Oleh Zainal Muttaqin, MD., Ph.D.,
12/27/2024, 15:12 WIB
Menjawab renungan akhir tahun menkes soal membagi kompetensi
Ceknricek.com--Saudara menkes, bisa dimaklumi kalau bagi anda yang bukan dokter sulit untuk memahami makna sebuah kompetensi. Banyak negara maju yang menkesnya juga bukan dokter kok, tapi tentu saja mereka faham betul makna kompetensi medis karena sang menkes dikelilingi oleh para dokter yang berotak encer dan bukan cuma penjilat.
Masalahnya adalah ketika ketidaktahuan anda tentang makna kompetensi menjadi landasan berfikir sesat yang berujung pada kebijakan kesehatan yang bakal mengorbankan masyarakat penerima layanan kesehatan.
Maka kami dokter Indonesia akan teguh bertahan dengan integritas dan moral profesi kami untuk terus melawan kebijakan anda, demi masa-depan layanan kesehatan yang pro rakyat (berkualitas, terjangkau, adil dan merata) di negeri tercinta ini.
Sekali lagi, kompetensi bukan sekedar bisa melakukan, pernah melakukan, bahkan berpengalaman melakukan sebuah tindakan medis. Misalkan dirjen yankes yang dokter saya ajak ikut operasi pasien perdarahan otak tiga kali seminggu selama 6 bulan, tentu dia akan bisa bahkan trampil melakukan tindakan operasi itu.
Apakah ketrampilan ini bisa disebut kompetensi? Jawabnya ya bila perdarahan terjadi di bagian otak yang sama, penyebab yang sama, pembuluh darah yang pecah sama, ukuran perdarahan yang sama, keadaan pasien yang sama (tingkat kesadarannya, tekanan darahnya, kerja jantungnya, fungsi ginjalnya, sampai waktu pembekuan darahnya). Tentu saja kesamaan-kesamaan ini tidak akan pernah terjadi kecuali bila pasiennya boneka/ dummy, atau kita bicara tentang seorang montir yang berlatih bongkar pasang mesin mobil yang rusak di Balai Latihan Kerja.
Saat seorang dokter meresepkan obat untuk pasiennya, selain harus faham kegunaan (indikasi) dari obat tersebut, dokter juga mesti tahu kondisi seperti apa yang tidak boleh diberikan (kontra indikasi) obat tersebut. Selain itu efek samping/ komplikasi yang bisa timbul dari pemakaian obat itu, serta bagaimana mencegah dan bagaimana mengatasi bila terjadi efek samping/ komplikasi. Seluruh pengetahuan terkait tindakan meresepkan obat tersebut terangkum dalam ‘body of knowledge’ yang harus melandasi setiap kompetensi medis.
Jadi ketrampilan dan pengalaman yang dimiliki dirjen yankes setelah berlatih mengikuti operasi perdarahan otak selama 6 bulan tersebut di atas tidak bisa disebut sebagai kompetensi karena tidak didasari oleh adanya ‘body of knowledge’ terkait penyakit yang bisa menyebabkan terjadi perdarahan otak, perdarahan otak seluas apa yang perlu tindakan operasi (indikasi), dan yang tidak boleh dilakukan operasi (kontra indikasi), potensi komplikasi/ resiko dari operasi, serta bagaimana mencegah serta mengatasi komplikasi bila benar terjadi. Untuk bisa disebut sebagai kompetensi, penguasaan atas ‘body of knowledge’ ini mutlak harus melandasi ketrampilan dan technical/ vocational skill dalam melakukan tindakan operasi perdarahan otak.
Semua tindakan medis, mulai dari meresepkan obat, menolong persalinan, sampai tindakan Bedah Saraf Mikro yang kompleks, bukan tanpa resiko. Tanpa penguasaan atas ‘body of knowledge’ yang melandasi setiap kompetensi, alias tanpa dilandasi pengetahuan terkait indikas, kontraindikasi, risiko dan komplikasi setiap tindakan medik, dan bagaimana mencegah dan mengatasinya, maka masyarakat penerima layanan-lah yang pasti akan menjadi korban sia-sia/ konyol.
Seperti disarankan dalam pesan akhir tahun anda, spesialis kebidanan (Ob-Gin) diminta untuk menurunkan kompetensi operasi Sectio Caesaria (SC) kepada dokter umum (GP). Saat seorang GP dengan pelatihan SC selama 6 bulan melakukan operasi, setelah janin bisa dikeluarkan ternyata plasenta/ ari-ari tak mau lepas atau rahim tak mau kontraksi/mengecil.
Akibatnya perdarahan tidak mau berhenti, tindakan yang mesti dilakukan adalah pengangkatan rahim. Jadi dokter pelaku operasi SC harus trampil untuk melakukan operasi pengangkatan rahim juga. Apakah saudara menkes tahu bahwa tindakan pengangkatan rahim beresiko mencederai saluran kemih sebelum masuk ke kandung kemih (ureter) dan bila ini terjadi pasien bisa mengalami kerusakan sampai gagal ginjal.
Artinya tidak cukup mencomot hanya satu ketrampilan yaitu SC saja, perlu pengetahuan dan ketrampilan terkait struktur dan anatomi indung telur (ovarium) karena bagian dari rahim, dan juga anatomi seluruh organ yang ada di sekitar rahim di perut bawah. Padahal indung telur juga punya keterkaitan fungsi dengan kelenjar hipofisis yang ada di otak. Jadi, demi keselamatan masyarakat penerima layanan, dari pada mencomot sebuah kompetensi SC saja, akan lebih baik bila GP tersebut dididik jadi spesialis Ob-Gin dengan kompetensi yang jelas dan terstandar.
Saudara menkes, sesungguhnya anda dengan segala kekuasaan dan sumber daya yang anda miliki, tentu tidak sebodoh yang orang kira terkait pemahaman soal kompetensi ini. Atau anda cuma berpura-pura bodoh demi menutupi persoalan sebenarnya, yaitu ketidak mampuan leadership di kemenkes dalam menyelesaikan masalah kronis yaitu distribusi dokter spesialis.
Sepertinya anda sedang mencoba menutupi sebuah stupid leadership dengan membangun opini yang mempersalahkan dokter spesialis yang seolah tidak rela membagi kompetensi karena alasan ekonomi, seperti yang selalu anda tuduhkan kepada para dokter. Anda telah menuduh profesi dokter berbisnis STR, padahal jelas siapa yang terima pinjaman 63 Trilliun dan membeli 10.000 unit USG, dan berbagai peralatan medis canggih tanpa perencanaan matang dan tanpa kolaborasi dengan spesialis terkait. Kami berharap dan berdoa agar pernyataan KPK : ”Mark Up pengadaan barang di sektor kesehatan sampai 5000 persen” akan segera terbukti kebenarannya. (https://nasional.kompas.com/read/2023/08/24/19072211/kpk-mark-up-pengadaan-barang-di-sektor-kesehatan-sampai-5000-persen?).
Secara moral, kami menjadi dokter bukan karena ingin mencari kekayaan, pekerjaan dokter adalah menolong si sakit, bukan berbisnis jual beli mencari untung dari rakyat yang sakit, atau berpura-pura seolah menolong padahal berburu rente seperti pengalaman hidup anda selama ini.
Para pendahulu kami adalah mereka yang sekaligus juga para founding fathers dari bangsa ini. Pandemi lalu juga menjadi bukti atas peran, pengorbanan dan posisi kami di tengah bangsa ini, dan sampai kapanpun juga tidak mungkin kami mengkhianati perjuangan dan pengorbanan para pendahulu kami.
Sekali lagi, kesehatan dan tersedianya fasilitas kesehatan yang berkualitas dan terjangkau adalah hak bagi seluruh rakyat, terutama bagi rakyat miskin peserta BPJS Klas 3, dan orang sakit tidak boleh dijadikan obyek bisnis mencari cuan oleh negara terhadap rakyatnya sendiri.
#Zainal Muttaqin; Praktisi Medis dan Pengampu Pendidikan Dokter Spesialis
Editor: Ariful Hakim