wajar bila pemerintah kolonial menekan dan berusaha memberangus pergerakan kebangsaan ini dengan membatasi aktivitas organisasi sampai membuang para tokoh bangsa ini ke berbagai daerah yang terpisah jauh, agar mereka tidak bisa lagi berkomunikasi dengan para anggotanya.

Apakah tekanan sampai pengucilan para tokoh tersebut menghentikan perjuangan mereka? Tentu jawabnya TIDAK, bahkan sebaliknya pembungkaman itu semakin membangkitkan semangat juang mereka untuk melawan penguasa zalim seperti yang ada di kemenkes dalam 4 tahun terakhir ini.

Transformasi Pelayanan Kesehatan Rakyat menjadi Bisnis Cari Cuan oleh Menkes, dan Perlawanan Keras oleh para dokter Pecinta Negeri  

Dari awal proses pengesahan UU Kesehatan, sang juragan bisnis layanan kesehatan (menkes) ini berusaha mati-matian dengan cara yang halal (melalui peraturan) sampai yang haram (melalui fitnah keji dan hoaks) untuk menghancurkan organisasi profesi (OP) para dokter yaitu IDI. Misalnya, tuduhan bahwa IDI berbisnis STR senilai 430 M, dan lebih dari 1 T terkait pengurusan SKP Dokter (video TikTok @drtonysetiobudi). Ini adalah sebuah hoaks alias kebohongan publik yang kesekian kali dari sang juragan (baca: menkes), demi merusak marwah IDI di mata rakyat, mengingat tidak pernah ada langkah hukum sang juragan melaporkan semua tuduhan tersebut di atas kepada aparat penegak hukum.

IDI adalah bagian dari World Medical Association (WMA) yang beranggotakan 115 Organisasi Profesi (OP) yang masing-masing mewakili setiap negara. Selain sebagai OP Tunggal yang mewakili asosiasi dokter di setiap negara, syarat keanggotaan pada WMA adalah independensi OP (tidak dalam kooptasi pemerintah, atau berada di bawah kekuasaan pemerintah/ kemkes). Kesehatan adalah kewajiban konstitusi negara kepada rakyatnya. Tugas utama sebuah OP adalah “Guiding the Profession, Protecting the People”, artinya tanggung jawab terbesar IDI adalah membatasi para anggotanya agar berpraktek sesuai kompetensi, serta dalam bingkai Evidence Based Medicine (EBM) demi melindungi masyarakat penerima layanan profesi.

Di sisi lain, transformasi moral sang juragan adalah menjadikan RS Vertikal (RSV) sebagai unit usaha bisnis untuk mengeruk untung dengan orang sakit sebagai objek bisnisnya, sebagaimana BUMN Tambang dan Perbankan. Moral bisnis mencari untung terlihat kasat mata dari langkah sang juragan menggelontor RSV dengan berbagai peralatan canggih yang belum tentu dibutuhkan, lalu mendorong dokter spesialis untuk sebanyak mungkin melakukan pemeriksaan diagnostik maupun tindakan pengobatan dengan alat-alat canggih yang tersedia karena secara otomatis akan menaikkan besaran gaji (remunerasi) yang diterima (sesuai isi surat No. TK 04.01/D.IV/795/2024).

Surat DitJen yankes No. TK 04.01/D.IV/795/2024 ini juga menilai kinerja dokter spesialis dari seberapa besar yang bersangkutan bisa menghasilkan cuan bagi RSV. Selain merupakan moral hazard, dengan surat ini sang juragan secara legal membolehkan dokter spesialis untuk melanggar sumpah profesinya (meminta pemeriksaan alat canggih bukan karena kebutuhan pasien, tapi demi menaikkan besaran gajinya). Tetapi bagi sang juragan, pemilik usaha bisnis jual beli orang sakit ini, meningkatnya utilisasi alat-alat canggih ini tentu akan menguntungkan, karena moral yang berlaku bukan moral profesi, melainkan telah bertransformasi jadi moral bisnis mencari cuan semata.

Bukti lain tentang transformasi moral profesi menjadi moral bisnis, tertuang dalam Surat Edaran Dirut RS Dr. Kariadi No. HK.02.03/1.1/7206/2021 tentang Jam Pelayanan Tindakan Operasi Elektif/ Terprogram dan Emergensi, di Instalasi Bedah, tanggal 21 September 2021. Atas dasar SE ini, jam operasional kamar bedah (untuk operasi elektif/ terprogram) berubah menjadi 24 jam dengan 3 shift nakes (sebelumnya hanya 2 shift). Jika sebelumnya operasi di luar jam kerja hanya untuk kasus emergensi saja, maka dengan SE tersebut tidak ada lagi batas antara jam kerja atau di luar jam kerja. Peraturan/ SE inilah yang diduga kuat sebagai penyebab stress yang berujung pada meninggalnya Alm. dr. Aulia Risma Lestari, seorang PPDS Anestesi di RS Kariadi.

Pengambilalihan Peran Civil Society (IDI dan Perhimpunan Spesialis) oleh menkes: Lebih Jahat dan Lebih Zalim dari Penjajah Kolonial dan Penguasa Negeri Komunis

Pemerintah kolonial berusaha mati-matian untuk menghancurkan Gerakan Kebangsaan yang dipelopori oleh kaum terpelajar dan dimotori oleh para dokter dalam berbagai organisasi  kebangsaan seperti Boedi Oetomo, dan Sarekat Islam. Demikian juga kemenkes bersama sang juragan yang bermoral dagang ini, mereka begitu kalap menggunakan segala kekuasaan dengan cara-cara yang kasar dan tidak sopan untuk memberangus dan menghancurkan sebuah kelompok civil society, kelompok terpelajar di bidang kesehatan yaitu Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Perhimpunan Dokter Spesialis.  

Upaya sistematis, terstruktur, dan masif ini, selain dengan cara-cara Haram melalui pelbagai fitnah keji terkait dokter dan pendidikan dokter, juga dilakukan secara Halal melalui berbagai aturan yang mengamputasi hak asasi dan peran IDI sebagai bagian dari Civil Society. Permenkes 12/2024 adalah sebuah upaya kalap sang juragan untuk menguasai bukan saja profesi dokter, tapi juga Ilmu Kedokteran. Melalui permenkes ini, sang juragan mencaplok Kolegium Spesialis (sebuah Academic Body yang selama ini diampu oleh para Guru Besar Bidang Ilmu) demi untuk bisa mengatur arah pemanfaatan teknologi kedokteran canggih agar sesuai dengan kepentingan bisnis yang mengatasnamakan orang sakit.

Demikian pula urusan moral, etika profesi, dan disiplin profesi juga dikangkangi lewat Majelis Disiplin Profesi (MDP) demi melanggengkan berbagai bentuk praktek perdukunan tanpa basis EBM atas nama Terapi Stem Cell, Cell Cure, Imunoterapi, dan Brainwash/ Brainspa yang bernilai bisnis ratusan juta sampai miliaran, yang memanfaatkan ketidaktahuan pasien. Masyarakat luaslah yang menjadi korban dari pembiaran berbagai bentuk praktek profesi yang tidak bermoral, dengan kompetensi yang tidak linear dan tidak benar (terapi stem cell oleh dokter hewan, dokter spesialis Patologi Anatomi, dan Imunoterapi oleh spesialis Radiologi) , yang cuma berlandaskan testimoni pejabat ala dukun Ponari maupun Klinik Tong Fang.

Melarang Kaum Terpelajar (IDI dan Perhimpunan Spesialis) untuk menambah ilmu adalah sebuah Kejahatan yang Berbahaya bagi Masa Depan Kesehatan Rakyat

Upaya kalap sang juragan (baca:menkes) ini ternyata belum berhenti sampai disini. Tanggal 10 Januari 2024 kemarin muncul Keputusan DirJen. SDM Kesehatan Nomor HK.02.02/F/170/2025 yang mencabut Izin dan Kewenangan IDI untuk menyelenggarakan kegiatan Pelatihan dan Pengembangan Bidang Kesehatan. Sebelum diambil alih menkes, IDI dan OP Spesialis adalah lembaga yang paling kompeten dan kredibel dalam penyelenggaraan kegiatan Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB), sesuai yang diwajibkan oleh UU 29/2004 Pasal 8 Ayat 1. Semua kegiatan P2KB ini mengikuti standar yang ditentukan oleh masing-masing OP Spesialis atau IDI. Di sini ada mekanisme yang memberikan jaminan kepada publik, bahwa seorang dokter bukan sekedar mengikuti kegiatan abal-abal, maupun pembelajaran/ pelatihan yang tidak terkait dengan keilmuan dan kompetensinya. Juga ada jaminan kepada publik bahwa pendidikan tambahan yang diikuti tersebut diikuti dengan benar dan terstandar, bukan sekedar untuk memenuhi kecukupan Satuan Kredit Profesi (SKP) saja.

Lewat UU 17/2023 dan PP 28/2024, sang juragan yang bukan dokter dan jajarannya yang sama sekali tidak punya pengalaman menyelenggarakan kegiatan P2KB Spesialistik, mencoba membuat kegiatan pelatihan subspesialistik bersama dengan RSV dan Perhimpunan Spesialis. Judul kegiatannya adalah Microneurosurgery Course for Aneurysm Clipping, selama 2 hari, tanggal 29-30 Juni 2024, di RS PON, diikuti oleh 20 orang peserta Sp BS dari berbagai Provinsi yang dipilih oleh Menkes. Yang paling mengejutkan adalah, di akhir kegiatan ini, menkes minta kepada Kolegium Bedah Saraf agar kepada 20 peserta pelatihan (2 hari) ini bisa diberikan kompetensi untuk Klipping Aneurisma Otak. Betapa amat konyol sekali karena ini jelas bisa berbahaya bagi rakyat penerima layanan, dan ini memperlihatkan ketidakfahaman sang juragan dan para petinggi yang ada di sekelilingnya akan makna dari Kompetensi dan Proses Pencapaian Kompetensi. Ternyata, kompetensi dimaknai sebagai sekedar ketrampilan tangan bagaikan bongkar pasang mesin mobil yang cukup dengan pelatihan di BLK.

Fakta lainnya, penyelenggaraan berbagai kegiatan P2KB oleh kemenkes ini semakin carut marut, tidak relevan dengan kompetensinya, serta target audience dan learning objective yang semakin tidak jelas. Akibatnya ada dokter THT ikut webinar Bedah, dokter Bedah ikut webinar imunisasi pada bayi, bahkan Spesialis Penyakit Dalam ikut webinar Keperawatan. Semuanya sudah saling-silang dan menyimpang dari tujuan utama pengumpulan SKP. Banyak kegiatan yang asal-asalan, tanpa kejelasan siapa yang disasar, bahkan banyak pembicara yang latar belakang pendidikannya tidak sesuai dengan topik yang dibahas.

Ternyata, dengan koordinasi kemenkes, semua kegiatan P2KB dibuat layaknya ‘baju all size’ yang bisa dipakai siapa saja, tanpa batasan kompetensi yang jelas, karena kemenkes sebagai penyelenggara memang tidak kompeten, tapi merasa kompeten layaknya peribahasa ‘Tong Kosong Nyaring Bunyinya’ atau ‘Air beriak tanda Tak Dalam’. Kep. DirJen. SDM Kesehatan No. HK.02.02/F/170/2025 yang mencabut Izin dan Kewenangan IDI untuk menyelenggarakan kegiatan Pelatihan dan Pengembangan Bidang Kesehatan ini adalah sebuah upaya kalap sang juragan yang terlambat menyadari ketidakmampuan jajaran kemenkes dalam mengambil alih penyelenggaraan kegiatan P2KB dari IDI dan lebih dari 38 Perhimpunan Spesialis.  

Demi menyelamatkan masa depan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau, adil dan merata sebagai hak rakyat dan kewajiban negara, tentu saja upaya jahat sang juragan mendapat perlawanan tiada henti baik melalui jalur hukum via Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA), sampai ke PTUN, maupun lewat banyak tulisan di berbagai media, oleh banyak kelompok dokter pecinta negeri ini. Melalui pelbagai upaya perlawanan ini, kami dokter Indonesia berharap agar Bapak Presiden Prabowo Subianto tersentuh hatinya dan segera menyadari bahwa jabatan menkes tidak pantas untuk diamanatkan kepada sang juragan yang Tidak Amanah, yang mengelola kesehatan rakyat sebagai sebuah bisnis mencari untung, dengan meninggalkan nilai-nilai moral dan etika profesi kedokteran.    

#Zainal Muttaqin, Praktisi Medis dan Pengampu Pendidikan Spesialis

 


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait